Kamis, 16 September 2010

Lembayung Ungu

Sore yang tak begitu indah, namun tetap harus tetap kunikmati,..

Bukan aku tak berterima kasih pada Tuhan atas sore ini, namun sore tiba – tiba menjadi tak begitu indah saat aku menatap matanya. Sorot angkuh yang berharap aku mengakui realita yang terjadi. Dia datang dalam kelam sore yang berarak memecah mendung. Dia datang ketika aku tak yakin apakah aku ingin melihat senyumnya. Dan dia datang, tanpa pernah aku persiapkan. Datang,.. begitu saja,.. tidak ada yang special,..

Aku terdiam lagi. Ungu masih menanti jawabku. Lagi – lagi aku terdiam. Hanya diam yang bisa ku lakukan setahun ini, seterusnya aku tak punya keberanian lagi untuk berharap sesuatu yang sederhana untuk hidupku. Bahkan aku tak sanggup untuk berharap matahari akan bersinar dari timur esok pagi. Namun Ungu masih saja mematung di hadapanku dan berlutut untuk menyempurnakan sandiwara yang pernah dia skenariokan.

Diamku mulai menyebar arahnya, awalnya aku tak tahu apa yang harus aku katakan, namun sekarang diamku telah menemukan kuncinya. Aku harus mengatakan pada Ungu isi hatiku. Rasa membuncah yang selalu ada saat mengeja namanya. Tentang malam – malam panjang yang menemaniku berkhayal tentangnya, atau tentang airmata yang mengalir saat mengingat cerita cinta bersamanya, atau tentang kenyataan yang takut ku yakini, atau tentang kerapuhanku hidup tanpa dirinya. Diamku ini benar – benar menyebar arahnya.

Oke, aku akan mengatakan sesuatu yang romantic, seperti,…

“ Ungu, Kekasih hatiku, aku …” kalimat ini menggantung dan aku menggigit lidahku. Kelu, harus aku teruskan,..

Dan Ungu menatapku tajam, sedikit senyum di bibir tipisnya. Tuhan,. Ini sangat tidak romantic, namun mungkin ini hal teromantis antara kami. Dan aku tak juga punya keberanian untuk berharap ini nyata.

“ mencintaimu,..” Done ! aku menyelesaikan apa yang harus aku ucapkan.

Ungu menunduk. Seolah seribu pisau tajam menghujam tubuhnya yang kurus dan kini rapuh. Aku menikmati getar tak biasa yang kini aku rasa. Menikmati kegelisahan Ungu atas sikapku yang mungkin berbeda dengan pikirnya. Bathinku bergejolak, aku sangat menikmati kegalauan yang terpancar jelas dari sikap Ungu.

Ungu bukan sosok asing buatku, sosok yang teramat akrab untukku setahun lalu. Sebelum semua berubah dan memaksaku untuk melupakan wajah dan hatinya. Aku menikmati semua ketidaknyamanan yang terjadi dengannya. Ungu yang dulu garang berubah menjadi kelinci aneh yang menggelikan.

“Lembayung, aku minta maaf atas kepengecutanku, seharusnya kukatakan padamu alasan itu, sepahit apapun”

Aku mendesah lirih, memang seharusnya setahun yang lalu kau mengatakan alasan itu Ungu kekasihku tercinta, sepahit apapun, dengan begitu aku tak perlu membunuh bayi mungilmu, nyawa suci yang membuatku tak pernah mengenakan baju pengantin itu bersamamu. Dan sore ini berubah menjadi semakin kelam,..

Semarang, 2 September 2010, di sebuah sore yang galau
To PL – at least thanks for the MP3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar