Minggu, 18 Agustus 2013

PENANTIAN



Sebentuk mata nanar menatap tajam. Tak kutemukan seberkas cinta di dalamnya. Aku menikmati gelegar suara yang menjadikan aku merapuh. Tanpa pernah sempat aku mengatakan. Sebuah tamparan menghantarkanku pada gelap. Tanpa pernah aku membuat dia memahami penantianku kepadanya.

Semarang, 18 Agustus 2013 00:37 WIB

Senin, 22 Juli 2013

AKU JATUH CINTA



Aku melihatmu dalam mimpi.
Tak sekalipun kau nyata dalam hidupku.
Selaksa angan aku merindumu.
Seperti angin seusai badai.

Hanya itu,.
Aku jatuh cinta padamu.
Dalam mimpi.
Kau tak pernah nyata.


Semarang, 22 Juli 2013

Minggu, 21 Juli 2013

s e l a l u



Selalu aku selalu menantimu di sini. Diam – diam tanpa seorangpun yang tahu, begitupun hatiku. Aku menyimpan rapat – rapat penantian ini. Aku tak pernah mampu mengatakan. Meski kau nyata di depanku.

Selalu bibirku kelu. Hanya sekedar menanyakan kabarmu. Aku tak pernah mengerti semua rasa ini. Seperti bunga yang mekar dan wangi. Atau warna pelangi yang indah di hamparan biru. Aku hanya menginginkan sebentuk lengkung yang kuyakini milikku. Senyummu. Hanya itu.

Selalu saja begini. Kau hadir dalam mimpiku. Begitupun senyummu. Terasa nyata dan bahagia. Seusai ku buka mata. Tetap kenangan tentangmu terbayang. Aku memilikimu dalam mimpi. Tak mengapa.

Selalu aku tak mampu mengurai rasa. Meski kau ada tepat di depanku. Menyentuhku. Memelukku. Tak pernah kau tahu rasaku.

Selalu seperti itu,....

Semarang, 21 Juli 2013

Jumat, 03 Mei 2013

bintang jatuh

Perjalanan ini panjang. Meminta segenap pengertian dan harapan. Aku tak pernah bisa mengingat awal cerita ini. Tiba – tiba saja dalam lelah langkahku, aku menyadari kau ada di sampingku, dan semua menjadi kita,....

Aku bermimpi lagi semalam, tentangmu dan kegelisahan itu. Ini sudah kesekian kalinya, dan kau tetap saja menganggap bunga tidur. Hanya bunga, yang sebentar lagi layu. Sesederhana itu bagimu. Tapi tak pernah menjadi sederhana buatku. Semakin jelas dan tak pernah bisa kau elak lagi. Mimpiku, ceritamu, kenyataan,...

Matahari hampir mencium air laut ketika aku berbaring disini. Menunggumu dengan sisa keyakinan. Dan menyentuhkan rasa gelisah pada kegelapan tiba – tiba pantai ini. Kuning, jingga dan abu – abu lalu menyuguhkan biru gelap yang tak mungkin ku tawar. Aku mengirim pesan itu padamu. Dalam semua media. Dan Tuhan lah penyampai pesan itu. Aku menajamkan kalbuku, mengirim isyarat yang hanya dipahami Tuhan. Aku hanya perlu sebentar lagi menantimu.

Aku merapikan kotak kerinduan yang terbungkus kain hitam berpita ungu. Apakah kelak akan kuberikan padamu dengan suka cita, ataukah ku hempas di depanmu dan menikmati pilu disana. Aku mengingat semua perjalanan ini. Perjalanan panjang yang melelahkan. Bukan aku yang memintamu untuk bersamaku. Tapi cerita masa lalu. Sebuah kisah masa lalu. Kau dan aku. Kita,...

Kini kau telah duduk di depanku. Terdiam diatas hamparan pasir lembut. Tak perlu sinar apapun untuk menatap wajahmu. Tak perlu apapun untuk mengenalimu. Aku hanya perlu untuk berbicara denganmu. Tentang mimpiku yang menjadi nyata, tentang ceritamu yang tak lagi utuh, tentang semua gelap yang kau ciptakan. Aku hanya perlu berbicara padamu. Sekali ini. Dan tak akan pernah lagi. Saat ini akulah penulis skenario dan sutradara sketsa ini, tak ada yang perlu kau katakan, kau hanya perlu mendengar dan semoga kau memiliki rasa untuk memahami. Sedikit saja, aku tak akan memintamu lebih dari itu. Aku janji...

Kau ada di sini, menerima pesanku. Kau harus mengikuti aturan mainku. Tak ada penawaran. Aku penguasa sore ini, dan kau hambaku. Ikuti saja mauku. Kau tak memiliki hak apapun atas sore ini. Siapkan dirimu, kekasih,.. setelah cerita ini berakhir, kita akan tersenyum bersama.

Pertama, aku minta kau memelukku, semoga aku masih merasakan pelukmu yang pernah menjadi miliku. Kau tersenyum. Senyum terindah yang selalu kugilai. Aku mampu melukiskan senyum itu dengan mata tertutup. Aku telah mematri senyummu dalam benakku sejak dua puluh tahun yang lalu. Saat hatiku belum mampu mencerna rasa aneh yang diam – diam menyelinap ketika melihatmu. Ketika telapak tanganku sangat basah menjabat tanganmu dan lirih suaraku menyebut namaku. Aku merasakan getaran itu semakin menguat ketika kau tersenyum. Apakah kau memahami gundah dalam angan ketika senyummu menjadi mimpi kaum hawa selain aku?. Aku menyimpan semua cerita indah dalam ruang bathinku dan menjaganya dengan pipi merona. Aku mencintaimu sejak hari itu. Sejak kau tersenyum dan menganggukkan kepala kepadaku. Aku mencintaimu sebelum aku mengetahui namamu. Aku mencintaimu sesaat setelah aku tak mampu menenangkan gejolak itu. Aku mencintaimu dalam diam. Sunyi. Kau tak mengerti. Lalu kau pernah datang sekelebat. Seperti hujan yang turun di bulan April, sejenak saja. Selaksa kawan lama yang tak begitu akrab, Kau tak banyak berbicara padaku. Namun kau tersenyum padaku. Senyum yang sama dengan yang ada di kotak kalbuku. Aku jatuh cinta lagi. Denganmu,..

Aku menanti keajaiban. Keajaiban yang menuntunmu menemuiku. Kejaiban yang memberiku kekuatan untuk mengatakan padamu. Kau, pemilik senyum terindah, aku jatuh cinta padamu. Meski kejaiban itu tak muncul dalam hitungan masa. Aku menanti,..

Aku telah melupakan penantian kejaiban itu. Hingga suatu malam aku melihat bintang jatuh. Inilah pertama kalinya aku melihat bintang jatuh. Segera Aku berlutut, mataku terpejam dan hatiku berdoa. Aku menginginkanmu. Aku tahu, aku menginginkamu dalam hidupku. Do’a spontan yang kulakukan. Lewat bintang jatuh, aku meminta lagi keajaiban.

Bintang jatuh memenuhi janjinya. Keajaiban itu datang padaku. Setelah dua puluh tahun. Ketika hampir semua cerita kujalani. Kau datang mempersembahkan senyum yang rindukan. Masih sama dengan gambaran masa laluku. Tak kuhiraukan debaran aneh di dadaku. Aku berteman dengan logika dan hukum kesempatan. Kau telah datang padaku. Sama persis dengan permintaanku berpuluh tahun yang lalu. Aku tak lagi bisa mengenali rasa ini, gemuruh aneh yang menghentak dadaku. Aku hanya tahu kau ada didepanku. Menyerahkan dirimu untuk kumiliki. Kau jatuh cinta padaku saat kau tersenyum dan mengangguk padaku. Kau jatuh cinta padaku sebelum kau mengetahui namaku. Kita jatuh cinta disaat yang bersamaan. Aku bahagia. Saat itu ternyata milik kita, tanpa pernah kita sadari.

Aku jatuh cinta padamu. Sekali, dua kali, tiga kali, kesekian kali. Aku menikmati rasa itu. Aku menikmati sensasi kegelisahan dan kelegaan yang muncul ketika pesanku tak cepat terjawab. Aku menikmati berjuta pesona yang kau berikan tanpa ku minta. Aku menikmati hari – hari bersamamu. Aku menikmati cinta yang seharusnya kunikmati berpuluh tahun yang lalu. Bingkisan cintamu memabukkanku. Aku terlalu banyak menenggak anggur kebahagiaan ini, sehingga aku tak menyadari ketika kau berpendar dan menghilang. Aku butuh waktu untuk tersadar dari kenyataan ini. Inilah yang tak pernah aku sukai, Kau menghilang dalam ketidaktahuanku. Aku terpuruk, aku tak punya pilihan.

Aku mencarimu, di setiap sudut bumi yang pernah kau lalui. Mendengar samar suaramu kemudian menggilang begitu saja. Mengenali bayangmu lalu menjadi asap. Kau menghilang, tanpa aku mengerti. Aku lelah, perjalanan panjang ini melelahkan. Masih harus berapa lama lagi aku menjalani. Kau tak pernah mengerti, saat kerinduan ini menghentak dentum dalam dada. Aku menyusuri hampa. mencarimu,..

Bertahun aku bertahan pada gelap ini. Isyarat dalam mimpiku, yang tak pernah kau anggap ada. Ataukah kau merasa Tuhan telah menunjukkan cahaya atas kelirumu? Kau tak pernah bisa menjawabnya. Meski aku telah bertanya lewat seribu bahasa. Mengapa tak pernah ada kata setelah sekian lama kita berada dalam dilema? Butuh berpuluh tahun lagikah untuk menemukan hari yang seharusnya menjadi milik kita? Aku menuliskan beribu pertanyaan pada pasir, dan menghilang sebelum sempat kau membacanya.

Aku menatapmu, wajah terkasih pucat pasi. Aku tak pernah ingin menyalahkanmu sayang. Meski pahit dan luka kembali kurasa karenamu. Aku tak menyangka ketika seribu nyeri ini kurasa akibat sayatanmu. Berteman bintang dan gelap, aku terus mencari jawab atas seribu gelisah yang menuju ke arahmu. Menganalisa lewat angin dan dingin. Aku mencoba menata puing – puing harapan yang kau tinggalkan, tanpa tangis, tanpa air mata.

Aku tersadar, aku berada dalam ruang besar yang gelap, tak ku temukan pintu dan jendela atau lubang untuk sedikit sinar masuk ke dalamnya. Namun aku bisa melihat isi ruangan meski samar. Aku melihatmu dalam bayang – bayang, namun cukup jelas untuk ku mengerti isyarat cintamu. Aku memahami, ketika ruangan yang ku sangka itu adalah kotak nostalgia. Dan aku tak punya pilihan untuk keluar dari kotak ini. Aku berada dalam dilema yang sungguh indah. Saat itu kau menyatakan sanggup berada di sini bersamaku. Cukuplah aku dan kau ada dikotak ini. Kita tak perlu orang lain. Tak perlu ada sinar, karena mataku telah bersinar menemukanmu. Cukup. Jika memang ada kejaiban sekali lagi, aku ingin berada disini selamanya bersamamu. Tak perlu ada pilihan untuk keluar dari gulita ini. ada di dunia ini tanpamu. Aku telah melewatkan banyak hati untuk terpaku samar disini. Namun aku lupa menanyakan perasaanmu. Atau aku tak mampu melihat kejujuran hatimu. Aku minta maaf untuk itu.

Dan tiba – tiba saja aku sinar matamu meredup dan padam begitu cepat tanpa pernah ku tahu sebabnya. Kau tak pernah bercerita, aku tak pernah bertanya. aku terlalu percaya dengan cerita yang kau hiasi mimpi. Sungguh, bukan ini arahnya. Kau menghilang, meninggalkanku dalam gelap. Tanpa pernah bisa kutahu darimana sinar akan menerangiku.

Apakah kau pernah mencoba memahami perasaanku? Selaksa terombang ambing ombak. Kau memberiku harapan, kau meyakinkanku akan harapan, kau menata semua harapan, lalu secepat itu kau melupakan harapan. Apa yang harus ku lakukan? Aku tak mampu berjalan dalam pedih ini. Apakah kau pernah merasakan kesakitan yang menusuk hingga tulang, membuatmu tak mampu bangkit? Inilah aku sekarang. Terluka dan terbuang. Karenamu..

Entah,.. tiba – tiba saja aku merasa tak yakin dengan kisah ini. Selalu saja aku yang harus menegakkan puing rapuh yang kau beri. Mengapa aku tak pernah layak mendapat kesungguhanmu? Aku telah memberimu banyak waktu dan kesempatan untuk mengunci hatiku. Dan saat ini tak perlu satu kata pun kau ucapkan. Tak ada yang bisa kau jelaskan. Tak ada gunanya untuk ku ketahui. Tak perlu lah kau buat aku mengerti. Sekarang, pergilah kekasihku....

Aku benar – benar merasa hampa, ketika bayangmu memudar di depanku, menghilang,... Tak akan pernah ada lagi kita, aku dan kamu,....

Semarang, 23 Maret – 4 April 2013
Buat Fie

Minggu, 10 Maret 2013

Cita – Citaku Jadi Bintang Film

Berbicara tentang cita – cita, sampai sekarang aku tak bisa memahami diriku sendiri saat masih kecil. Saat anak TK mulai diberi pertanyaan standar tentang cita – cita, aku dengan mantap menyebutkan cita – citaku menjadi bintang film. Alasannya sederhana saja, aku ingin bertemu Rano Karno, bintang film yang filmnya banyak ku tonton dengan sembunyi – sembunyi, alasan lainnya adalah aku ingin bisa ke luar negeri karena banyak film saat itu dikisahkan tokohnya sekolah di luar negeri dan pulang menjadi orang yang sukses. Cita – cita sederhanaku itu tak ayal membuat mamaku terhenyak, dengan kesabaran yang diluar logika manusia, mamaku menyarankan cita – cita lainnya. Mama memberi alternatif cita – cita yang “umum”, seperti menjadi polwan, dokter, insinyur atau pegawai negeri. Saat itu aku memilih menjadi polwan saja, meski hati kecilku tetap ingin menuliskan “bintang film” sebagai cita – citaku.

Apa yang salah dengan cita – cita menjadi bintang film? Aku kecil mulai memikirkan hal itu, bukankah cita – cita adalah keinginan menjadi sesuatu saat aku dewasa nanti. Toh apapun cita – citanya, syarat utama adalah belajar yang rajin, itu yang aku ingat dari kesimpulan pelajaran cita – cita yang diberikan Bu Wahyu, guru TK ku. Lagipula ada beberapa temanku yang menyebutkan cita – cita anehnya, menjadi pengantin. Meski menjadi pengantin terdengar lebih masuk akal daripada menjadi bintang film, saat itu tak ada pilihan lain selain mengakui POLWAN sebagai cita – citaku. Walau demikian dari lubuk hatiku yang terdalam, aku memiliki cadangan cita – cita, seandainya saja bintang film tidak termasuk cita – cita, aku ingin sekali menjadi,.. Pembaca puisi.

Beranjak lebih besar, masuk SD, cita – citaku mulai lebih realistis, meski tak juga mengambil salah satu cita – cita “umum” yang beredar. Aku pernah bercita – cita menjadi penari tradisional Indonesia, hal ini dikarenakan banyak majalah yang kubaca mengupas kisah sukses seniman yang melanglang buana dengan tariannya. Tarian indah ini membuat kagum orang luar Indonesia. Bayangkan saja, aku dikagumi oleh orang yang bahasanya saja tak ku mengerti. Bisa keliling dunia, dan siapa tahu, bisa bertemu dengan Rano Karno disana,...

Sadar penari juga bukan cita – cita yang membuat mamaku senang, aku mulai mencari cita – cita baru. Aku sempat bercita – cita jadi guru, tapi segera ku urungkan niat mulia itu. Aku tak mampu menghafal rumus yang memusingkan. Lalu aku juga bercita – cita menjadi arsitek. Sadar akan kemampuan menggambar yang nol besar aku mengubah cita – citaku menjadi Ahli Bahasa, tanpa aku tahu apa sebenarnya profesi itu. Alasannya sederhana saja, aku suka membaca buku dan merasa nyaman dengan pelajaran Bahasa Indonesia, karena ada kegiatan mengarang dan membaca puisi. Itu saja.

Akhirnya aku memiliki cita – cita yang menenangkan mamaku. Mungkin mama masih bingung juga, Ahli Bahasa kerjanya dimana? Atau mungkin juga mama berharap aku bisa menjadi penerjemah untuk diplomat? Sementara itu sajalah,.... 

Selama SMP aku mulai memantapkan diri untuk menjadi ahli bahasa. Aku bertekad untuk menguasai tidak hanya Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Aku mulai belajar mencintai Bahasa Inggris dan bertekad menaklukan Bahasa Melayu. Dengan sahabatku yang bercita – cita menjadi ahli nuklir, aku berkhayal bisa keliling dunia dengannya. Dia yang membuat nuklir dan aku yang menjadi penerjemahnya. Mimpi yang indah. Sampai sekarang aku tak bisa membayangkan jika sahabatku itu sukses menjadi ahli nuklir, pasti hidupnya tak akan setenang sekarang hahahahahaha.

Beranjak SMA cita – cita awalku muncul lagi. Namun bukan menjadi bintang film lagi tapi berkarya di bidang perfilman. Aku sangat ingin menjadi salah satu crew pembuatan sebuah film, penasaran dengan kegiatan produksi yang konon memakan waktu lebih dari seminggu penuh di lokasi shooting. Aku berasumsi, hal ini karena kesukaanku menonton film memang di luar batas remaja saat itu. Dan aku selalu penasaran dengan setiap adegan yang ada. Bagaimana cara membuat sebuah mobil meledak, apakah menggunakan mobil sungguhan, bagaimana jika ketika meledak ledakannya sampai kemana – mana?. Atau mengapa tokoh ini harus begini cara ngomongnya? Harusnya begini saja. Dan kegilaanku adalah, aku selalu berkhayal namaku ada di credit tittle sebuah produksi film, meski aku tahu, saat namaku mulai muncul di layar, penonton sudah beranjak dari tempat duduknya.

Lagi – lagi cita – citaku ini tak mendapat sambutan meriah dari mama papaku. Oke,... aku berganti cita – cita yang lebih membumi. Menjadi psikolog. Sudah, final aku ingin menjadi psikolog. Aku sabar kok mendengarkan keluh kesah seseorang yang mungkin saja kisahnya akan menginspirasiku menulis naskah film. Semoga saat itu terjadi orangtuaku sudah merasa bangga denganku. Tapi cita – citaku itu ku paksa kandas dengan suka cita, demi melihat anak buah papaku yang tak juga lulus dari kuliah psikologinya yang katanya susah banget. Yess,.. seperti menemukan air di padang pasir. Aku menemukan cita – cita lain. Menjadi advertisment maker. Mungkin bukan cita – cita, tapi keputusan dimana aku harus meneruskan kuliah setelah lulus SMA. Berbekal sedikit pengetahuanku dibidang periklanan yang aku dapat dari papaku, aku memilih AKINDO, sebuah akademi komunikasi yang memiliki jurusan Advertising. Disinilah aku merasa menemukan rumah yang selama ini aku cari.

Berada dilingkungan kampus yang juga memiliki jurusan broadcast ini membuatku terus memupuk impian masa kecil. Aku tak juga memiliki gambaran seperti apa, namun aku yakin bisa menjadi bintang film, meski bukan dalam arti yang sebenarnya.

Ketika cita – cita tak lagi hanya ungkapan keinginan, semoga aku telah membuktikan kepada orang tuaku bahwa keyakinanku tak sia – sia, dan menjadikan mereka bangga. Hampir sepuluh tahun aku berada di dunia yang lebih hebat dari cita – citaku yang hanya menjadi bintang film. Aku berkesempatan mempelajari bagaimana menjadikan seseorang bintang film, tak hanya itu, aku berkesempatan mewujudkan semua mimpi masa kecilku di dunia kerja. Aku pernah terlibat dalam pembuatan iklan TV, program TV, Mini Film, bertemu dengan komunitas pencinta puisi, berbincang dengan penulis buku yang ku kira hanya ada di dunia khayal dan menuliskan kisah khayalku yang kemudian menjadi inspirasi orang lain. Bonusnya, aku beberapa kali bertemu dengan artis yang wajahnya akrab di televisi atau bioskop. Meski aku belum juga bertemu dengan Rano Karno namun aku telah mewujudkan mimpiku. Aku telah menggapai cita – citaku. Dan mempercayai Tuhan mengabulkan setiap keinginanku tanpa terkecuali, dengan ragam dan waktu yang sangat pas. Aku menyadari hal itu,....

Ternyata, mimpi dan cita – citaku tak berhenti sampai disini. Aku menyadari, hidupku kini bukan berputar pada mimpi dan membanggakan orang tua. Aku telah memiliki suami yang berhak penuh atas konsekwensi pilihanku. Aku telah menemukan passion yang ku yakini sebagai kesimpulan dari seluruh cita - cita masa kecilku yang tidak umum. Dan aku sangat bersyukur pada Tuhan yang telah mengizinkan suamiku memahami mimpi dan cita – citaku. Semoga cita – citaku kali ini tak lagi tergabung dalam mimpi tak lazim. Aku seorang penulis.