Selasa, 01 Februari 2011

Cerita Kepingan Hati

Suatu saat aku mengirim pesan kepada salah satu sahabatku. Isinya sangat singkat namun penuh harap : ”Aku tak ingin lelaki tampan, punya banyak harta dan kuasa. Aku hanya ingin lelaki itu, tak tampan tanpa tanpa harta dan kuasa. Mengapa sepertinya Tuhan enggan memberikannya padaku, apakah karena aku mengincar hatinya?”

Lalu sang sahabat menjawab : “Lelaki tanpa harta dan tahta tak akan berdaya melihat wanita tangguh, smart, carrier oriented dan bla bla bla sepertimu, apalagi untuk menikahinya”

Aku tertegun, lalu mataku memanas, sekuat tenaga aku menahan butiran airmata ini. kembali aku menulis pesan untuknya : “Lalu, salahku dimana?”

Jawabannya datang sangat cepat : “Kau tidak bersalah”

Aku mulai tak bisa membendung airmataku. Jemariku bergetar menulis pesan singkat untuknya, lagi : ”Apa yang harus aku hilangkan untuk mendapatkannya?, tangguh?, smart? Carrier oriented? Atau bla bla bla nya?”

Aku terisak dalam bathin. Cukup lama untuk menerima jawaban pesan. Sahabatku perlu waktu lumayan lama untuk menjawab pertanyaanku. Mungkin sedikit menyesal menunjukkan kenyataan kepadaku. Setelah setengah jam jawabannya datang : “tidak ada, mungkin memang dia bukan untukmu”

Aku tak lagi membalas pesannya. Aku terisak,..

Lalu aku sangat ingin bertemu Tuhan. Aku ingin mengadukan ketidakadilan ini. Namun aku ragu, apakah Tuhan punya cukup waktu untuk mendengarkan ceritaku ini. mungkin cukup picisan dan cengeng untuk aku yang hidup di era internet ini. namun kenyataannya kisah ini berulang, berulang dan berulang.

Entah apa yang salah denganku. Lelaki sepertinya “kalah set” dihadapanku. Jangan pernah membayangkan aku adalah sosok girl power yang juga dapat diartikan sebagai sosok judes, galak, egois dan sok menang di depan kaum lelaki. Aku sama dengan wanita lain, sangat sama.

Mungkin aku harus merunut kisahku dari zaman SMP. Masa ABG dimana semua memiliki kisah cinta monyet yang lucu dan tak masuk akal. Aku juga, aku sama dengan mereka. Aku juga punya pujaan hati yang hanya bisa kukagumi diam – diam. Namun aku juga berbeda dengan mereka. Aku tak punya keberanian untuk mengekspresikan apa yang aku rasa. Mama bilang akan sangat memalukan jika seorang lelaki mengetahui kita memiliki perasaan kepadanya. Mungkin mama bilang seperti itu karena aku masih SMP, tapi kata – kata mama itu begitu mempengaruhiku. Aku tak pernah mau mengakui aku menyukai teman lelakiku secara khusus, bahkan kepada teman – teman akrabku, bahkan untuk sekedar mengisi cerita SMP.

Tuhan memberiku, talenta yang luar biasa. Kecerdasanku di atas rata – rata (untuk ini aku mengacu pada nilai – nilai di raport dan keberanian mengungkapkan pendapat di depan publik – hanya pendapat tentang hal lain selain cinta). Kukira kecerdasanku akan membuai hati teman lelakiku, nyatanya tidak. Mereka enggan berteman akrab denganku, aku tak tahu pasti alasannya. Menurutku bukan karena fisik, karena nyatanya teman – teman yang tak lebih cantik dariku pun punya pacar. Dan aku sempat mendengar satu pernyataan alasan dari mengapa itu. Simple !! Aku terlalu pandai untuk berteman akrab dengan mereka, mereka minder dengan kecerdasanku. Aku melongo, aku cerdas alami, aku bukan kutu buku yang menghabiskan banyak buku untuk belajar, bahkan aku sangat malas belajar dan sempat “santai” saat nilai – nilaiku jatuh karena aku sama sekali tak memperdulikan pelajaran. Dan hal itu tak membantuku, mereka tetap melihatku sebagai sosok cerdas yang menakutkan. Mungkin yang salah teman – teman lelakiku, mereka takut dilihat kalah cerdas dengan perempuan. Ego laki – laki, aku harus mengakuinya,..

Kecerdasanku tak pernah ditakuti oleh teman – teman perempuanku. Aku masih ingat saat SMP ada satu gank perempuan cantik yang sangat arrogant, mungkin mereka semacam gank popular. Hanya karena aku dekat dengan seorang teman lelaki yang salah satu anggota gank itu sukai, mulailah terror itu menyapaku. Mereka menggunakan keadaan kulitku yang gelap sebagai salah satu materi pemboikotan terhadapku, bahasa politiknya mungkin black campaign. Disini aku mati langkah, aku serba salah. Cerdas salah, tak secantik mereka pun salah. Aku semakin memandang diriku berbeda. Aku semakin jauh dari cerita cinta monyet.

Aku tak pernah tahu jika ada beberapa teman sekolah yang menyukaiku. Mereka tak pernah mengatakan kepadaku. Mereka takut diledek, karena kalah pinter atau malu punya pacar yang kulitnya item sepertiku. Aku menjalani masa sekolahku hanya dengan berteman, berteman dan berteman. Tanpa rasa special yang bisa aku tunjukkan. Bahkan aku pernah mencintai seorang teman lelaki yang menjadi sahabat selama lebih dari separuh hidup kami dan dia tak pernah tahu sampai saat ini. Entah jika dia tahu setelah membaca tulisan ini.

Saat SMA aku merasa “butuh” punya pacar, secara teman – teman masing – masing punya. Bahkan Mita sudah enam kali berganti pacar. Aku mengiyakan seorang lelaki yang menyatakan cintanya padaku. Tanpa aku pernah yakin apakah aku juga menyukainya. Yang penting aku punya teman jalan. Namun hubungan ini juga tak bisa mulus. Usianya yang 4 tahun diatasku membuatnya merasa lebih pintar dariku. Dan aku yang berfikiran kritis tak bisa menerima kenyataan ini. Kata pisah menjadi kata yang sangat aku nantikan. Dengan keberanian yang luar biasa aku mengatakan “kita jalan sendiri – sendiri”, lalu dia menangis dan menanyakan alasanku, kujawab dengan segenap pikiran matang “karena kau ditaktor”, lalu dia memakiku dengan alasan perempuan tak tahu aturan. Aku yang saat itu delapan belas tahun mengerutkan dahi, kau tak mengerti, dia mengatakan aku tak tahu aturan karena aku tak mau mengikuti aturannya yang bagai tali kekang kuda. Meski aku tak menyalahkan keadaanku saat itu tapi aku terlanjur bersahabat dengan dendam, aku tak mau berjalan di belakang seorang laki – laki, aku harus berjalan di sebelahnya, sebagai partner, bukan pembantunya. Dan kalimat itu begitu merasuk dalam kalbuku dan menjadi mantera hariku. Dan aku akan takluk dengan lelaki yang menjadikanku sahabat hidupnya, menggandengku, bukan menyeretku.

Sebagai perempuan yang terus berproses menjadi seorang wanita, aku memiliki criteria kelewat tinggi untuk mengizinkan seseorang menempati tahta dihatiku. Beberapa nama dan cerita mampir dihidupku. Mendengarkan kidung cinta yang menggebu lalu berlalu begitu saja. Tanpa lara hati dan hanya sekedar umpatan.

Dan saatnya tiba, aku jatuh cinta dengan seseorang di usiaku ke dua puluh lima. Terjadi begitu saja, aku jatuh cinta pada sosok dewasa yang sangat bisa menjadikanku sahabat. Setidaknya dia sharing banyak hal kepadaku. Agaknya dia mengagumi kepintaranku. Aku melambung di awang – awang, akhirnya aku mendapatkan lelaki yang tak mempermasalahkan “kelebihan”ku ini. Lelaki ganteng itu meminta seluruh hati dan cintaku. Menjanjikan kehidupan yang apa adanya dan penuh lagu. Aku memberikannya, seluruhnya, sampai aku tak punya untukku sendiri. Aku mengubah beberapa bagian dari sifat dasarku untuk mengimbanginya. Aku tak pernah punya rasa marah saat bersamanya. Bahkan kesabaranku yang luar biasa itu menjadikan keanehanku diantara teman – teman yang mengenalku. Lalu, disuatu malam aku menemukannya dalam kegamangan (dia tak pernah tahu aku ada disana) dia sedang berbicara dengan Mamanya ditelepon, dia berbisik namun aku mendengarnya dengan sangat jelas “Andai dia berkulit putih, aku pasti sudah menikahinya”. Aku terhenyak, dia menginginkan hati, cinta dan otakku, fisik dan wajahku, namun dia tak menginginkan wana kulitku. Aku kembali bertanya – tanya, apakah alasan itu mutlak untuknya meninggalkanku. Dan benar, dia meninggalkanku dengan banyak hal yang tak terselesaikan dan menikah dengan wanita mirip denganku, hanya saja berkulit putih. Aku sedih, aku terluka bahkan nyaris tak mau lagi meneruskan hidup,..

Aku kembali berjalan dengan sisa cinta, percaya dan harapan. Aku tak yakin akan ada cinta indah buatku lagi, aku tak lagi punya percaya kepada lelaki dan aku tak berani berharap apapun dari kisah ini. Lingkungan tampak tak pernah peduli dengan apa yang aku alami. Pasti mereka menuduhku yang bermasalah. Aku bosan, aku lelah, aku muak,..

Aku harus berhasil menjadi seseorang. Agar tak ada lagi yang bisa mencurangiku. Aku memanfaatkan semua talenta yang Tuhan beri untukku berproses lagi. Dan aku berhasil membuktikan pada semua bahwa aku mampu, aku bisa menjadi seseorang yang tidak biasa. Aku yang tidak putih namun memiliki kemampuan luar biasa untuk berkarya. Aku kira inilah saatnya aku menunjukkan siapa diriku. Mungkin dengan semua yang telah terukir, para mantan menyadari kekeliruannya.

Menuju puncak karier, aku jatuh cinta dengan pria sederhana yang mampu menyejukkan rasaku yang sering bergejolak. Seorang pria yang tak pernah mempermasalahkan tubuhku yang semakin gendut, atau gaya pakaianku yang kadang – kadang tak lazim. Seseorang pria yang dapat menerima pribadiku apa adanya. Dan aku sangat bahagia menemukan saat itu. Aku mulai merancang satu kehidupan indah yang akan aku lalui bersamanya. Dia, dengan segenap ketulusan dan kesederhanaannya, menjadikan dia nyaris sempurna sebagai suami, ayah dan sahabat seumur hidupku. Apa yang dia ungkapkan selalu menjadi setetes air dalam bathinku yang bagai berada di padang pasir. Apa lagi yang aku cari. Tanganku tak pernah lepas menggenggam tangannya, merasakan aliran darah yang aku yakini milikku. Namun akhirnya pria itu harus menyerah pada titah ibu yang tak mengizinkan aku menjadi pendamping anaknya. Aku kira cinta kami cukup kuat untuk menerjang semua onak duri, membiarkan diri di ombang ambingkan ombak dan bersabar mendaki gunung. Berdua. Namun ternyata dia memintaku untuk meninggalkannya. Ada “kekhawatiran akan perbedaan status social kami”. Aku kecewa, aku lemas, masih saja ada alasan,..

Dalam kegelisahan dan keputusasaan yang luar biasa. Seorang laki – laki dari tanah seberang menyatakan keinginannya untuk meminangku. Aku mulai gamang, bukan cinta yang aku pikirkan, mungkin sudah saatnya aku berjalan dengan otak lalu hati. Aku memikirkan semua hal yang menjadi lamaran lelaki ini. Tentang konsep hidup berumah tangga dan keberadaanku yang harus mengikutinya ke kotanya. Aku butuh waktu khusus untuk memikirkannya. Dan alasan dia memilihku, karena aku sederhana, smart dan mandiri. Tuhan, lelaki ini yang kuimpikan. Dia yang menggugurkan semua beban ini. Aku menerima lamarannya. Semua baik – baik saja, hingga saat dia datang ke kotaku dan akan melamarku. Namun dia memutuskanku tanpa alasan tepat dihari pertunangan kami. Aku semakin tak mengerti ketika dia menikahi seorang gadis belia yang manja dan tak pernah kulihat ”smart” dalam dirinya. Aku tersia – sia,..

Kadang aku merasa, mungkin menjadi wanita biasa saja, tidak usah pintar, manja, bodoh namun cantik dan berkulit putih akan jauh lebih beruntung dariku,….

cerita tahun lalu,.....