Kamis, 07 Juli 2011

Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - Ullen Sentalu

Yogyakarta, 10 Mei 2008

The destination : Ullen Sentalu

Ayu bangun lebih dulu dariku. Pasti ! Aku terbangun ketika Wawan (yang sudah rapi, ganteng dan wangi) mengetuk kamarku. Aku menemuinya setelah cuci muka (hanya cuci muka hehehe nothing else) dan sudah ada dua piring nasi goreng untuk sarapan kami, aku dan Ayu. Jatah Wawan belum datang. Aku memaksa Wawan untuk makan duluan, nanti aku bisa makan nasi goreng jatah dia. Wawan langsung pulang Kebumen karena ada suatu urusan yang katanya maha penting (entah !! urusan apaan tuh sabtu sabtu !!!). Dan aku yang belum juga mandi mengantarkannya sampai ujung jalan Parangtritis.

Jam sembilan kami berkendara ke arah kasongan. Yup ! setelah menjemput Dhanny di Dongkelan yang telah kami tunjuk sebagai guide selama kami ada di sana, kami dengan riang berkendara menuju Kasongan. Jangan salah, kami tak belanja, meski Ayu sempat melirik beberapa barang yang akan dijadikan taget oleh – oleh, kami akan menjemput Sigit (teman kuliahku dan Dhanny). Basa basi sebentar lalu kami meneruskan perjalanan ke Ullen Sentalu di Kaliurang. Tepatnya dimana, tak seorangpun di mobil itu yang tahu.

Sigit mengambil alih kemudi, aku duduk dibelakang sama Ayu. Niatnya mau tidur – tidur ayam, tapi nggak bisa, akhirnya aku menikmati perjalanan ke Kaliurang dengan mata terpaksa terbuka.

Perjalanan menuju Ullen Sentalu agak terhambat karena minimnya keyakinkan kami akan jalan yang benar. Rasa lapar menyerangku. Kan belum makan. Nasgor yang aku tunggu tak akan pernah datang karena pihak hotel telah menerima laporan check out Wawan. Oh,..

Kami memutuskan untuk berhenti di depan taman bermain Kaliurang. Asri tempatnya, lumayan asyik untuk bermain anak – anak, cuma kenapa ada patung butho ijo super besar di sana sih? Agak terganggu juga melihatnya, tapi whatever lah,..

Kami makan bakso, lalu iseng nawar jadah tempe (makanan khas Kaliurang yaaa) hanya karena ingin berfoto dengan mbahnya yang jual, si mbah dengan wajah yang eksotis hehehe (maaf hasil fotonya sengaja tidak aku pasang, karena si mbah nunduk, mungkin beliau malu dengan keeksotikan wajanya, maaf sekali lagi).

Usai makan, kami mendapatkan energi untuk melanjutkan perjalanan. Dan ternyata keberadaan Museum Ullen Sentalu hanya 100 meter dari tempat kami makan bakso. Oh,..


We were in Ullen Sentalu The Museum


Nyes !! Perasaanku sangat sejuk melihat halaman Ullen Sentalu, tempat yang aku ingin datangi dari setahun yang lalu, tempat yang aku tahu keindahan tempatnya dari TRANSTV, dari cerita Husna dan Rani, dari internet. Awalnya aku sangat tertarik dengan tempat ini sebagai next target produksi Jalan Jajan Santai, tapi berhubung kontrak sudah tidak lagi aku tanda tangani, tak ada salahnya kan menikmati untuk kepuasan bathinku? Lagipula aku tak perlu menghabiskan banyak energi merayu Ayu’ untuk mengunjungi tempat ini.

Ullen Sentalu adalah sebuah museum yang menyimpan berbagai benda saksi sejarah milik Kerajaan Solo dan Kerajaan Yogyakarta. Terletak tak jauh dari pos masuk area wisata Kaliurang (setidaknya itu ancer – ancer dari Husna lewat SMS). Dari luar, museum ini tampak seperti rumah tinggal yang nyaman dan artistic dengan halaman super luas dan super asri. Memandang bebatuan dipadu dengan kayu, aku merasa berada di istana tempo dulu. Museum ini memiliki beberapa ruang yang masing – masing menyimpan cerita dan dihubungkan dengan lorong panjang, yang mengingatkanku pada istana tempat Tuan Putri diculik dan menanti sang pangeran datang menyelamatkannya hihihihi.

Ada Mbak Dessy yang mengantarkan kami “berkelana” di museum. Ya,.. Mbak Dessy bukan salah satu dari rombongan ini, Mbak Dessy adalah guide yang terpilih untuk mendapingi kami, dua lelaki Yogya asli yang belum pernah kesini dan dua sahabat dari Semarang. Ruang pertama yang kami masuki adalah ruang Gamelan, diruang ini kami melihat seperangkat alat gemelan berada ditengah ruangan dan lukisan beberapa raja dan penari di ketiga sisinya. Aku menatap kagum pada lukisan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Permaisurinya. Lukisan itu begitu hidup dan anggun. Lukisan yang aku impikan ada di salah satu dinding rumahku kelak, wajahku dan kekasih abadiku. (Tuhan, kabulkan do’aku ini. Amien)

Lorong pertama yang kami lewati dihiasi berbagai lukisan yang tampak semakin nyata. Satu adegan masa lalu yang tertuang apik dengan warna yang membuatku merasa seolah ada di zaman itu. Lukisan para raja (maaf, aku tak bisa mengingat nama masing – masing raja, apalagi adik – adiknya, saudara tirinya, mantan pacarnya, eh,... ), yang tampak anggun dengan busana zaman itu. Kami juga melihat lukisan tiga dimensi seorang puteri (atau permaisuri, aku tak yakin). Lukisan itu dapat mengikuti arah langkah kami. Aku menatap lukisan itu, sang model duduk menghadap kanan, lalu aku melewatinya, dan ketika aku menoleh sang model telah menghadap kiri. Ngeri? Nggak juga, itu cuma permainan warna yang dimainkan dengan tekhnik khusus (kalau yang ini adalah pernyataan seniman kita, Dhanny Susanto hehehehe). Kami – Aku, Ayu, Dhanny dan Sigit – terkagum – kagum dengan berbagai lukisan yang tampak nyata dan bercerita, sehingga beberapa kali kami tak menyimak apa yang Mbak Dessy katakan. (aduh, maafkan kami ya mbak,..)

Bukan hanya lukisan penggalan satu cerita zaman dulu saja, tapi juga lukisan batik yang dibuat oleh para raja zaman dulu. Jadi zaman dahulu kala, untuk dapat menjadi raja, selain harus dapat memimpin kerajaannya (ya iya lah), beliau juga harus bisa menguasai seni. Beberapa tarian yang aku tahu juga karangan para raja dan ternyata beberapa raja juga menciptakan motif batik, lengkap dengan filosofinya. Wow,.. eh ada nggak ya raja yang juga penyanyi?

Tidak hanya lukisan yang kami lihat, tapi kami juga melihat berbagai benda peninggalan para raja, permaisuri dan kerabatnya. Kami melihat ruangan Ratu .... (aduh Ratu siapa sih) yang sudah narsis dari dulu, posenya gaya abis dan seperti yang Mbak Dessy ceritakan, Ratu itu banyak banget yang suka kerena selain cantik alami, fotogenik, dia juga jago nari,. Hm,..

Ada juga beberapa kain batik yang masih tersimpan utuh. Berbagai motif, berbagai kegunaan, berbagai filosofi. Ada juga mesin jahit kecil yang pernah digunakan oleh salah satu Ratu dari Solo. Kami melihat lukisan prosesi pernikahan adat Yogyakarta (dibagian ini nih aku merasa teramat sangat melihat lukisan itu nyata untukku), sampai lukisan raja dengan busana kebesarannya. Kami juga sempat membaca surat – surat penyemangat untuk salah satu puteri raja yang sangat sedih karena tak bisa menikah dengan pria yang dicintainya, aku sempat bingung dengan gaya penulisan surat zaman dulu, banyak pantun dan istilah yang aku tak mengerti dan yang paling membingungkanku adalah pemakaian kata MERDEKA. Ini penyemangat untuk cinta yang terampas atau penyemangat untuk pejuang??

Puas menikmati berbagai hal di dalam museum, kami disuguhi satu gelas kecil minuman hangat. Kata Mbaknya, itu bir raja. Hangat jahe mengantarkanku pada khayalan tak menentu, mulai khayalan memiliki rumah seasri ini, hingga terbayang memakai baju pengantin adat Yogya tadi. Sempat juga terfikir beberapa cerita tragis yang mengikuti alur sejarah yang lagi – lagi berulang. Tak seorangpun menyadari, airmataku sempat menitik di salah satu ruangnya.

Sayang sekali, no camera di dalam museum, tapi bener, museum ini keren banget !! buat yang seneng seni dan sejarah. Sangat tidak cocok untuk kalian penikmat dugem, dijamin suntuk dan bete’ kelas berat . Next time, aku ingin ke sini lagi sama suami dan anak – anakku,... (Tuhan,.. yang ini juga dikabulkan ya,.. Amien).

Masih sore, kami duduk – duduk saja di lapangan parkir kawasan wisata Kaliurang. Udara dingin dan lukisan alam hijau memanjakan mataku. Sayangnya si camera masih aja ngambek nggak mau dipake, padahal semua merk battery sudah kami coba pasang. Jadi, aduh maaf sekali, tidak ada gambar yang membuktikan keindahan Kaliurang ini. Ada banyak yang ditawarkan disana, gelang, kalung hiasan dinding dan souvenir khas untuk oleh – oleh anak sekolah yang sedang study tour. Yang paling menarik perhatianku adalah seorang seniman lukis wajah, hm.. bisa dibayangkan kan, aku yang seorang narsis ingin sekali wajahkku dilukis,...

Dan kami, berempat, membiarkan pikiran kami mengembara. Nggak full mengembara sih, karena aku dan Ayu memilih untuk duduk – duduk di depan kolam yang ikannya segede gajah, eh.. nggak segitunya ding tapi gedhe banget dibanding ikan sebayanya hehehe dan dimanakah dua pria itu berada? Akhirnya kami menemukan dua pria itu sudah bertemu dengan indomie goreng special dan teh hangat. (spesialnya adalah ditambah bakso enam iris tipis, oh,..)

Angin bertiup sangat sejuk, sangaaaat sejuk, yang juga berarti dingin, sebuah dingin yang jarang aku dapatkan di Semarang atas, apalagi Semarang Bawah. Sebenarnya aku ingin lebih lama di sini, sepertinya naluri menulisku menemukan ilham di tempat yang menurutku seperti lukisan ini. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, sekitar setengah lima sore aku sudah menyetir karimunku menuruni Kaliurang dengan alasan kedua lelaki ini kedinginan dan tidak membawa jaket. Sepanjang perjalanan kami banyak bernostalgia, kami, aku, Dhanny dan Sigit. Sedang Ayu dengan sabar menjadi pendengar yang sangat baik. Dan karimunku meluncur ke kota Yogyakarta.

Ps. Sebelum mengantar Sigit ke daerah Kasongan, kami sempat mampir di warung kecil yang penuh sesak dengan perabotan rumah tangga tradisional. Aku membeli siwur untuk menggantikan gayung di kamar mandiku yang akan bersanding dengan tempayan yang aku beli di daerah Kalisari. Aku juga menemukan lampu senthir yang terbuat dari kaleng makanan, yang tampak lebih eksotik dengan warna dasar hitam. Sepertinya Ayu menemukan apa yang dicarinya, kendi, untuk mengganti kendi dirumah yang dipecahkannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar