Jumat, 10 Desember 2010

Mata Teduh Lelaki Kecil

Meeting setengah jam lagi, namun aku masih saja berada di coffee shop bandara, menunggu driver kantor yang tak juga datang. Aku menghela nafas panjang. Ini pertama kalinya aku datang lagi ke kota ini setelah kejadian sepuluh tahun yang lalu. Kota ini menyimpan kenangan akan sosok yang sama sekali tak bisa aku lupakan, bahkan sepuluh tahun terakhir. Aku mengingat sepuluh tahun yang lalu. Aku melewati bandara ini untuk bertemu dengannya, melihatnya keluar dari coffee shop yang sama untuk menemuiku. Aku masih mengingat senyum manisnya mengembang, dan bau parfum khas nya yang ikut menyambut kedatanganku. Sosok yang benar – benar tak bisa tergantikan.

Seorang anak lelaki menatapku, dia duduk di sofa seberang, sendirian, menikmati es krim tanpa mengalihkan pandangannya, aku mencoba tersenyum, dia balas senyumanku. Aku seperti sangat mengenal senyumannya. Namun tak ada orang yang aku kenal di kota itu kecuali Senja, mantan kekasih yang tak pernah aku tahu kabarnya. Namun anak itu juga tak memiliki senyum Senja.

Senja,.. aku kembali mengingat sosok itu, lembut dan menyebar sejuk. Aku mengenalnya di sebuah galeri lukisan di Bali dan dia adalah salah satu pelukis yang karyanya ada di sana. Lalu kami bertukar nomor telepon dan melanjutkan asmara terbentang jarak. Namun benar aku tak pernah merasa Senja jauh dari kotaku. Setiap pagi Senja menyapaku lewat SMS, singkat saja, namun mengisyaratkan bahwa cintanya masih milikku, dan aku membawanya sebagai semangat hingga sore tiba dan dia bercerita tentang lukisannya yang mulai bercerita tentangku, hingga menjelang larut.

Lelaki kecil itu masih menatapku, sinar matanya menyorotkan kerinduan yang tak bertuan. Aku mengurungkan niatku untuk merokok, setidaknya aku tak mau menjadi contoh buruk bagi pemilik mata teduh itu. Hey,.. Aku mengingat mata teduh itu, sama seperti milik Senja, hanya saja mata teduh itu masih sangat bening, sedang milik Senja sering tertutup kacamata minusnya.

Kisah asmaraku dan Senja bagai kisah asmara di novel sastra. Penuh ungkapan cinta dan kerinduan. Yang terucap runtut dan bermakna. Ini kesan menyenangkan mengingat darah Senja kental warna seni. Tak sering bertemu, namun intens berkirim kabar dan berbicara seolah kami ada ditempat yang sama. Senja mengajariku untuk bersabar menjalani kerinduan hingga tiba waktu yang tepat. Aku belajar tentang cinta yang tidak biasa. Satu lukisan, Senja kirimkan kepadaku, lukisan seorang wanita yang seolah menunggu sesuatu di pantai, ketika aku tanya siapa inspirasi lukisan itu, Senja bilang, wanita itu adalah dirinya dan laut adalah harapannya. Selalu penuh simbol dan seni, aku mengingat Senja.

Perlahan si lelaki kecil turun dari tempat duduknya, berjalan ke arahku. Benar,. Dia berjalan ke arahku. Masih tersenyum dan mendekatiku.

”Boleh saya duduk di sini?”

Aku mengangguk, memperhatikan lelaki kecil itu meletakkan es krim nya dengan sopan di mejaku dan duduk tepat di depanku.

“Nama saya Akar, umur saya sembilan tahun,. Lebih..”

Aku kembali mengangguk, dia memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangannya. Bahkan dia telah asyik menikmati es krim cokelatnya. Aku mulai merasakan getaran aneh akan diri Akar. Ku harap dia anak biasa, bukan anak indigo yang akan meramal nasib burukku. Namanya yang tidak biasa seperti menyimpan suatu misteri yang sangat ingin aku ketahui.

”Saya hanya punya Mama, saya nggak pernah punya Ayah, kata Mama, Ayah saya tinggal di Pulau Biru, Om tahu dimana Pulau Biru?”

Lagi – lagi aku mengangguk. Akar menyebutkan kotaku sebagai kota Ayahnya. Dia tampak senang dengan arti anggukanku. Mungkin dibenaknya muncul tentang sosok ayahnya, dan aku sebagai orang yang tahu dimana pasti dimana kota itu berada.

”Kata Mama, Ayah nggak bisa bersama kami, karena Ayah telah memilih jalan lain untuk hidupnya”

Aku mengangguk – angguk. Bocah usia sepuluh tahun dipaksa untuk mengerti mengapa orang tuanya tak bisa bersatu. Aku ingin tahu, orang tua macam apa yang tega membuat mata teduh ini muram. Dadaku sesak, seolah merasakan duka yang harus ditanggung lelaki kecil yang belum juga melawati sepuluh tahun pertamanya.

”Suatu saat saya akan ke Pulau Biru Om,. Saya ingin ketemu Ayah”

Tiba – tiba saja dadaku bergetar hebat. Inilah sorot kerinduan yang dari tadi aku rasakan. Akar rindu bertemu ayahnya.

“Saya hanya ingin bilang sama Ayah. Mama dan saya Sangat mencintai Ayah”

Aku tertegun, lidahku kelu, aku tak mampu berfikir. Hanya kerinduan yang membara yang aku rasa, kerinduan yang tak pasti kapan dapat terobati. Aku ingin membantu Akar untuk bertemu dengan ayahnya. Andai saja Akar tahu alamat sang ayah,..

“Akar tahu nama Ayah Akar?” Inilah kalimat pertamaku untuk Akar.

Akar terdiam, tertunduk, menjauhkan cup es krim dari tangannya, lalu kedua tangan mungil menutup wajahnya. Akar mulai terisak. Aku tertegun. Kerinduan ini membuatnya terisak.

”Akar, nama Ayahnya Akar”

Aku tersentak, suara lembut itu tiba – tiba terdengar. Seperti suara yang pernah sangat dekat dan kugilai. Aku menengadahkan wajahku, mencari asal suara. Aku tertegun, wajah itu tertutup sebagian rambut, namun aku masih sangat mengenali. Wanita itu membungkuk dan tangannya membelai Akar dengan lembut lalu membisikkan sesuatu ditelinga lelaki kecil yang baru aku kenal. Lelaki kecil itu membuka tangannya dan membiarkan air mata yang mengalir tampak di wajahnya. Tanpa ada kata lagi, dia turun dari tempat duduknya, mendekatiku dan meraih tanganku, mencium tangan kananku dan berbisik

”Akar dan Mama mencintai Ayah”

Aku masih tertegun ketika tubuh mungil itu berbalik dan menggandeng tangan wanita cantik itu lalu pergi menjauhiku.

”Senja,..” Aku memanggil dengan suara serakku.

Ibu dan anak itu terus melangkah, seolah tak pernah terjadi apapun sebelumya, sama seperti yang kulakukan sepuluh tahun lalu pada Senja. Samar aku melihat Akar menoleh ke arahku, dia tersenyum, aku tersadar senyum itu sama dengan senyumku.

Semarang, 16 Mei 2010, 01.00 WIB