prolog
Aku mengenalnya sebagai wanita lembut yang terlalu lama dan lelah menanti cinta. Bagiku, wajah cantiknya melambangkan kesempurnaan akan kesabaran yang terbalut kepercayaan mutlak. Tutur kata santun menghiasi nada indah yang tercipta lewat tulus do’a, dan mengurai kisah tak begitu indah. Meski tak sempurna, namun dia tetap sosok malaikat ungu dalam malam syahdu. Dia membebaskan hatinya untuk terbang bagai burung camar, sesekali menyambangi laut dan tergores akan karang. Dia berusaha menata selalu puing hati yang rapuh. Dia, wanita tegar yang diam – diam menangis dalam malamnya dan merindukan esok ceria
Aku mengenali senyum lembutnya dan sapanya yang terlantun khas tanpa cela. Bukan bermaksud menjadi tuan serba tahu, tapi aku merasakan beban berat dalam mimpinya. Tersenyum meski bulir bening perlahan turun melewati pipinya. Getar tak berjudul membekap seluruh kesempurnaan kerapuhan. Sekali lagi, aku yakin, airmata itu kembali menetes.
# 1
Kami bertemu di sebuah taman yang indah, dia sudah menantiku dalam hamparan rumput hijau nan indah. Senyum mengembang merona menyambut kehadiranku. Dia selalu cantik dalam warna apapun. Dan aku tahu, kali ini, dia sedang jatuh cinta.
Aku menikmati binar matanya, berpendar – pendar bercerita tentang kisah, secuil harapan yang membuncah dari puing kekecewaan. Aku ingin meraihnya dan mengatakan tentang kekhawatiran, tapi aku tak mampu mengungkapkan rasa dalam kegembiraannya.
Dia bercerita tentang seorang pangeran tampan yang mencintainya, lewat puitis nada yang mengalun melewati sungai jernih, mengikuti arus air berlari. Pangeran yang meyakinkannya akan mimpi indah tentang kedamaian atas nama cinta. Seorang pangeran yang mengulurkan tangan menghangat bathin. Kini dia yakin akan kenyataan yang indah, yang mampu melukiskan alam dan kuasanya dalam kesempurnaan warna. Pangeran datang menyibakkan hati yang kering dan menjentikkan jari, hatinya bersemi lagi
“Aku bergetar menerima karunia ini, inilah isi hidup yang selama ini aku nanti”
Aku tersenyum menyimak kalimatnya. Serasa nelangsa yang selama ini mendera bathinnya lenyap begitu saja. Meski perih yang tertancap tak mampu mulus menjelma tawa. Dia tersenyum, hanya tersenyum tanpa membagi cerita lewat bibirnya. Dan aku menjadi semakin peka dengan detak jantungnya, mendengarkan setiap makna arti sang pangeran dalam kegembiraannya. Aku berbahagia untuknya, namun keresahan itu menderaku. Seperti menyaksikan dia berjalan riang menuju jurang, melewati taman bunga yang indah, bersama kupu – kupu warna warni. Aku tak mampu mengusik bahagianya, namun aku tak mampu mengusik rasaku kepadanya.
Kami berbaring di bawah pohon rindang menyejukkan, menatap langit biru dan bermain dengan awan. Dia sangat cantik hari ini, menuangkan warna jingga menjadi ceria. Kami terlalu sering melakukan ini. Berbaring diam dalam masa, menanti awan menerjemahkan setiap kata dan rasa. Bukan aku tak ingin bersamanya hari ini. Namun aku tak ingin pemilik wajah tulus ini terjatuh lagi.
# 2
Hari ini genap tiga ratus hari aku tak bertemu dengannya. Hanya pesan bahagia yang selalu menyapaku dalam semua media. Dan cerita sang pangeran yang berubah masa menjadi ksatria perkasa yang menempuh jalan berliku untuk menyempurnakan cinta. Tiga ratus hari tak mampu mengusik rasa ini, saat ketidaksempurnaan menjadi penghalang akan perayaan cinta, aku mendesah diam – diam, dalam kelam, menitipkan do’a pada langkahnya.
Hari ini aku mengenang kisah kami, bukan kisah cinta bak puisi romeo & Juliet. Namun kisah pertautan rasa damai dan percaya. Semua indah bersamanya dan cerita nyata bermula. Kerinduan yang selalu dia ajarkan menuntunku ke sana, sebuah tempat damai yang selalu menjadi rangkaian cerita indah. Menyesapi damai embun yang menatap kami penuh canda. Aku ingin menyampaikan pesan tentang sang pangeran, entah lewat burung atau semilir angin, tentang sang pangeran yang memiliki banyak permaisuri selain dia, tentang sang pangeran yag tak sesempurna mimpinya. Aku ingin membawanya pergi, menyelamatkannya dari tawanan sang naga dalam kastil tinggi yang menakutkan.
Aku terus berlari mengejarnya. Mencoba berbicara tentang kemuraman yang ku ketahui. Namun tiap kali mengingat bening bola mata yang memancarkan harap, aku mengutuk keberanianku akan menghancurkan cerita bahagianya. Aku menyesal tak pernah mengatakan hal ini, namun aku selalu menitipkan bulir asa lewat pelangi yang muncul di sore hari. Aku berharap sang naga berbaik hati mengantarkan dia ke taman ini suatu saat, ketika sang pangeran pergi jauh, atau saat sang pangeran menyakitinya.
Dia mengirimkan pesan searah kepadaku, lewat merpati putih berwajah duka. Surat penuh cerita indah akan pangeran dan sang puteri. Mungkin hanya rasaku yang tak rela menyaksikan wanita berhati mulia mendapatkan cintanya dengan cara ini. Kembali aku mengutuk rasaku yang juga mampu sempurna dalam misi mendendangkan cinta. Kenyataannya aku berbicara kepada awan, dalam baringku sendiri di bawah pohon rindang. Dan awan menertawakan rasaku, berubah bentuk menjadi tangan yang menahan langkahku
“Tak perlu kau berlari, mengejar mimpi yang tak pasti, hari ini juga mimpi, biarkan saja dia datang di hatimu”
Keindahan itu sempurna, aku yang menjadikannya tak sempurna. Aku mohon maaf untuk itu.
# 3
Hari – hari ku lalui dengan keyakinan dia telah bahagia. Tinggal aku saja yang berusaha menyakinkan diriku akan ketidakbenaran kemuraman itu. Semua berjalan sebagaimana embun muncul di pagi hari, menebarkan sejuk yang tak pernah mampu dilukiskan dalam warna dan dimensi apapun, lalu menyambut mentari yang menawarkan hangat melenakan pagi dan member warna terang dalam langkah menanti sang sore hadir dalam redup yang selalu mengingatkanku padanya, semilir angin yang lalu menyertakan senyumnya, lalu petang akan menghantarkanku pada kenyataan aku tetap sendiri dan menyimpan pesan yang tak pernah aku sampaikan, dan kusesali dalam malam panjang yang terus menghadirkan wajahnya. Pada masa ini aku akan menangis dan meratap, tentang pesan tersirat yang dia kirimkan berates kali, aku tak pernah bisa menyelamatkannya dalam kurungan menara tinggi sang pangeran yang di jaga naga jahat.
Aku bergetar melihatnya. Duduk di bawah pohon rindang dalam diam. Aku tahu dia menungguku, menghadiahiku seulas senyum dan binar mata indah. Dia bercerita tentang cintanya pada sang pangeran, tentang ekspresi cinta yang tak pernah mendapat respon positif, tentang cinta yang nyatanya tak pernah mendapat tempat selayaknya. Aku meracau, aku mengetahui kemuraman ini, namun tak pernah mampu menerjemahkannya dalam bahasa apapun. Dia menangis, memelukku dan memohon maaf. Dia menerima semua pesanku, lewat angin, lewat kicau burung, lewat pelangi dan bahkan lewat awan yang menjadi musuhku. Namun dia menerima itu sebagai bentuk cinta, meski terkoyak, meski terluka, meski tak pada tempatnya.
Dia menunjukkan sebuah batu di dekat sungai, tempat kami biasa bercerita, dia menuliskan namanya dan nama sang pangeran, dia berpesan kepadaku untuk menjaga batu itu dan menunjukkan pada sang pangeran suatu waktu. Bathinku menggeleng, namun kepalaku mengangguk, bagaimana mungkin seorang yang telah melukai hatimu begitu dalam mendapat ukiran nama di batu yang tak mungkin akan terhapus. Aku menganggap dia berlebihan, meninggalkan logika dalam cinta yang tak terbalas nyata. Dia ingin tinggalkan kenangan dan kenangan.
Aku menantinya di sebuah batu besar dan memainkan gitarku, tentang lagu cinta yang menderu, dia datang dengan senyum ramah penuh cinta. Nafasku tercekat, aku merasakan cinta yang luar biasa darinya, untukku. Camelia memetik bunga ungu dan menyelipkan pada tali gitarku. Lalu menyandarkan kepalanya di bahu kananku. Mencoba mengisi bait – bait cinta dengan suara lemahnya. Entah apa yang ada di otakku, aku tak mampu melihat bunga itu. Sejuta rasa kecewa membuncah dan kemarahan pada sang pangeran membuatku mencabut bunga dan membuangnya. Dia tersentak, menatap dan memungut bunga itu, dia bersihkan bunga itu dengan air mata mulai menetes. Aku minta maaf, kekasihku,..
Namun kalimatku tercekat pada hitungan detik. Dia berlari sambil menangis, mendekap erat bunga itu, berlari tanpa bisa ku kejar, merasakan seluruh tubuhku membatu dan terpaku pada bumi dan menyaksikan pemilik hati yang putih itu pergi. Aku ingin bersamanya mendekap bunga itu, bunga yang terakhir. Memohon maaf atas salah dan khilafku.
# 4
Senja ini berwarna hitam, semilir angin tanpa cerita menyapaku dalam resah. Dia mengirimkan pesan untuk bertemu disini, bukan taman indah di pinggir sungai yang menjadi tempat pertemuan kami. Pesan yang kubaca dia menantiku di tengah ladang, aku pernah ke sini sekali bersamanya, bukan di senja yang menyiratkan senyap. Aku mencarinya, duduk dan tersenyum. Aku masih mencarinya.
Di ujung pematang, dia berdiri, memakai baju putih diantara ribuan kembang, langit di atas rambutnya berwarga merah tembaga, Dia memandangku dalam basah airmata di pipinya. Aku mendengar getar bibirnya memanggilku, menyampaikan kerinduan dan cinta yang mendalam kepadaku. Mengirimkan kedamaian dan keindahan dalam kasih yang menyatu putih, berjuntai kenangan dan harapan yang membias meninggalkan pudar warna. Aku terpaku menatapnya, membisu dalam riuh kata yang ingin terucap. Menggores pedih dan luka atas cerita terakhir. Wanita dalam kalbu menatapku, mengirimkan cinta yang tak pernah habis buatku. Aku menatapnya, perlahan memudar dan hilang. Aku kehilangannya.
Sebuah batu hitam di atas tanah merah, tertulis namanya yang indah juga cerita hidupnya yang bermuara padaku. Kematiannya itu terasa menyesakkan, meninggalkan penyesalan mendalam atas sikapku yang nyata tak bersahabat, namun tetap menunjukkan cintanya yang tak pernah pudar berabad lamanya. Airmataku membangun sesal atas cinta yang tak pernah ku berikan tempat yang selayaknya, tentang namanya dan namaku di batu yang ku anggap berlebihan, untuk bunga yang ku cabut dari gitarku dan ku campakkan, kepada kesetiannya yang tak pernah ku balas, dan akulah sang pangeran yang tak pernah membuatnya menjadi puteri yang sebenarnya. Dan kembali menyalahkanku atas semua kelukaan yang dia alami.
Di sini aku tumpahkan rindu, ku genggam dan ku taburkan bunga unntuknya, berlutut dan menitipkan do’a, mimpi indahlah dia sang pemilik cinta, Tuhan ada di sampingnya dalam sorga abadi. Aku mencintaimu, Camelia,….
Epilog
Aku mengenalnya sebagai wanita lembut yang terlalu sering terluka cinta. Bagiku, wajah cantiknya melambangkan kesempurnaan akan kesabaran tak bertepi. Tutur santun indah tercipta lewat harapan tak hampa. Dia telah sempurna, membebaskan hatinya untuk terbang bagai burung camar, Dia telah memiliki hati utuh yang mendamaikannya. Dia, wanita tegar yang tak lagi diam – diam menangis dalam malamnya dan merindukan esok ceria.
Embun pagi tak lagi menyapaku dalam segarnya. Matahari memandangku sebagai pecundang. Sore menghantarkanku pada penyesalan mendalam kepadanya. Dan malam menghukumku dalam penantian panjang. Aku menunggunya kembali, membebaskan nasibku dari belenggu sepi.
Semarang, 9 Desember 2011, 08.45 WIB
terinspirasi oleh tembang Camelia #1,Camelia #2,Camelia #3,Camelia #4 karya Ebiet G. Ade yang sudah ku dengar berpuluh tahun yang lalu.
berbagi,... mungkin sekedar berbagi hening, namun mampu memberi arti, sekedar berterima kasih pada kehidupan,.. sangat bersyukur saat sebuah kegelisahan & luapan ide gila yang entah kemana bermuara dan rangkaian kata menemukan rumahnya,...
Jumat, 09 Desember 2011
Jumat, 19 Agustus 2011
Pulang
dan aku disini, selaksa berjalan tanpa tepi, kerontang tersapu panas yang tak juga melegakan,dan bulir sesal menyamai langkah,.aku lelah,..
tak juga mampu mengurai arti tangis dalam dada, ketika kerinduan tak lagi memiliki tema, seolah semua pergi tanpa pernah kusadari dan merenggut sekian makna dalam rasa, aku lelah,..
memilih terdiam dan berbicara tanpa kata, cerita tak juga menyurutkan resah, kedamaian menjadi mimpi, mulai terbang di awan, aku lelah,..
ketika aku pulang, aku ingin bertemu denganmu,..
Jumat, 12 Agustus 2011
s i a
menyusuri pasir - pasir,
selaksa menyusuri hati yang merindu,
menyebrang lautan
seumpama gejolak yang tak mampu kupahami.
kini aku tiba,
menjejakkan kaki
bersiap berlari menyambutmu,..
kau tak ada,..
tak pernah ada disini,..
aku meyakinkan hatiku,..
semua ini sia - sia,..
semarang, 7 Maret 2011, mengingat yang seharusnya,...
selaksa menyusuri hati yang merindu,
menyebrang lautan
seumpama gejolak yang tak mampu kupahami.
kini aku tiba,
menjejakkan kaki
bersiap berlari menyambutmu,..
kau tak ada,..
tak pernah ada disini,..
aku meyakinkan hatiku,..
semua ini sia - sia,..
semarang, 7 Maret 2011, mengingat yang seharusnya,...
Sabtu, 06 Agustus 2011
my lovely life
Its About Love Slideshow: Dita’s trip from Semarang, Java, Indonesia to 2 cities Cilacap and Wonosobo was created by TripAdvisor. See another Indonesia slideshow. Create your own stunning slideshow with our free photo slideshow maker.
ku panggil dia imut,...
Aku mengenalnya,...
sosok mungil penuh kesabaran,.
penuh gemulai yang memijar aura putih,..
bukan sosok sempurna namun menggambarkan dunia warna memuja,..
Aku mengenalnya,...
sosok lembut dan tanpa prasangka,.
ceria dan tanpa kesah menggema,.
bukan manja namun berada dalam kisah yang tangguh dalam nuansa,..
Aku mengenalnya,..
hati yang tak pernah ku sangka
kisah yang tak henti ku cerna
sapa ikhlas terbalut ramah
Aku memanggilnya,.... imut,...
semarang, 6 Agustus 2011
*Tuhan selalu ada buatmu, Yas,...
sosok mungil penuh kesabaran,.
penuh gemulai yang memijar aura putih,..
bukan sosok sempurna namun menggambarkan dunia warna memuja,..
Aku mengenalnya,...
sosok lembut dan tanpa prasangka,.
ceria dan tanpa kesah menggema,.
bukan manja namun berada dalam kisah yang tangguh dalam nuansa,..
Aku mengenalnya,..
hati yang tak pernah ku sangka
kisah yang tak henti ku cerna
sapa ikhlas terbalut ramah
Aku memanggilnya,.... imut,...
semarang, 6 Agustus 2011
*Tuhan selalu ada buatmu, Yas,...
Jumat, 22 Juli 2011
hi dear
Hi dear.. Good morning,.
I know its 1.30 a.m, I still can't sleep.
A lot of things on my brain.
I don't have an idea to share with..
I don't know how to start,.
I don't know what I feel actually..
My knees so weak n I have my destination yet.
I'll try to sleep, hope God see me in my dream.
Love u..
- d -
I know its 1.30 a.m, I still can't sleep.
A lot of things on my brain.
I don't have an idea to share with..
I don't know how to start,.
I don't know what I feel actually..
My knees so weak n I have my destination yet.
I'll try to sleep, hope God see me in my dream.
Love u..
- d -
samar ungu
Aku membutuhkannya, bukan hanya semacam password, namun kehadirannya dalam kenyataan. Hanya menemani dalam diam dan hening, namun berbalut kenyamanan utuh. Namun dia tak pernah mau mengerti dan tak sedikitpun peduli.
Selalu seperti ini, malam dingin, senyap dan aku tak juga terlelap,..
Kau menghampiriku diam – diam, merebahkan keindahan dalam relungku, menyapa dalam bisik mendamaikan. Aku menyerahkan cemasku pada rasa nyaman tak berkesudahan.
“Aku tak mengundangmu”
Kau tersenyum, mengerling dan menatap. Aku tak lagi mengharapkan kehadiranmu, tidak lagi setelah kau menghilang dan membuatku gelisah.
“kau tak perlu mengundangku untuk datang”
Kembali aku menyerah pada kenyataan. Ketika hembus angin tak pernah mampu memaparkan harapan yang pernah aku miliki. Dan seumpama banyak hati menghujam dan mendera. Kau tak perlu ku undang untuk datang, kemarin, sekarang dan selamanya…
Semarang, 22 Juli 2011
Selalu seperti ini, malam dingin, senyap dan aku tak juga terlelap,..
Kau menghampiriku diam – diam, merebahkan keindahan dalam relungku, menyapa dalam bisik mendamaikan. Aku menyerahkan cemasku pada rasa nyaman tak berkesudahan.
“Aku tak mengundangmu”
Kau tersenyum, mengerling dan menatap. Aku tak lagi mengharapkan kehadiranmu, tidak lagi setelah kau menghilang dan membuatku gelisah.
“kau tak perlu mengundangku untuk datang”
Kembali aku menyerah pada kenyataan. Ketika hembus angin tak pernah mampu memaparkan harapan yang pernah aku miliki. Dan seumpama banyak hati menghujam dan mendera. Kau tak perlu ku undang untuk datang, kemarin, sekarang dan selamanya…
Semarang, 22 Juli 2011
Kamis, 07 Juli 2011
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - Finally
Finally
Yang pasti perjalanan ini terasa sangat menyenangkan (semoga juga sangat menyenangkan buat Ayu’ dan teman – teman yang bersamaku). Banyak hal yang aku yakini terjadi dalam kurun waktu tiga hari ini. tentang cinta, tentang persahabatan, tentang ketulusan dan tentang keberuntungan. Hal yang tidak sempat terlintas di benakku saat pekerjaan, obsesi dan dendam itu mengurungku.
Terima kasih mendalam kepada semua yang telah membantu kami untuk mewujudkan perjalanan ini.
Kepada Allah. Penulis Scenario terhebat untuk kehidupan kami, yang selalu melindungi langkah kami, memahami keinginan kami tanpa lelah. Maturnuwun ya Allah, atas semua kebahagiaan ini.
Mama & Papa kami, yang telah mengizinkan kami menjalankan perjalanan ini. Atas do’a yang selalu dipanjatkan, dan atas kemengertian Mama & Papa ketika kami tidak sering – sering menelpon.
Adik – Adik Kami. Terima kasih atas pengertiannya atas ketidakadaannya oleh – oleh dari Yogya. Percayalah, apa yang ada di Yogya, juga ada di Semarang, kecuali tempat – tempat yang kami kunjungi .
Banyak cinta untuk Ayu’, yang udah sabar banget bersamaku lebih dari separuh usia kami. Terima kasih untuk segalanya,..
Ade – sahabat kami yang baik - tengkyu ya atas aurora nya hehehehe,...
Dhanny, Makasih udah menemani tiga hari full kami di Yogya, sebagai guide yang sering kuragukan petunjuknya .
Agnes Tan yang udah minjemin kamera digital untuk menunjang kenarsisan kami. Aduh,. Makasih ya Cik..
Wawan – My Soulmate – kenapa cuma satu hari??? We’d so much fun, but without you,.. Someday, ke Bali???
Sigit, maturnuwun dan ma’af sudah mengganggu tidurmu. Tapi ada yang kau taksir kan?? Hehehe
Sekar & Kiki. Thanks untuk gudeg di Gejayannya, besok lagi ga usah foto di tugu tengah malam deh. Tanpa foto – fotoan di tugu, aku balik Yogya terus kok..
Kaka. Karimun Hijauku yang sangat kooperatif mengantarkanku kemana aku mau. Jauh, penuh, sesak, nyaman,..
Teman – teman yang sebenarnya sudah aku pamitin, namun saat kami di Yogya selalu menelpon, hanya untuk menyatakan keinginannya bersama kami di Yogya, ada Riri, Pithie, Tik Pol, Pak Dar, (kabarnya nyaris menyusulku ya hehehe) juga Duhita, Jenny, Fenny, siapa lagi yaaa
Untuk keindahan dan keeksotikan tempat yang kami kunjungi, betapa kami sangat bersyukur dapat mengunjungi tempat – tempat yang indah ini. Alam di Parangtritis, Ullen Sentalu, Taman Sari,..
Dan semua yang telah tanpa sengaja mendukung, yang namanya saja aku tak tahu. Yang jual tirai di Jambu, Bapak ramah yang jual kupat tahu di depan SMP 7 Magelang, Mbak – Mbak yang bertugas di Makam Giriloyo, petugas pom bensin sepanjang Semarang – Yogyakarta, penjual nasi bakar di Wirobrajan plus sepasang kekasih yang gagal menikmati malam minggu karena kami, pemuda pemudi di Alkid yang mencoba melewati ringin kembar, masyarakat Yogya,.. Aduh,. Maturnuwun sanget,..
Sekali lagi terima kasih dan semoga perjalanan ini akan menjadi kenangan yang tak pernah terlupa dan selalu menjadi cerita.
Semoga juga perjalanan ini menjadi titik balik kebahagiaan dan persahabatan aku dan Ayu’, selamanya.
Salam,..
Yang pasti perjalanan ini terasa sangat menyenangkan (semoga juga sangat menyenangkan buat Ayu’ dan teman – teman yang bersamaku). Banyak hal yang aku yakini terjadi dalam kurun waktu tiga hari ini. tentang cinta, tentang persahabatan, tentang ketulusan dan tentang keberuntungan. Hal yang tidak sempat terlintas di benakku saat pekerjaan, obsesi dan dendam itu mengurungku.
Terima kasih mendalam kepada semua yang telah membantu kami untuk mewujudkan perjalanan ini.
Kepada Allah. Penulis Scenario terhebat untuk kehidupan kami, yang selalu melindungi langkah kami, memahami keinginan kami tanpa lelah. Maturnuwun ya Allah, atas semua kebahagiaan ini.
Mama & Papa kami, yang telah mengizinkan kami menjalankan perjalanan ini. Atas do’a yang selalu dipanjatkan, dan atas kemengertian Mama & Papa ketika kami tidak sering – sering menelpon.
Adik – Adik Kami. Terima kasih atas pengertiannya atas ketidakadaannya oleh – oleh dari Yogya. Percayalah, apa yang ada di Yogya, juga ada di Semarang, kecuali tempat – tempat yang kami kunjungi .
Banyak cinta untuk Ayu’, yang udah sabar banget bersamaku lebih dari separuh usia kami. Terima kasih untuk segalanya,..
Ade – sahabat kami yang baik - tengkyu ya atas aurora nya hehehehe,...
Dhanny, Makasih udah menemani tiga hari full kami di Yogya, sebagai guide yang sering kuragukan petunjuknya .
Agnes Tan yang udah minjemin kamera digital untuk menunjang kenarsisan kami. Aduh,. Makasih ya Cik..
Wawan – My Soulmate – kenapa cuma satu hari??? We’d so much fun, but without you,.. Someday, ke Bali???
Sigit, maturnuwun dan ma’af sudah mengganggu tidurmu. Tapi ada yang kau taksir kan?? Hehehe
Sekar & Kiki. Thanks untuk gudeg di Gejayannya, besok lagi ga usah foto di tugu tengah malam deh. Tanpa foto – fotoan di tugu, aku balik Yogya terus kok..
Kaka. Karimun Hijauku yang sangat kooperatif mengantarkanku kemana aku mau. Jauh, penuh, sesak, nyaman,..
Teman – teman yang sebenarnya sudah aku pamitin, namun saat kami di Yogya selalu menelpon, hanya untuk menyatakan keinginannya bersama kami di Yogya, ada Riri, Pithie, Tik Pol, Pak Dar, (kabarnya nyaris menyusulku ya hehehe) juga Duhita, Jenny, Fenny, siapa lagi yaaa
Untuk keindahan dan keeksotikan tempat yang kami kunjungi, betapa kami sangat bersyukur dapat mengunjungi tempat – tempat yang indah ini. Alam di Parangtritis, Ullen Sentalu, Taman Sari,..
Dan semua yang telah tanpa sengaja mendukung, yang namanya saja aku tak tahu. Yang jual tirai di Jambu, Bapak ramah yang jual kupat tahu di depan SMP 7 Magelang, Mbak – Mbak yang bertugas di Makam Giriloyo, petugas pom bensin sepanjang Semarang – Yogyakarta, penjual nasi bakar di Wirobrajan plus sepasang kekasih yang gagal menikmati malam minggu karena kami, pemuda pemudi di Alkid yang mencoba melewati ringin kembar, masyarakat Yogya,.. Aduh,. Maturnuwun sanget,..
Sekali lagi terima kasih dan semoga perjalanan ini akan menjadi kenangan yang tak pernah terlupa dan selalu menjadi cerita.
Semoga juga perjalanan ini menjadi titik balik kebahagiaan dan persahabatan aku dan Ayu’, selamanya.
Salam,..
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - Princess at Taman Sari
Be a princess at Taman Sari
Welcome To Taman Sari,. Yogya jam setengah dua, matahari terik, tapi tak terasa melihat ke eksotikan Taman Sari,. Cukup membayar Rp. 2.500,-/tiket plus meminta satu guide untuk memandu kami. Kami melangkahkan kaki memasuki gerbang Taman Sari.
Taman Sari adalah sebuah bangunan mewah yang terletak dilingkup Keraton Yogyakarta. Konon bangunan ini adalah tempat mandi para selir untuk kemudian dipilih sang raja untuk menemani tidur.
Ini yang sebenarnya tidak pernah aku setuju dari pembenaran ketidakadilan Raja Jawa saat itu, tentang perempuan yang tak lebih dari barang yang bisa pilih dan dibuang kapan saja. Tapi aku bisa apa, toh saat itu aku belum lahir, atau mungkin aku ada direinkarnasiku saat itu sebagai pejuang wanita, atau justru aku sebagai salah satu selir itu, aduuh,…
Taman Sari sendiri terdiri dari dua kolam besar yang terletak di sebelah kanan dan kiri gerbang masuk. Kolam di sebelah kanan gerbang, adalah kolam untuk para selir yang mandi, dan bisa dilihat dengan leluasa oleh Sang Raja dari jendela tinggi yang ada dibangunan megah di sebelah kiri gerbang. Kemudian selir terpilih, ( nggak cuma Presiden saja yang terpilih ya) akan di “undang” untuk “bersenang – senang” di kolam khusus Raja yang terletak dibalik bangunan megah ini. seperti yang ada di gambar sebelah, ini adalah kolam yang digunakan Raja untuk memulai “petualangan”nya dengan selir terpilih.
Uff, rasanya berat menuliskan cerita Taman Sari ini, meski berdasar dari cerita sang guide yang sebenarnya sangat gampang ditebak endingnya,..
Taman Sari tidak hanya kolam, masih ada ruangan – ruangan di dalamnya, diantaranya ruangan untuk ganti baju Raja, untuk spa Raja, satu menara tinggi menghadap kolam mandi selir, sampai ruangan yang tidak jelas konsepnya. Ya,. Semangat narsis kian tinggi, arsitektur Taman Sari bisa dibilang tak biasa. Bangunan besar dan kokoh dihiasi dengan ukiran mewah dan mistik khas Keraton. Kapan lagi bisa menjadi Putri di sini.
Wisata Taman Sari tak hanya pemandian Raja dan selir – selirnya. Rupanya telah diatur apik oleh warga setempat yang nyambi sebagai guide, tempat wisata ini dipaketkan dengan mengunjungi Sumur Gumuling dan Pulau Cemeti. Sebenarnya dua nama terakhir ini bukan nama baru buatku dan Dhanny, karena zaman kuliah, dua tempat ini adalah tempat favorit untuk hunting foto, tempatnya bagus sih, kuno dengan sentuhan “angker”,..
Ada dua versi cerita tentang Sumur Gumuling, satu cerita menyebutkan sumur itu adalah tempat penampungan air yang salah satu sudutnya bisa mengantarkan kita ke pantai Parangtritis dengan ilmu tertentu, (jika benar, salah satu sudut ini menjadi pintu masuk terowongan ke Pantai Parangtritis, maka aku hanya penasaran kira – kira terowongan itu lewat mana yaaaa,… )
Versi ke dua, Sumur Gumuling adalah Masjid di Bawah Tanah. Yang kedua masuk akal juga, melihat “jendela – jendela” di Sumur Gumuling yang hampir menyerupai arsitektur Masjid.
Welcome To Taman Sari,. Yogya jam setengah dua, matahari terik, tapi tak terasa melihat ke eksotikan Taman Sari,. Cukup membayar Rp. 2.500,-/tiket plus meminta satu guide untuk memandu kami. Kami melangkahkan kaki memasuki gerbang Taman Sari.
Taman Sari adalah sebuah bangunan mewah yang terletak dilingkup Keraton Yogyakarta. Konon bangunan ini adalah tempat mandi para selir untuk kemudian dipilih sang raja untuk menemani tidur.
Ini yang sebenarnya tidak pernah aku setuju dari pembenaran ketidakadilan Raja Jawa saat itu, tentang perempuan yang tak lebih dari barang yang bisa pilih dan dibuang kapan saja. Tapi aku bisa apa, toh saat itu aku belum lahir, atau mungkin aku ada direinkarnasiku saat itu sebagai pejuang wanita, atau justru aku sebagai salah satu selir itu, aduuh,…
Taman Sari sendiri terdiri dari dua kolam besar yang terletak di sebelah kanan dan kiri gerbang masuk. Kolam di sebelah kanan gerbang, adalah kolam untuk para selir yang mandi, dan bisa dilihat dengan leluasa oleh Sang Raja dari jendela tinggi yang ada dibangunan megah di sebelah kiri gerbang. Kemudian selir terpilih, ( nggak cuma Presiden saja yang terpilih ya) akan di “undang” untuk “bersenang – senang” di kolam khusus Raja yang terletak dibalik bangunan megah ini. seperti yang ada di gambar sebelah, ini adalah kolam yang digunakan Raja untuk memulai “petualangan”nya dengan selir terpilih.
Uff, rasanya berat menuliskan cerita Taman Sari ini, meski berdasar dari cerita sang guide yang sebenarnya sangat gampang ditebak endingnya,..
Taman Sari tidak hanya kolam, masih ada ruangan – ruangan di dalamnya, diantaranya ruangan untuk ganti baju Raja, untuk spa Raja, satu menara tinggi menghadap kolam mandi selir, sampai ruangan yang tidak jelas konsepnya. Ya,. Semangat narsis kian tinggi, arsitektur Taman Sari bisa dibilang tak biasa. Bangunan besar dan kokoh dihiasi dengan ukiran mewah dan mistik khas Keraton. Kapan lagi bisa menjadi Putri di sini.
Wisata Taman Sari tak hanya pemandian Raja dan selir – selirnya. Rupanya telah diatur apik oleh warga setempat yang nyambi sebagai guide, tempat wisata ini dipaketkan dengan mengunjungi Sumur Gumuling dan Pulau Cemeti. Sebenarnya dua nama terakhir ini bukan nama baru buatku dan Dhanny, karena zaman kuliah, dua tempat ini adalah tempat favorit untuk hunting foto, tempatnya bagus sih, kuno dengan sentuhan “angker”,..
Ada dua versi cerita tentang Sumur Gumuling, satu cerita menyebutkan sumur itu adalah tempat penampungan air yang salah satu sudutnya bisa mengantarkan kita ke pantai Parangtritis dengan ilmu tertentu, (jika benar, salah satu sudut ini menjadi pintu masuk terowongan ke Pantai Parangtritis, maka aku hanya penasaran kira – kira terowongan itu lewat mana yaaaa,… )
Versi ke dua, Sumur Gumuling adalah Masjid di Bawah Tanah. Yang kedua masuk akal juga, melihat “jendela – jendela” di Sumur Gumuling yang hampir menyerupai arsitektur Masjid.
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - Lunch at Dapur Desa
Yogyakarta, 13 Mei 2008
A nice lunch at dapur desa
Ini adalah hari terakhir perjalanan kami, menurut schedule kami akan mengunjungi Museum di Keraton Ngayogyakarta, Taman Sari, Pulau Cemeti dan Sumur Gumuling. Inginnya kami pergi agak pagi, tapi karena semalam aku tidur sangat larut, aku bangun siang (meski dalam kamusku jam tujuh pagi masih termasuk sangat pagi ). Kelar mandi aku menjemput Dhanny sendiri, dan Ayu’ masih di hotel. Packing, karena rencana kami akan check out pagi ini juga. Karena sekar dan Kiki agaknya tidak bisa bangun pagi itu, maka kami memutuskan untuk jalan duluan. Karena perut terasa sangat lapar, kami memutuskan untuk ke Dapur Desa, sebuah rumah makan dengan konsep pra lesehan (maksudnya lesehan di panggung) dengan menu utama nasi merah.
Yogya jam sebelas lebih empat puluh lima menit, pantes aja laper. Tidak banyak yang kami pesan, karena nasi merah ini sudah satu paket dengan sayur dan lauknya. Untuk urusan minum, kami masih memilih menu standar, tidak banyak yang kami lakukan disana, selain moment menyenangkan saat menunggu pesanan kami datang, tak lain dan tak bukan adalah,…. Foto – fotoan,... horeeeeee, dan kali ini menggunakan kamera HP Dhanny yang agak – agak buram, entah karena apa,.. biar aja kan, daripada tak ada bukti kita sampai disana ya Yu’ hehehehe,..
Setelah menemukan penyebab keburaman kamera HP Dhanny, (yang kayaknya nggak perlu aku jelaskan hehehehe), menu yang kami nanti hadir juga, paket nasi merah, ada sayur tempe bersantan dan sayur gorinya, plus tempe, timu juga pesanan empal dan paru, plus es teh, sambel ijo, hm,.. nyam,.. nyam,.. yummy,..
Lho kok ada nasi putih? Iya,.. itu yang pesen Dhanny, karena dia pernah makan di sini sebelumnya dan mengkategorikan nasi merah tidak cocok dengan lidahnya. Ya,. Harap maklum, bapak kita satu ini selera makannya agak berbeda dengan orang kebanyakan (hehehe ma’af ya Pak,. hehehehe).
Satu jam kemudian kami meneruskan agenda hari itu, ke Taman Sari, dan meninggalkan agenda berkunjung ke Museum Keraton Yogyakarta. Museum itu tutup, karena dua hari sebelumnya Pak Sri Sultan mantu,..
A nice lunch at dapur desa
Ini adalah hari terakhir perjalanan kami, menurut schedule kami akan mengunjungi Museum di Keraton Ngayogyakarta, Taman Sari, Pulau Cemeti dan Sumur Gumuling. Inginnya kami pergi agak pagi, tapi karena semalam aku tidur sangat larut, aku bangun siang (meski dalam kamusku jam tujuh pagi masih termasuk sangat pagi ). Kelar mandi aku menjemput Dhanny sendiri, dan Ayu’ masih di hotel. Packing, karena rencana kami akan check out pagi ini juga. Karena sekar dan Kiki agaknya tidak bisa bangun pagi itu, maka kami memutuskan untuk jalan duluan. Karena perut terasa sangat lapar, kami memutuskan untuk ke Dapur Desa, sebuah rumah makan dengan konsep pra lesehan (maksudnya lesehan di panggung) dengan menu utama nasi merah.
Yogya jam sebelas lebih empat puluh lima menit, pantes aja laper. Tidak banyak yang kami pesan, karena nasi merah ini sudah satu paket dengan sayur dan lauknya. Untuk urusan minum, kami masih memilih menu standar, tidak banyak yang kami lakukan disana, selain moment menyenangkan saat menunggu pesanan kami datang, tak lain dan tak bukan adalah,…. Foto – fotoan,... horeeeeee, dan kali ini menggunakan kamera HP Dhanny yang agak – agak buram, entah karena apa,.. biar aja kan, daripada tak ada bukti kita sampai disana ya Yu’ hehehehe,..
Setelah menemukan penyebab keburaman kamera HP Dhanny, (yang kayaknya nggak perlu aku jelaskan hehehehe), menu yang kami nanti hadir juga, paket nasi merah, ada sayur tempe bersantan dan sayur gorinya, plus tempe, timu juga pesanan empal dan paru, plus es teh, sambel ijo, hm,.. nyam,.. nyam,.. yummy,..
Lho kok ada nasi putih? Iya,.. itu yang pesen Dhanny, karena dia pernah makan di sini sebelumnya dan mengkategorikan nasi merah tidak cocok dengan lidahnya. Ya,. Harap maklum, bapak kita satu ini selera makannya agak berbeda dengan orang kebanyakan (hehehe ma’af ya Pak,. hehehehe).
Satu jam kemudian kami meneruskan agenda hari itu, ke Taman Sari, dan meninggalkan agenda berkunjung ke Museum Keraton Yogyakarta. Museum itu tutup, karena dua hari sebelumnya Pak Sri Sultan mantu,..
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - at angkringan
Yess !! Finally I was in Angkringan
Makan malam di agenda adalah makan gudeg jogja di tugu (sesuai dengan kebiasaanku zaman kuliah dulu). Namun dengan alasan gudeg di tugu sudah tidak eksis lagi dan efektif jalan, kami menurut dengan referensi Kiki,. Gudeg di depan Mirota Gejayan. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan. Tempatnya rame dengan beberapa tikar yang digelar menjadi beberapa kelompok. Dengan berbagai lauk yang menggugah selera makan (sebenarnya karena lapar). Nothing special, ya namanya saja gudeg yogya yang di
makan lesehan. Gitu ajaaaaaaa.
Malam kian larut, aku lelah. Aku ingin istirahat. Aku lihat Ayu mulai lelah, Mas Dhanny juga. Aku ingin segera sampai hotel, merebahkan tubuhku yang mulai tak karuan. Keterlambatan tidurku semalam mulai menunjukkan efeknya. Tapi aku nggak enak dengan Sekar dan Kiki yang sepertinya masih mau memutari Yogya. Dhanny menyerah, dia minta diantar ke angkringan (pastilah dia merindukan teman – temannya disana hehehe).
Kami sempat mampir di angkringan langganan Dhanny, sejenak merasakan nuansa angkringan yang berbeda dengan angkringannya Semarang. Angkringan di Yogya bukan saja tempat untuk sekedar mampir makan dan minum. Tapi lebih dari itu, angkringan juga tempat ngumpul beberapa komunitas untuk share apa saja, makanan, minuman, rokok, dan berbagai macam cerita untuk ditertawakan bersama.
Aku menikamti betul saat di angkringan, meski cuma pesen jahe hangat (karena semua makanan sudah habis, maklumlah, kami ke sana jam dua belas lebih lima belas menit dini hari). Aku sempat iri dengan konsep angkringan yang ada di Yogya. Sebuah tempat sederhana yang dapat menjembatani pembelinya yang kemudian akan membentuk komunitas. Gossip terakhir, angkringan di Yogya ada hotspotnya. Gila aja ! nge net gratis di angkringan, dengan modal seribu untuk beli es teh. Yogya is a crazy city, di Semarang aja untuk bisa nge net gratis kudu, musti wajib ke cafe yang mahal, dimana keluar duit paling nggak lima puluh rebu. Oalah.. Yogya… Yogya,.. ga salah kalo di internet banyak banget yang ketauan online di Ngayogyakarta.
Makan malam di agenda adalah makan gudeg jogja di tugu (sesuai dengan kebiasaanku zaman kuliah dulu). Namun dengan alasan gudeg di tugu sudah tidak eksis lagi dan efektif jalan, kami menurut dengan referensi Kiki,. Gudeg di depan Mirota Gejayan. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan. Tempatnya rame dengan beberapa tikar yang digelar menjadi beberapa kelompok. Dengan berbagai lauk yang menggugah selera makan (sebenarnya karena lapar). Nothing special, ya namanya saja gudeg yogya yang di
makan lesehan. Gitu ajaaaaaaa.
Malam kian larut, aku lelah. Aku ingin istirahat. Aku lihat Ayu mulai lelah, Mas Dhanny juga. Aku ingin segera sampai hotel, merebahkan tubuhku yang mulai tak karuan. Keterlambatan tidurku semalam mulai menunjukkan efeknya. Tapi aku nggak enak dengan Sekar dan Kiki yang sepertinya masih mau memutari Yogya. Dhanny menyerah, dia minta diantar ke angkringan (pastilah dia merindukan teman – temannya disana hehehe).
Kami sempat mampir di angkringan langganan Dhanny, sejenak merasakan nuansa angkringan yang berbeda dengan angkringannya Semarang. Angkringan di Yogya bukan saja tempat untuk sekedar mampir makan dan minum. Tapi lebih dari itu, angkringan juga tempat ngumpul beberapa komunitas untuk share apa saja, makanan, minuman, rokok, dan berbagai macam cerita untuk ditertawakan bersama.
Aku menikamti betul saat di angkringan, meski cuma pesen jahe hangat (karena semua makanan sudah habis, maklumlah, kami ke sana jam dua belas lebih lima belas menit dini hari). Aku sempat iri dengan konsep angkringan yang ada di Yogya. Sebuah tempat sederhana yang dapat menjembatani pembelinya yang kemudian akan membentuk komunitas. Gossip terakhir, angkringan di Yogya ada hotspotnya. Gila aja ! nge net gratis di angkringan, dengan modal seribu untuk beli es teh. Yogya is a crazy city, di Semarang aja untuk bisa nge net gratis kudu, musti wajib ke cafe yang mahal, dimana keluar duit paling nggak lima puluh rebu. Oalah.. Yogya… Yogya,.. ga salah kalo di internet banyak banget yang ketauan online di Ngayogyakarta.
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - Ullen Sentalu
Yogyakarta, 10 Mei 2008
The destination : Ullen Sentalu
Ayu bangun lebih dulu dariku. Pasti ! Aku terbangun ketika Wawan (yang sudah rapi, ganteng dan wangi) mengetuk kamarku. Aku menemuinya setelah cuci muka (hanya cuci muka hehehe nothing else) dan sudah ada dua piring nasi goreng untuk sarapan kami, aku dan Ayu. Jatah Wawan belum datang. Aku memaksa Wawan untuk makan duluan, nanti aku bisa makan nasi goreng jatah dia. Wawan langsung pulang Kebumen karena ada suatu urusan yang katanya maha penting (entah !! urusan apaan tuh sabtu sabtu !!!). Dan aku yang belum juga mandi mengantarkannya sampai ujung jalan Parangtritis.
Jam sembilan kami berkendara ke arah kasongan. Yup ! setelah menjemput Dhanny di Dongkelan yang telah kami tunjuk sebagai guide selama kami ada di sana, kami dengan riang berkendara menuju Kasongan. Jangan salah, kami tak belanja, meski Ayu sempat melirik beberapa barang yang akan dijadikan taget oleh – oleh, kami akan menjemput Sigit (teman kuliahku dan Dhanny). Basa basi sebentar lalu kami meneruskan perjalanan ke Ullen Sentalu di Kaliurang. Tepatnya dimana, tak seorangpun di mobil itu yang tahu.
Sigit mengambil alih kemudi, aku duduk dibelakang sama Ayu. Niatnya mau tidur – tidur ayam, tapi nggak bisa, akhirnya aku menikmati perjalanan ke Kaliurang dengan mata terpaksa terbuka.
Perjalanan menuju Ullen Sentalu agak terhambat karena minimnya keyakinkan kami akan jalan yang benar. Rasa lapar menyerangku. Kan belum makan. Nasgor yang aku tunggu tak akan pernah datang karena pihak hotel telah menerima laporan check out Wawan. Oh,..
Kami memutuskan untuk berhenti di depan taman bermain Kaliurang. Asri tempatnya, lumayan asyik untuk bermain anak – anak, cuma kenapa ada patung butho ijo super besar di sana sih? Agak terganggu juga melihatnya, tapi whatever lah,..
Kami makan bakso, lalu iseng nawar jadah tempe (makanan khas Kaliurang yaaa) hanya karena ingin berfoto dengan mbahnya yang jual, si mbah dengan wajah yang eksotis hehehe (maaf hasil fotonya sengaja tidak aku pasang, karena si mbah nunduk, mungkin beliau malu dengan keeksotikan wajanya, maaf sekali lagi).
Usai makan, kami mendapatkan energi untuk melanjutkan perjalanan. Dan ternyata keberadaan Museum Ullen Sentalu hanya 100 meter dari tempat kami makan bakso. Oh,..
We were in Ullen Sentalu The Museum
Nyes !! Perasaanku sangat sejuk melihat halaman Ullen Sentalu, tempat yang aku ingin datangi dari setahun yang lalu, tempat yang aku tahu keindahan tempatnya dari TRANSTV, dari cerita Husna dan Rani, dari internet. Awalnya aku sangat tertarik dengan tempat ini sebagai next target produksi Jalan Jajan Santai, tapi berhubung kontrak sudah tidak lagi aku tanda tangani, tak ada salahnya kan menikmati untuk kepuasan bathinku? Lagipula aku tak perlu menghabiskan banyak energi merayu Ayu’ untuk mengunjungi tempat ini.
Ullen Sentalu adalah sebuah museum yang menyimpan berbagai benda saksi sejarah milik Kerajaan Solo dan Kerajaan Yogyakarta. Terletak tak jauh dari pos masuk area wisata Kaliurang (setidaknya itu ancer – ancer dari Husna lewat SMS). Dari luar, museum ini tampak seperti rumah tinggal yang nyaman dan artistic dengan halaman super luas dan super asri. Memandang bebatuan dipadu dengan kayu, aku merasa berada di istana tempo dulu. Museum ini memiliki beberapa ruang yang masing – masing menyimpan cerita dan dihubungkan dengan lorong panjang, yang mengingatkanku pada istana tempat Tuan Putri diculik dan menanti sang pangeran datang menyelamatkannya hihihihi.
Ada Mbak Dessy yang mengantarkan kami “berkelana” di museum. Ya,.. Mbak Dessy bukan salah satu dari rombongan ini, Mbak Dessy adalah guide yang terpilih untuk mendapingi kami, dua lelaki Yogya asli yang belum pernah kesini dan dua sahabat dari Semarang. Ruang pertama yang kami masuki adalah ruang Gamelan, diruang ini kami melihat seperangkat alat gemelan berada ditengah ruangan dan lukisan beberapa raja dan penari di ketiga sisinya. Aku menatap kagum pada lukisan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Permaisurinya. Lukisan itu begitu hidup dan anggun. Lukisan yang aku impikan ada di salah satu dinding rumahku kelak, wajahku dan kekasih abadiku. (Tuhan, kabulkan do’aku ini. Amien)
Lorong pertama yang kami lewati dihiasi berbagai lukisan yang tampak semakin nyata. Satu adegan masa lalu yang tertuang apik dengan warna yang membuatku merasa seolah ada di zaman itu. Lukisan para raja (maaf, aku tak bisa mengingat nama masing – masing raja, apalagi adik – adiknya, saudara tirinya, mantan pacarnya, eh,... ), yang tampak anggun dengan busana zaman itu. Kami juga melihat lukisan tiga dimensi seorang puteri (atau permaisuri, aku tak yakin). Lukisan itu dapat mengikuti arah langkah kami. Aku menatap lukisan itu, sang model duduk menghadap kanan, lalu aku melewatinya, dan ketika aku menoleh sang model telah menghadap kiri. Ngeri? Nggak juga, itu cuma permainan warna yang dimainkan dengan tekhnik khusus (kalau yang ini adalah pernyataan seniman kita, Dhanny Susanto hehehehe). Kami – Aku, Ayu, Dhanny dan Sigit – terkagum – kagum dengan berbagai lukisan yang tampak nyata dan bercerita, sehingga beberapa kali kami tak menyimak apa yang Mbak Dessy katakan. (aduh, maafkan kami ya mbak,..)
Bukan hanya lukisan penggalan satu cerita zaman dulu saja, tapi juga lukisan batik yang dibuat oleh para raja zaman dulu. Jadi zaman dahulu kala, untuk dapat menjadi raja, selain harus dapat memimpin kerajaannya (ya iya lah), beliau juga harus bisa menguasai seni. Beberapa tarian yang aku tahu juga karangan para raja dan ternyata beberapa raja juga menciptakan motif batik, lengkap dengan filosofinya. Wow,.. eh ada nggak ya raja yang juga penyanyi?
Tidak hanya lukisan yang kami lihat, tapi kami juga melihat berbagai benda peninggalan para raja, permaisuri dan kerabatnya. Kami melihat ruangan Ratu .... (aduh Ratu siapa sih) yang sudah narsis dari dulu, posenya gaya abis dan seperti yang Mbak Dessy ceritakan, Ratu itu banyak banget yang suka kerena selain cantik alami, fotogenik, dia juga jago nari,. Hm,..
Ada juga beberapa kain batik yang masih tersimpan utuh. Berbagai motif, berbagai kegunaan, berbagai filosofi. Ada juga mesin jahit kecil yang pernah digunakan oleh salah satu Ratu dari Solo. Kami melihat lukisan prosesi pernikahan adat Yogyakarta (dibagian ini nih aku merasa teramat sangat melihat lukisan itu nyata untukku), sampai lukisan raja dengan busana kebesarannya. Kami juga sempat membaca surat – surat penyemangat untuk salah satu puteri raja yang sangat sedih karena tak bisa menikah dengan pria yang dicintainya, aku sempat bingung dengan gaya penulisan surat zaman dulu, banyak pantun dan istilah yang aku tak mengerti dan yang paling membingungkanku adalah pemakaian kata MERDEKA. Ini penyemangat untuk cinta yang terampas atau penyemangat untuk pejuang??
Puas menikmati berbagai hal di dalam museum, kami disuguhi satu gelas kecil minuman hangat. Kata Mbaknya, itu bir raja. Hangat jahe mengantarkanku pada khayalan tak menentu, mulai khayalan memiliki rumah seasri ini, hingga terbayang memakai baju pengantin adat Yogya tadi. Sempat juga terfikir beberapa cerita tragis yang mengikuti alur sejarah yang lagi – lagi berulang. Tak seorangpun menyadari, airmataku sempat menitik di salah satu ruangnya.
Sayang sekali, no camera di dalam museum, tapi bener, museum ini keren banget !! buat yang seneng seni dan sejarah. Sangat tidak cocok untuk kalian penikmat dugem, dijamin suntuk dan bete’ kelas berat . Next time, aku ingin ke sini lagi sama suami dan anak – anakku,... (Tuhan,.. yang ini juga dikabulkan ya,.. Amien).
Masih sore, kami duduk – duduk saja di lapangan parkir kawasan wisata Kaliurang. Udara dingin dan lukisan alam hijau memanjakan mataku. Sayangnya si camera masih aja ngambek nggak mau dipake, padahal semua merk battery sudah kami coba pasang. Jadi, aduh maaf sekali, tidak ada gambar yang membuktikan keindahan Kaliurang ini. Ada banyak yang ditawarkan disana, gelang, kalung hiasan dinding dan souvenir khas untuk oleh – oleh anak sekolah yang sedang study tour. Yang paling menarik perhatianku adalah seorang seniman lukis wajah, hm.. bisa dibayangkan kan, aku yang seorang narsis ingin sekali wajahkku dilukis,...
Dan kami, berempat, membiarkan pikiran kami mengembara. Nggak full mengembara sih, karena aku dan Ayu memilih untuk duduk – duduk di depan kolam yang ikannya segede gajah, eh.. nggak segitunya ding tapi gedhe banget dibanding ikan sebayanya hehehe dan dimanakah dua pria itu berada? Akhirnya kami menemukan dua pria itu sudah bertemu dengan indomie goreng special dan teh hangat. (spesialnya adalah ditambah bakso enam iris tipis, oh,..)
Angin bertiup sangat sejuk, sangaaaat sejuk, yang juga berarti dingin, sebuah dingin yang jarang aku dapatkan di Semarang atas, apalagi Semarang Bawah. Sebenarnya aku ingin lebih lama di sini, sepertinya naluri menulisku menemukan ilham di tempat yang menurutku seperti lukisan ini. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, sekitar setengah lima sore aku sudah menyetir karimunku menuruni Kaliurang dengan alasan kedua lelaki ini kedinginan dan tidak membawa jaket. Sepanjang perjalanan kami banyak bernostalgia, kami, aku, Dhanny dan Sigit. Sedang Ayu dengan sabar menjadi pendengar yang sangat baik. Dan karimunku meluncur ke kota Yogyakarta.
Ps. Sebelum mengantar Sigit ke daerah Kasongan, kami sempat mampir di warung kecil yang penuh sesak dengan perabotan rumah tangga tradisional. Aku membeli siwur untuk menggantikan gayung di kamar mandiku yang akan bersanding dengan tempayan yang aku beli di daerah Kalisari. Aku juga menemukan lampu senthir yang terbuat dari kaleng makanan, yang tampak lebih eksotik dengan warna dasar hitam. Sepertinya Ayu menemukan apa yang dicarinya, kendi, untuk mengganti kendi dirumah yang dipecahkannya.
The destination : Ullen Sentalu
Ayu bangun lebih dulu dariku. Pasti ! Aku terbangun ketika Wawan (yang sudah rapi, ganteng dan wangi) mengetuk kamarku. Aku menemuinya setelah cuci muka (hanya cuci muka hehehe nothing else) dan sudah ada dua piring nasi goreng untuk sarapan kami, aku dan Ayu. Jatah Wawan belum datang. Aku memaksa Wawan untuk makan duluan, nanti aku bisa makan nasi goreng jatah dia. Wawan langsung pulang Kebumen karena ada suatu urusan yang katanya maha penting (entah !! urusan apaan tuh sabtu sabtu !!!). Dan aku yang belum juga mandi mengantarkannya sampai ujung jalan Parangtritis.
Jam sembilan kami berkendara ke arah kasongan. Yup ! setelah menjemput Dhanny di Dongkelan yang telah kami tunjuk sebagai guide selama kami ada di sana, kami dengan riang berkendara menuju Kasongan. Jangan salah, kami tak belanja, meski Ayu sempat melirik beberapa barang yang akan dijadikan taget oleh – oleh, kami akan menjemput Sigit (teman kuliahku dan Dhanny). Basa basi sebentar lalu kami meneruskan perjalanan ke Ullen Sentalu di Kaliurang. Tepatnya dimana, tak seorangpun di mobil itu yang tahu.
Sigit mengambil alih kemudi, aku duduk dibelakang sama Ayu. Niatnya mau tidur – tidur ayam, tapi nggak bisa, akhirnya aku menikmati perjalanan ke Kaliurang dengan mata terpaksa terbuka.
Perjalanan menuju Ullen Sentalu agak terhambat karena minimnya keyakinkan kami akan jalan yang benar. Rasa lapar menyerangku. Kan belum makan. Nasgor yang aku tunggu tak akan pernah datang karena pihak hotel telah menerima laporan check out Wawan. Oh,..
Kami memutuskan untuk berhenti di depan taman bermain Kaliurang. Asri tempatnya, lumayan asyik untuk bermain anak – anak, cuma kenapa ada patung butho ijo super besar di sana sih? Agak terganggu juga melihatnya, tapi whatever lah,..
Kami makan bakso, lalu iseng nawar jadah tempe (makanan khas Kaliurang yaaa) hanya karena ingin berfoto dengan mbahnya yang jual, si mbah dengan wajah yang eksotis hehehe (maaf hasil fotonya sengaja tidak aku pasang, karena si mbah nunduk, mungkin beliau malu dengan keeksotikan wajanya, maaf sekali lagi).
Usai makan, kami mendapatkan energi untuk melanjutkan perjalanan. Dan ternyata keberadaan Museum Ullen Sentalu hanya 100 meter dari tempat kami makan bakso. Oh,..
We were in Ullen Sentalu The Museum
Nyes !! Perasaanku sangat sejuk melihat halaman Ullen Sentalu, tempat yang aku ingin datangi dari setahun yang lalu, tempat yang aku tahu keindahan tempatnya dari TRANSTV, dari cerita Husna dan Rani, dari internet. Awalnya aku sangat tertarik dengan tempat ini sebagai next target produksi Jalan Jajan Santai, tapi berhubung kontrak sudah tidak lagi aku tanda tangani, tak ada salahnya kan menikmati untuk kepuasan bathinku? Lagipula aku tak perlu menghabiskan banyak energi merayu Ayu’ untuk mengunjungi tempat ini.
Ullen Sentalu adalah sebuah museum yang menyimpan berbagai benda saksi sejarah milik Kerajaan Solo dan Kerajaan Yogyakarta. Terletak tak jauh dari pos masuk area wisata Kaliurang (setidaknya itu ancer – ancer dari Husna lewat SMS). Dari luar, museum ini tampak seperti rumah tinggal yang nyaman dan artistic dengan halaman super luas dan super asri. Memandang bebatuan dipadu dengan kayu, aku merasa berada di istana tempo dulu. Museum ini memiliki beberapa ruang yang masing – masing menyimpan cerita dan dihubungkan dengan lorong panjang, yang mengingatkanku pada istana tempat Tuan Putri diculik dan menanti sang pangeran datang menyelamatkannya hihihihi.
Ada Mbak Dessy yang mengantarkan kami “berkelana” di museum. Ya,.. Mbak Dessy bukan salah satu dari rombongan ini, Mbak Dessy adalah guide yang terpilih untuk mendapingi kami, dua lelaki Yogya asli yang belum pernah kesini dan dua sahabat dari Semarang. Ruang pertama yang kami masuki adalah ruang Gamelan, diruang ini kami melihat seperangkat alat gemelan berada ditengah ruangan dan lukisan beberapa raja dan penari di ketiga sisinya. Aku menatap kagum pada lukisan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Permaisurinya. Lukisan itu begitu hidup dan anggun. Lukisan yang aku impikan ada di salah satu dinding rumahku kelak, wajahku dan kekasih abadiku. (Tuhan, kabulkan do’aku ini. Amien)
Lorong pertama yang kami lewati dihiasi berbagai lukisan yang tampak semakin nyata. Satu adegan masa lalu yang tertuang apik dengan warna yang membuatku merasa seolah ada di zaman itu. Lukisan para raja (maaf, aku tak bisa mengingat nama masing – masing raja, apalagi adik – adiknya, saudara tirinya, mantan pacarnya, eh,... ), yang tampak anggun dengan busana zaman itu. Kami juga melihat lukisan tiga dimensi seorang puteri (atau permaisuri, aku tak yakin). Lukisan itu dapat mengikuti arah langkah kami. Aku menatap lukisan itu, sang model duduk menghadap kanan, lalu aku melewatinya, dan ketika aku menoleh sang model telah menghadap kiri. Ngeri? Nggak juga, itu cuma permainan warna yang dimainkan dengan tekhnik khusus (kalau yang ini adalah pernyataan seniman kita, Dhanny Susanto hehehehe). Kami – Aku, Ayu, Dhanny dan Sigit – terkagum – kagum dengan berbagai lukisan yang tampak nyata dan bercerita, sehingga beberapa kali kami tak menyimak apa yang Mbak Dessy katakan. (aduh, maafkan kami ya mbak,..)
Bukan hanya lukisan penggalan satu cerita zaman dulu saja, tapi juga lukisan batik yang dibuat oleh para raja zaman dulu. Jadi zaman dahulu kala, untuk dapat menjadi raja, selain harus dapat memimpin kerajaannya (ya iya lah), beliau juga harus bisa menguasai seni. Beberapa tarian yang aku tahu juga karangan para raja dan ternyata beberapa raja juga menciptakan motif batik, lengkap dengan filosofinya. Wow,.. eh ada nggak ya raja yang juga penyanyi?
Tidak hanya lukisan yang kami lihat, tapi kami juga melihat berbagai benda peninggalan para raja, permaisuri dan kerabatnya. Kami melihat ruangan Ratu .... (aduh Ratu siapa sih) yang sudah narsis dari dulu, posenya gaya abis dan seperti yang Mbak Dessy ceritakan, Ratu itu banyak banget yang suka kerena selain cantik alami, fotogenik, dia juga jago nari,. Hm,..
Ada juga beberapa kain batik yang masih tersimpan utuh. Berbagai motif, berbagai kegunaan, berbagai filosofi. Ada juga mesin jahit kecil yang pernah digunakan oleh salah satu Ratu dari Solo. Kami melihat lukisan prosesi pernikahan adat Yogyakarta (dibagian ini nih aku merasa teramat sangat melihat lukisan itu nyata untukku), sampai lukisan raja dengan busana kebesarannya. Kami juga sempat membaca surat – surat penyemangat untuk salah satu puteri raja yang sangat sedih karena tak bisa menikah dengan pria yang dicintainya, aku sempat bingung dengan gaya penulisan surat zaman dulu, banyak pantun dan istilah yang aku tak mengerti dan yang paling membingungkanku adalah pemakaian kata MERDEKA. Ini penyemangat untuk cinta yang terampas atau penyemangat untuk pejuang??
Puas menikmati berbagai hal di dalam museum, kami disuguhi satu gelas kecil minuman hangat. Kata Mbaknya, itu bir raja. Hangat jahe mengantarkanku pada khayalan tak menentu, mulai khayalan memiliki rumah seasri ini, hingga terbayang memakai baju pengantin adat Yogya tadi. Sempat juga terfikir beberapa cerita tragis yang mengikuti alur sejarah yang lagi – lagi berulang. Tak seorangpun menyadari, airmataku sempat menitik di salah satu ruangnya.
Sayang sekali, no camera di dalam museum, tapi bener, museum ini keren banget !! buat yang seneng seni dan sejarah. Sangat tidak cocok untuk kalian penikmat dugem, dijamin suntuk dan bete’ kelas berat . Next time, aku ingin ke sini lagi sama suami dan anak – anakku,... (Tuhan,.. yang ini juga dikabulkan ya,.. Amien).
Masih sore, kami duduk – duduk saja di lapangan parkir kawasan wisata Kaliurang. Udara dingin dan lukisan alam hijau memanjakan mataku. Sayangnya si camera masih aja ngambek nggak mau dipake, padahal semua merk battery sudah kami coba pasang. Jadi, aduh maaf sekali, tidak ada gambar yang membuktikan keindahan Kaliurang ini. Ada banyak yang ditawarkan disana, gelang, kalung hiasan dinding dan souvenir khas untuk oleh – oleh anak sekolah yang sedang study tour. Yang paling menarik perhatianku adalah seorang seniman lukis wajah, hm.. bisa dibayangkan kan, aku yang seorang narsis ingin sekali wajahkku dilukis,...
Dan kami, berempat, membiarkan pikiran kami mengembara. Nggak full mengembara sih, karena aku dan Ayu memilih untuk duduk – duduk di depan kolam yang ikannya segede gajah, eh.. nggak segitunya ding tapi gedhe banget dibanding ikan sebayanya hehehe dan dimanakah dua pria itu berada? Akhirnya kami menemukan dua pria itu sudah bertemu dengan indomie goreng special dan teh hangat. (spesialnya adalah ditambah bakso enam iris tipis, oh,..)
Angin bertiup sangat sejuk, sangaaaat sejuk, yang juga berarti dingin, sebuah dingin yang jarang aku dapatkan di Semarang atas, apalagi Semarang Bawah. Sebenarnya aku ingin lebih lama di sini, sepertinya naluri menulisku menemukan ilham di tempat yang menurutku seperti lukisan ini. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, sekitar setengah lima sore aku sudah menyetir karimunku menuruni Kaliurang dengan alasan kedua lelaki ini kedinginan dan tidak membawa jaket. Sepanjang perjalanan kami banyak bernostalgia, kami, aku, Dhanny dan Sigit. Sedang Ayu dengan sabar menjadi pendengar yang sangat baik. Dan karimunku meluncur ke kota Yogyakarta.
Ps. Sebelum mengantar Sigit ke daerah Kasongan, kami sempat mampir di warung kecil yang penuh sesak dengan perabotan rumah tangga tradisional. Aku membeli siwur untuk menggantikan gayung di kamar mandiku yang akan bersanding dengan tempayan yang aku beli di daerah Kalisari. Aku juga menemukan lampu senthir yang terbuat dari kaleng makanan, yang tampak lebih eksotik dengan warna dasar hitam. Sepertinya Ayu menemukan apa yang dicarinya, kendi, untuk mengganti kendi dirumah yang dipecahkannya.
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - Getting Late
Its getting late,..
Ayu mulai ngantuk tuh kayaknya. Akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi malam ini dan kembali ke hotel. Sebelum masuk mobil, kami menemukan dua tembok dengan warna putih memudar berjajar, kami meyakini sebagai jalan buntu. Benar !! kami sempat berfoto – fotoan disana. Di jalan buntu ini. Tapi hanya beberapa saat, ternyata itu bukan jalan buntu karena kami melihat ada motor keluar dari salah satu sisinya. Hehehehe
Tapi malam belum benar – benar usai buatku. Usai mengantar Dhanny ke angkringan yang menjadi markas besarnya, kami – aku, Ayu dan Wawan – kembali ke hotel, eh guest house, eh apa ya, pokoknya penginapan deh. Wawan memutuskan untuk menginap di penginapan yang sama dengan kami. Demi kangen dan serentetan curhat kepadaku. Aku dan Wawan meneruskan menikmati malam di pinggir kolam renang. Ayu’ sudah duluan tidur (hehehe jangan sampai Ayu’ menjadi kelelawar seperti aku deh). Aku duduk di kursi panjang pinggir kolam renang, dengan notebook yang rencananya akan aku gunakan untuk menulis (seperti tokoh penulis di film – film itu lho ), namun ternyata hanya aku pakai untuk transfer foto dari kamera Wawan hehehe.
Malam itu, banyak yang aku bicarakan dengan Wawan, - tenang Yu’ kami tak membicarakanmu heheheheh – kami berbicara tentang cita – cita yang ingin kami gapai, tentang kebodohan yang selalu kami lakukan, tentang cinta yang kami rasakan, tentang seseorang yang kami cintai masing – masing.
Malam itu, aku tak peduli dengan kelelahan yang menderaku, tentang flu yang berulang mengirimkan bersin, tentang dingin yang membelai kulit kami bahkan mencoba menyusup dalam tulang kami.
Malam itu, curhatan disambung di beranda kamar, saling bercerita, saling mendengarkan dan saling memberi komentar, saling menyalahkan kebodohan yang kembali dan kembali kami alami.
Malam itu berakhir buatku tepat pukul setengah tiga pagi, setelah kami tersadar tak ada orang lain lagi yang terjaga di penginapan ini, selain kami.
Malam itu aku tahu tentang arti persahabatan dan membuatku mendefinisikan arti sahabat dengen teori ngawur yang akan aku percaya selamanya.
Malam itu aku bersyukur pada Tuhan, karena mengizinkan aku untuk melakukan perjalanan ini, bersyukur karena memberikan sahabat sahabat yang sangat sabar dan tulus menjalani hari bersamaku.
Ayu mulai ngantuk tuh kayaknya. Akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi malam ini dan kembali ke hotel. Sebelum masuk mobil, kami menemukan dua tembok dengan warna putih memudar berjajar, kami meyakini sebagai jalan buntu. Benar !! kami sempat berfoto – fotoan disana. Di jalan buntu ini. Tapi hanya beberapa saat, ternyata itu bukan jalan buntu karena kami melihat ada motor keluar dari salah satu sisinya. Hehehehe
Tapi malam belum benar – benar usai buatku. Usai mengantar Dhanny ke angkringan yang menjadi markas besarnya, kami – aku, Ayu dan Wawan – kembali ke hotel, eh guest house, eh apa ya, pokoknya penginapan deh. Wawan memutuskan untuk menginap di penginapan yang sama dengan kami. Demi kangen dan serentetan curhat kepadaku. Aku dan Wawan meneruskan menikmati malam di pinggir kolam renang. Ayu’ sudah duluan tidur (hehehe jangan sampai Ayu’ menjadi kelelawar seperti aku deh). Aku duduk di kursi panjang pinggir kolam renang, dengan notebook yang rencananya akan aku gunakan untuk menulis (seperti tokoh penulis di film – film itu lho ), namun ternyata hanya aku pakai untuk transfer foto dari kamera Wawan hehehe.
Malam itu, banyak yang aku bicarakan dengan Wawan, - tenang Yu’ kami tak membicarakanmu heheheheh – kami berbicara tentang cita – cita yang ingin kami gapai, tentang kebodohan yang selalu kami lakukan, tentang cinta yang kami rasakan, tentang seseorang yang kami cintai masing – masing.
Malam itu, aku tak peduli dengan kelelahan yang menderaku, tentang flu yang berulang mengirimkan bersin, tentang dingin yang membelai kulit kami bahkan mencoba menyusup dalam tulang kami.
Malam itu, curhatan disambung di beranda kamar, saling bercerita, saling mendengarkan dan saling memberi komentar, saling menyalahkan kebodohan yang kembali dan kembali kami alami.
Malam itu berakhir buatku tepat pukul setengah tiga pagi, setelah kami tersadar tak ada orang lain lagi yang terjaga di penginapan ini, selain kami.
Malam itu aku tahu tentang arti persahabatan dan membuatku mendefinisikan arti sahabat dengen teori ngawur yang akan aku percaya selamanya.
Malam itu aku bersyukur pada Tuhan, karena mengizinkan aku untuk melakukan perjalanan ini, bersyukur karena memberikan sahabat sahabat yang sangat sabar dan tulus menjalani hari bersamaku.
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - Alkid
Spent the nite at Alun – Alun Kidul.
Kelar makan, aku bikin ulah, aku nggak rela malam ini berakhir hanya dengan makan malam menyenangkan ini. Inilah saat yang paling sempurna untukku, dimana aku berada ditengah – tengah orang – orang yang sangat berarti untukku. Aku merasa lengkap sudah. Aku masih ingin bersama mereka, utuh. Aku mengusulkan ke Alkid (singkatan dari Alun – Alun Kidul) yang ada di sebelah selatan Keraton Yogyakarta. Asumsiku sih Malioboro pasti ramai dan aku menghindari keramaian. Dhanny yang asli Yogya hanya tersenyum mendengar celotehku tentang teori keramaian di Yogyakarta.
Aku sedikit terperangah mendapati Alkid tak kalah ramai dengan Malioboro. Namun keinginan untuk melihat secara dekat beringin kembar yang konon menyimpan cerita mistik sedemikian besar mengalahkan asumsi konyolku tadi. Kami nongkrong saja di sana. Melihat dan menertawakan beberapa orang (sembilan puluh persen anak muda) yang mencoba melewati kedua beringin itu dengan mata tertutup dan langkah mereka melenceng jauh dari tujuan. Huahahahaha. Dhanny menantangku untuk melewati ringin kembar. Aku menolak. Berfikir dengan pandangan normal aja sering melenceng apalagi mata musti ditutup,…
Tak ada yang benar – benar sepi di Yogya ternyata (aduh gila ! empat tahun aku di Yogya, aku baru sadar kalo Yogya punya kehidupan malam yang dahsyat, tersadar saat aku telah meninggalkan Yogya enam tahun lamanya hihhihihi). Banyak pedagang di sepanjang jalan atau lebih tepatnya mengelilingi alun – alun, banyak pengamen, banyak juga yang pacaran. (aduh kalo yang ini no comment lah). Aura mistik benar – benar terasa di tempat ini. mungkin karena berada di lingkungan keraton. Who knows. Aku pribadi sebenarnya tidak terlalu terganggu, setidaknya aku malah teringat film (atau sinetron ya) yang menggunakan rumah didepan Alkid sebagai lokasi shooting. Itu, yang pemeran utamanya Rano Karno atau Paundra,. Wong wong ngganteng kae lho,…
Kelar makan, aku bikin ulah, aku nggak rela malam ini berakhir hanya dengan makan malam menyenangkan ini. Inilah saat yang paling sempurna untukku, dimana aku berada ditengah – tengah orang – orang yang sangat berarti untukku. Aku merasa lengkap sudah. Aku masih ingin bersama mereka, utuh. Aku mengusulkan ke Alkid (singkatan dari Alun – Alun Kidul) yang ada di sebelah selatan Keraton Yogyakarta. Asumsiku sih Malioboro pasti ramai dan aku menghindari keramaian. Dhanny yang asli Yogya hanya tersenyum mendengar celotehku tentang teori keramaian di Yogyakarta.
Aku sedikit terperangah mendapati Alkid tak kalah ramai dengan Malioboro. Namun keinginan untuk melihat secara dekat beringin kembar yang konon menyimpan cerita mistik sedemikian besar mengalahkan asumsi konyolku tadi. Kami nongkrong saja di sana. Melihat dan menertawakan beberapa orang (sembilan puluh persen anak muda) yang mencoba melewati kedua beringin itu dengan mata tertutup dan langkah mereka melenceng jauh dari tujuan. Huahahahaha. Dhanny menantangku untuk melewati ringin kembar. Aku menolak. Berfikir dengan pandangan normal aja sering melenceng apalagi mata musti ditutup,…
Tak ada yang benar – benar sepi di Yogya ternyata (aduh gila ! empat tahun aku di Yogya, aku baru sadar kalo Yogya punya kehidupan malam yang dahsyat, tersadar saat aku telah meninggalkan Yogya enam tahun lamanya hihhihihi). Banyak pedagang di sepanjang jalan atau lebih tepatnya mengelilingi alun – alun, banyak pengamen, banyak juga yang pacaran. (aduh kalo yang ini no comment lah). Aura mistik benar – benar terasa di tempat ini. mungkin karena berada di lingkungan keraton. Who knows. Aku pribadi sebenarnya tidak terlalu terganggu, setidaknya aku malah teringat film (atau sinetron ya) yang menggunakan rumah didepan Alkid sebagai lokasi shooting. Itu, yang pemeran utamanya Rano Karno atau Paundra,. Wong wong ngganteng kae lho,…
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - Nice Dinner
Nice dinner at nasi bakar Wirobrajan
Dengan beberapa petunjuk dari Wawan dan Dhanny, akhirnya kami sampai di sebuah tempat makan lesehan di daerah Wirobrajan, tepatnya di jalan kapten P. Tendean (standar ya nama jalannya ). Kami lapar, agaknya kupat tahu magelang tadi telah menguap. Ayu’ memilih menu nasi bakar plus ayam bakar kremes, Wawan juga, hanya bedanya ayam Wawan pedes, Dhanny pilih lauk ikan nila kremes dan aku,.. hehehe paling rakus, nasi bakar dengan lauk telor kremes plus ayam bakar kremes plus semangkuk sayur asem. Pilihan minum standar sih, teh hangat, es teh, es lemon tea dan gula asem dingin buat Ayu (Gula asemnya enak banget ya Yu’, cuma ada di Yogya tuh, murah pula !!). Untung tempat itu nggak begitu ramai (atau belum?), mungkin karena memang belum jam malam mingguan ya,..
Acara menunggu makanan kami isi dengan becandaan plus foto – fotoan. Nggak pake kamera Wawan, kamera yang kami bawa dari Semarang, dan kamera di HP Dhanny. Aku tahu sepasang muda mudi di depanku agak jengah melihat kami, mungkin kedatangan kami membuat suasana romantis diantara mereka mendadak sontak berubah, ahahay,... forgive us ya,..
Enak,.. makanan yang kami makan malam itu enak, lezat,… Nasi, telor dan ayam yang aku pesan berpindah ke perutku dengan cepat, dan aku juga bertanggung jawab atas kehadiran semangkuk sayur asem. Aku menawarkan pada Ayu, Wawan dan Dhanny, mereka menolak, mereka kekenyangan. Huh teman – teman yang menyebalkan!! :p, bukankah seharusnya kalian sangat lapar????
Tapi nasi bakar di Wirobrajan akan selalu menjadi salah satu kenangan kita ya Yu’,.. Dua lelaki itu tak pernah tahu cara kita memesan makanan. It’s secret, Hehehehe....
Dengan beberapa petunjuk dari Wawan dan Dhanny, akhirnya kami sampai di sebuah tempat makan lesehan di daerah Wirobrajan, tepatnya di jalan kapten P. Tendean (standar ya nama jalannya ). Kami lapar, agaknya kupat tahu magelang tadi telah menguap. Ayu’ memilih menu nasi bakar plus ayam bakar kremes, Wawan juga, hanya bedanya ayam Wawan pedes, Dhanny pilih lauk ikan nila kremes dan aku,.. hehehe paling rakus, nasi bakar dengan lauk telor kremes plus ayam bakar kremes plus semangkuk sayur asem. Pilihan minum standar sih, teh hangat, es teh, es lemon tea dan gula asem dingin buat Ayu (Gula asemnya enak banget ya Yu’, cuma ada di Yogya tuh, murah pula !!). Untung tempat itu nggak begitu ramai (atau belum?), mungkin karena memang belum jam malam mingguan ya,..
Acara menunggu makanan kami isi dengan becandaan plus foto – fotoan. Nggak pake kamera Wawan, kamera yang kami bawa dari Semarang, dan kamera di HP Dhanny. Aku tahu sepasang muda mudi di depanku agak jengah melihat kami, mungkin kedatangan kami membuat suasana romantis diantara mereka mendadak sontak berubah, ahahay,... forgive us ya,..
Enak,.. makanan yang kami makan malam itu enak, lezat,… Nasi, telor dan ayam yang aku pesan berpindah ke perutku dengan cepat, dan aku juga bertanggung jawab atas kehadiran semangkuk sayur asem. Aku menawarkan pada Ayu, Wawan dan Dhanny, mereka menolak, mereka kekenyangan. Huh teman – teman yang menyebalkan!! :p, bukankah seharusnya kalian sangat lapar????
Tapi nasi bakar di Wirobrajan akan selalu menjadi salah satu kenangan kita ya Yu’,.. Dua lelaki itu tak pernah tahu cara kita memesan makanan. It’s secret, Hehehehe....
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - Unscheduled Moment
Unscheduled Moment
Flu yang aku rasakan dari kemarin tampaknya akan merusak perjalanan ini. Aku mulai tak bisa konsentrasi pada jalan raya. Aku sempat melanggar lampu merah yang menyala tanpa aku sadari. Mataku mulai menghangat. Tidak ada yang bisa menggantikan posisiku sekarang.
Aku tidak boleh membuat sahabat – sahabatku cemas. Aku ingin minum jamu. Jamu yang aku mau adalah jamu tradisional khas Yogya, dimana sang penjual meracik langsung jamu yang kita butuhkan, sesuai dengan keluhan yang kita katakan. Dhanny menawarkan minum jamu di dekat rumahnya.
Great !! aku minum jamu di situ. Jamu pegel – pegel. Dan khasiat yang aku rasakan setelah minum jamu itu adalah hangat menjalari seluruh tubuhku. Aku yakin pasti ada sedikit campuran anggur di jamu yang aku minum dalam bathok berwarna coklat gelap itu (sok tau banggetz ya). Dan,… mungkin karena sugesti atau memang keadaannya begitu, rasa tidak enak dibadanku mendadak sontak menjadi lebih baik.
Sekedar info yang entah bisa dipercaya kebenarannya atau tidak, konon semakin gelap warna coklat pada bathok, semakin berkhasiat jamu yang kita minum. Jadi menurut teoriku, bathok tersebut sengaja tidak dicuci dengan bersih. Hm,…
Kami bersemangat meneruskan perjalanan ke jalan Wirobrajan dan menyambut acara yang sangat dinanti,.. Makaaaaaaaaan,..
Flu yang aku rasakan dari kemarin tampaknya akan merusak perjalanan ini. Aku mulai tak bisa konsentrasi pada jalan raya. Aku sempat melanggar lampu merah yang menyala tanpa aku sadari. Mataku mulai menghangat. Tidak ada yang bisa menggantikan posisiku sekarang.
Aku tidak boleh membuat sahabat – sahabatku cemas. Aku ingin minum jamu. Jamu yang aku mau adalah jamu tradisional khas Yogya, dimana sang penjual meracik langsung jamu yang kita butuhkan, sesuai dengan keluhan yang kita katakan. Dhanny menawarkan minum jamu di dekat rumahnya.
Great !! aku minum jamu di situ. Jamu pegel – pegel. Dan khasiat yang aku rasakan setelah minum jamu itu adalah hangat menjalari seluruh tubuhku. Aku yakin pasti ada sedikit campuran anggur di jamu yang aku minum dalam bathok berwarna coklat gelap itu (sok tau banggetz ya). Dan,… mungkin karena sugesti atau memang keadaannya begitu, rasa tidak enak dibadanku mendadak sontak menjadi lebih baik.
Sekedar info yang entah bisa dipercaya kebenarannya atau tidak, konon semakin gelap warna coklat pada bathok, semakin berkhasiat jamu yang kita minum. Jadi menurut teoriku, bathok tersebut sengaja tidak dicuci dengan bersih. Hm,…
Kami bersemangat meneruskan perjalanan ke jalan Wirobrajan dan menyambut acara yang sangat dinanti,.. Makaaaaaaaaan,..
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - Sunset at Paris,..
Sunset at Parangtritis Beach
Jam setengah lima aku melewati kampus ISI, sempat berhenti sebentar untuk beli FG Trouches (aduh nyebut merk yaa,.. nggak pa pa ya, tenggorokan ga enak banget nih ), lalu semi ngebut menuju Parangtritis. Sore yang indah sebenarnya, tidak banyak motor atau mobil di jalan. Hanya saja jalannya yang termasuk kategori sempit dan belum terlalu familiar denganku jadi aku nggak bisa ngebut abis hehehe. Dalam hati berdo’a semoga kami tak tertinggal sunset (aku rasa, Ayu yang sangat ingin menikmati sunset di pantai saat itu hehehe ngaku aja Yu’ heehehe). Obrolan berkembang ditingkahi dengan tawa. Bahkan aku tak ingat Ayu adalah teman baru di antara aku, Dhanny dan Wawan.
Kami sampai di Pantai kurang lebih jam enam. Pantai sudah agak gelap. Tapi kami – Ayu dan aku – masih berkesempatan untuk menikmati warna jingga yang sangat indah, suatu keadaan yang aku sebut “Senja Secantik Jingga” (salah satu judul cerpenku, baca yaa), tapi tenyata keindahan itu biasa disebut Aurora (Ade lho yang kasih tahu ). Maturnuwun ya Allah. Hanya dalam hitungan detik kemudian langit menjadi gelap. Kami terdiam dengan perasaan kami. Menikmati semilir angin. Menikmati alunan ombak yang mengucapkan selamat datang pada kami. Air belum pasang. Masih tampak jauh dari tempat kami berdiri. Aku dan Ayu’ mencoba menghampiri air dan seperti ingin menyambut kami, ombak bergulung mendekati kami, kami berlari menghindari ombak dan basah karena kami ingat semua baju telah kami turunkan di kamar hotel. Kami tertawa lepas.
Pembicaraan beralih dengan rencana makan malam kami. Aku menginginkan makan penyet – penyetan. Wawan dan Dhanny tak merespon (aku yakin mereka pasti bosan dengan menu ini, karena warung ini ada disetiap jengkal Yogya). Aku bersikeras ingin makan telor penyet. Ayu’ nurut aja kayaknya. Dhanny mengacak – acak rambutku. Wawan berfikir keras mencari alternatif tempat makan yang nggak kalah asyiknya.
“Kalian udah pernah makan nasi bakar?” Suara Wawan terdengar samar diantara ombak.
Aku diam. Ayu bilang sudah. Dhanny no comment (pasti dia bingung nasi bakar yang kayak gimana hihihi).
“Enak, kayak penyet – penyetan gitu tapi nasinya dibungkus daun pisang, trus dibakar, atasnya dikasih daun kemangi” Wawan masih semangat berpromosi masi bakar.
“Di mana” tanyaku kurang bersemangat.
“Wirobrajan”
“Wirobrajan?” Aku mencoba mengingat – ingat “kemungkinan” daerah yang Wawan sebutkan.
“Iya deket Dongkelan kok”
Kalo Dongkelan sih aku apal, khatam..
“Ayo”
Dan kami meluncur meninggalkan pantai. Meninggalkan senja secantik jingga, merasakan pasir yang terbawa menempel pada kaki – kaki telanjang kami. Menyimpan harapan yang sempat terlintas di benak kami dan menitipkan keluh untuk terhanyut bersama ombak.
Ps. Untukku, Parangtritis adalah magnet tepat untuk mengobarkan cinta di hatiku untuk seseorang yang Ayu’ pasti tahu. Dan untuk Ayu’, Parangtritis mungkin tempat untuk menitipkan sebuah harapan yang akan terbit seperti matahari esok pagi. Hyaaaaa
Jam setengah lima aku melewati kampus ISI, sempat berhenti sebentar untuk beli FG Trouches (aduh nyebut merk yaa,.. nggak pa pa ya, tenggorokan ga enak banget nih ), lalu semi ngebut menuju Parangtritis. Sore yang indah sebenarnya, tidak banyak motor atau mobil di jalan. Hanya saja jalannya yang termasuk kategori sempit dan belum terlalu familiar denganku jadi aku nggak bisa ngebut abis hehehe. Dalam hati berdo’a semoga kami tak tertinggal sunset (aku rasa, Ayu yang sangat ingin menikmati sunset di pantai saat itu hehehe ngaku aja Yu’ heehehe). Obrolan berkembang ditingkahi dengan tawa. Bahkan aku tak ingat Ayu adalah teman baru di antara aku, Dhanny dan Wawan.
Kami sampai di Pantai kurang lebih jam enam. Pantai sudah agak gelap. Tapi kami – Ayu dan aku – masih berkesempatan untuk menikmati warna jingga yang sangat indah, suatu keadaan yang aku sebut “Senja Secantik Jingga” (salah satu judul cerpenku, baca yaa), tapi tenyata keindahan itu biasa disebut Aurora (Ade lho yang kasih tahu ). Maturnuwun ya Allah. Hanya dalam hitungan detik kemudian langit menjadi gelap. Kami terdiam dengan perasaan kami. Menikmati semilir angin. Menikmati alunan ombak yang mengucapkan selamat datang pada kami. Air belum pasang. Masih tampak jauh dari tempat kami berdiri. Aku dan Ayu’ mencoba menghampiri air dan seperti ingin menyambut kami, ombak bergulung mendekati kami, kami berlari menghindari ombak dan basah karena kami ingat semua baju telah kami turunkan di kamar hotel. Kami tertawa lepas.
Pembicaraan beralih dengan rencana makan malam kami. Aku menginginkan makan penyet – penyetan. Wawan dan Dhanny tak merespon (aku yakin mereka pasti bosan dengan menu ini, karena warung ini ada disetiap jengkal Yogya). Aku bersikeras ingin makan telor penyet. Ayu’ nurut aja kayaknya. Dhanny mengacak – acak rambutku. Wawan berfikir keras mencari alternatif tempat makan yang nggak kalah asyiknya.
“Kalian udah pernah makan nasi bakar?” Suara Wawan terdengar samar diantara ombak.
Aku diam. Ayu bilang sudah. Dhanny no comment (pasti dia bingung nasi bakar yang kayak gimana hihihi).
“Enak, kayak penyet – penyetan gitu tapi nasinya dibungkus daun pisang, trus dibakar, atasnya dikasih daun kemangi” Wawan masih semangat berpromosi masi bakar.
“Di mana” tanyaku kurang bersemangat.
“Wirobrajan”
“Wirobrajan?” Aku mencoba mengingat – ingat “kemungkinan” daerah yang Wawan sebutkan.
“Iya deket Dongkelan kok”
Kalo Dongkelan sih aku apal, khatam..
“Ayo”
Dan kami meluncur meninggalkan pantai. Meninggalkan senja secantik jingga, merasakan pasir yang terbawa menempel pada kaki – kaki telanjang kami. Menyimpan harapan yang sempat terlintas di benak kami dan menitipkan keluh untuk terhanyut bersama ombak.
Ps. Untukku, Parangtritis adalah magnet tepat untuk mengobarkan cinta di hatiku untuk seseorang yang Ayu’ pasti tahu. Dan untuk Ayu’, Parangtritis mungkin tempat untuk menitipkan sebuah harapan yang akan terbit seperti matahari esok pagi. Hyaaaaa
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - Yogya We're Coming,..
Yogya, We’re coming,..
Pukul 15.00 WIB, kami baru sampe di Yogya. Beberapa janji telah dibuat. Salah satunya adalah mengajak Wawan dan Dhanny ke Parangtritis. Karena masih ada (sangat sedikit) waktu sebelum bertemu dengan mereka berdua maka kami memutuskan untuk mencari hotel dulu. Daerah Prawirotaman,.. untuk masalah hotel Ayu sama sekali tidak terlibat, dia percaya 100% aku tahu hotel murah di Yogya, padahal, hm,… (belum tahu dia hehehe)..
Prawirataman adalah satu daerah di salah satu sudut jalan Parangtritis, Yogyakarta, dimana banyak penginapan murah tersebar, dan menurut informasi yang aku percaya dari teman – teman di Yogya, penginapan di Prawirataman masuk kategori aman, artinya bukan termasuk penginapan untuk shot time. Hm,.. aman,..
Otakku berfikir keras menemukan penginapan yang nyaman, aman dan murah hehehe disamping juga memikirkan kenyamanan si kaka jo alias ada tempat untuk nginep si mobil. Penginapan pertama yang aku masuki tampak lux dengan café di bagian depan. Aku nggak yakin. Aku mundur tanpa minta persetujuan Ayu. Gimana nggak, harga kamar termurah dari penginapan itu dua ratus enam puluh ribu. Meski temanya nggak mikir budget, tetep aja angka segitu membuatku mundur teratur.
Penginapan kedua yang kami masuki memiliki halaman lumayan luas untuk aku parir mobil. Ayu masih menerima telepon ketika aku menanyakan rate kamar. Great !! ada kamar yang – menurutku - pas harganya. Delapan puluh lima ribu rupiah semalam dengan beberapa fasilitas. Aku meminta Ayu turun dari mobil dan bersama – sama lihat kamarnya. (dan masih berdo’a dalam hati semoga Ayu’ setuju, udah ga ada waktu lagi cari hotel nih )
Tidak butuh waktu lama, kami sepakat untuk menyewa kamar itu untuk semalam. Delapan puluh lima ribu itu dapat diterjemahkan menjadi kamar yang lumayan besar untuk kami berdua, dengan tempat tidur lumayan besar juga dan TV 14” berwarna di sudut kamar (yang tidak begitu bermanfaat sepertinya), kamar mandi dengan bathtub (meski tidak ada air hangat, tapi siapa juga yang butuh air hangat di Yogyakarta ), setermos teh hangat, kolam renang yang siap kami gunakan kapan saja, dan sarapan dua piring nasi goreng keesokan paginya. Betapa rate yang sangat menyenangkan bukan,..
Hanya sebentar kami berada di kamar tersebut. Jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat empat puluh. Wawan SMS akan menunggu kami di depan Malioboro Mall sepuluh menit lagi. Aku memacu mobilku melewati jalan Gondomanan kemudian disambung dengan jalan Mataram yang mengantarkanku pada belokan kiri yang berujung di jalanan super ramai bernama Malioboro. Maliboro tidak berubah, sedikit berubah dengan volume kendaraan yang penuh sesak tak menyisakan ruang, bahkan untuk mobil sekecil karimunku. Seperti taksi menaikkan penumpang, Wawan memasuki mobilku. Kenalan dengan Ayu sebentar, lalu mereka sudah asyik dalam diskusi tentang buku yang sedang mereka baca. Aku konsentrasi pada jalan yang ramai. Bukan jalannya tapi konsentrasi mengingat jalan menuju dongkelan. Dimana kami akan bertemu dengan Dhanny,..
Pukul 15.00 WIB, kami baru sampe di Yogya. Beberapa janji telah dibuat. Salah satunya adalah mengajak Wawan dan Dhanny ke Parangtritis. Karena masih ada (sangat sedikit) waktu sebelum bertemu dengan mereka berdua maka kami memutuskan untuk mencari hotel dulu. Daerah Prawirotaman,.. untuk masalah hotel Ayu sama sekali tidak terlibat, dia percaya 100% aku tahu hotel murah di Yogya, padahal, hm,… (belum tahu dia hehehe)..
Prawirataman adalah satu daerah di salah satu sudut jalan Parangtritis, Yogyakarta, dimana banyak penginapan murah tersebar, dan menurut informasi yang aku percaya dari teman – teman di Yogya, penginapan di Prawirataman masuk kategori aman, artinya bukan termasuk penginapan untuk shot time. Hm,.. aman,..
Otakku berfikir keras menemukan penginapan yang nyaman, aman dan murah hehehe disamping juga memikirkan kenyamanan si kaka jo alias ada tempat untuk nginep si mobil. Penginapan pertama yang aku masuki tampak lux dengan café di bagian depan. Aku nggak yakin. Aku mundur tanpa minta persetujuan Ayu. Gimana nggak, harga kamar termurah dari penginapan itu dua ratus enam puluh ribu. Meski temanya nggak mikir budget, tetep aja angka segitu membuatku mundur teratur.
Penginapan kedua yang kami masuki memiliki halaman lumayan luas untuk aku parir mobil. Ayu masih menerima telepon ketika aku menanyakan rate kamar. Great !! ada kamar yang – menurutku - pas harganya. Delapan puluh lima ribu rupiah semalam dengan beberapa fasilitas. Aku meminta Ayu turun dari mobil dan bersama – sama lihat kamarnya. (dan masih berdo’a dalam hati semoga Ayu’ setuju, udah ga ada waktu lagi cari hotel nih )
Tidak butuh waktu lama, kami sepakat untuk menyewa kamar itu untuk semalam. Delapan puluh lima ribu itu dapat diterjemahkan menjadi kamar yang lumayan besar untuk kami berdua, dengan tempat tidur lumayan besar juga dan TV 14” berwarna di sudut kamar (yang tidak begitu bermanfaat sepertinya), kamar mandi dengan bathtub (meski tidak ada air hangat, tapi siapa juga yang butuh air hangat di Yogyakarta ), setermos teh hangat, kolam renang yang siap kami gunakan kapan saja, dan sarapan dua piring nasi goreng keesokan paginya. Betapa rate yang sangat menyenangkan bukan,..
Hanya sebentar kami berada di kamar tersebut. Jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat empat puluh. Wawan SMS akan menunggu kami di depan Malioboro Mall sepuluh menit lagi. Aku memacu mobilku melewati jalan Gondomanan kemudian disambung dengan jalan Mataram yang mengantarkanku pada belokan kiri yang berujung di jalanan super ramai bernama Malioboro. Maliboro tidak berubah, sedikit berubah dengan volume kendaraan yang penuh sesak tak menyisakan ruang, bahkan untuk mobil sekecil karimunku. Seperti taksi menaikkan penumpang, Wawan memasuki mobilku. Kenalan dengan Ayu sebentar, lalu mereka sudah asyik dalam diskusi tentang buku yang sedang mereka baca. Aku konsentrasi pada jalan yang ramai. Bukan jalannya tapi konsentrasi mengingat jalan menuju dongkelan. Dimana kami akan bertemu dengan Dhanny,..
Rabu, 06 Juli 2011
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - what a nice trip
Dan hari itu datang juga,..
Semarang - Yogyakarta, 9 Mei 2008
What a nice trip,..
Berangkat dari Semarang jam 10.30 WIB, agak molor dari jadwal, but it’s ok. Aku mengemudi karimun hijauku dengan semangat yang tak menurun. Ayu juga penuh semangat melakukan perjalanan ini. Bahkan, aku tak ingat melewati jalan yang biasanya menjadi jalan membosankan setiap menuju Yogya. Ada banyak hal yang kami bicarakan sepanjang perjalanan dan berakhir dengan derai tawa kami yang memenuhi mobil kecilku. Kami sempat mampir di Jambu. Kami melihat tirai bambu yang terpajang indah di sepanjang jalan. Kami penasaran seindah apa tirai itu. Ternyata bukan terbuat dari bambu, namun dari kayu. Pantas saja terlihat kokoh dan berwarna. Kami menyukainya, kami ingin membelinya untuk oleh – oleh buat pacar kami masing – masing (yess!!). Selalu ada tawar menawar disetiap pembelian. Dan kami sangat keukeuh mempertahankan harga yang kami mau. Lumayan lama, dan akhirnya kami menyerah dengan harga diskon yang penjual beri. Kadung suka,.. jadi ada tirai yang belum jadi, kami bisa sabar menunggu diselesaikan .
Selesai dengan tirai, kami melanjutkan perjalanan. Disini aku mengacaukan jadwal wisata kuliner kami. Aku menawarkan untuk makan kupat tahu magelang yang seharusnya ada diperjalanan pulang besok minggu. Aku berfikir tidak sempat mampir besok minggu. Ayu setuju, pas jam lapar juga !! Jam kelar Jum’atan ( silahkan mengira – ira sendiri jam kelar Jum’atan waktu Magelang ) kami menikmati kupat tahu di depan SMP 7, beberapa meter sebelah kanan Kyai Langgeng. 2 porsi kupat tahu dan 2 gelas es teh dan 2 bungkus kerupuk, total tiga belas ribu rupiah. Kenyang,.. Semangat,… Menuju Yogyaaaaaa,..
Sebelum benar – benar keluar Magelang menuju Yogya, kami mampir ke makam Mbah Putri dan Mbah Kakung di Giriloyo, mumpung melewati Magelang. Dan aku yang statusnya adalah cucu yang paling sering ke Magelang sempat nyasar mencari Makam kedua Mbah tersayang. Aduh,.. Maafkaaan,..
Semarang - Yogyakarta, 9 Mei 2008
What a nice trip,..
Berangkat dari Semarang jam 10.30 WIB, agak molor dari jadwal, but it’s ok. Aku mengemudi karimun hijauku dengan semangat yang tak menurun. Ayu juga penuh semangat melakukan perjalanan ini. Bahkan, aku tak ingat melewati jalan yang biasanya menjadi jalan membosankan setiap menuju Yogya. Ada banyak hal yang kami bicarakan sepanjang perjalanan dan berakhir dengan derai tawa kami yang memenuhi mobil kecilku. Kami sempat mampir di Jambu. Kami melihat tirai bambu yang terpajang indah di sepanjang jalan. Kami penasaran seindah apa tirai itu. Ternyata bukan terbuat dari bambu, namun dari kayu. Pantas saja terlihat kokoh dan berwarna. Kami menyukainya, kami ingin membelinya untuk oleh – oleh buat pacar kami masing – masing (yess!!). Selalu ada tawar menawar disetiap pembelian. Dan kami sangat keukeuh mempertahankan harga yang kami mau. Lumayan lama, dan akhirnya kami menyerah dengan harga diskon yang penjual beri. Kadung suka,.. jadi ada tirai yang belum jadi, kami bisa sabar menunggu diselesaikan .
Selesai dengan tirai, kami melanjutkan perjalanan. Disini aku mengacaukan jadwal wisata kuliner kami. Aku menawarkan untuk makan kupat tahu magelang yang seharusnya ada diperjalanan pulang besok minggu. Aku berfikir tidak sempat mampir besok minggu. Ayu setuju, pas jam lapar juga !! Jam kelar Jum’atan ( silahkan mengira – ira sendiri jam kelar Jum’atan waktu Magelang ) kami menikmati kupat tahu di depan SMP 7, beberapa meter sebelah kanan Kyai Langgeng. 2 porsi kupat tahu dan 2 gelas es teh dan 2 bungkus kerupuk, total tiga belas ribu rupiah. Kenyang,.. Semangat,… Menuju Yogyaaaaaa,..
Sebelum benar – benar keluar Magelang menuju Yogya, kami mampir ke makam Mbah Putri dan Mbah Kakung di Giriloyo, mumpung melewati Magelang. Dan aku yang statusnya adalah cucu yang paling sering ke Magelang sempat nyasar mencari Makam kedua Mbah tersayang. Aduh,.. Maafkaaan,..
Jalan Jajan Santai di Yogya Special Edition - Sedikit Cerita
Sedikit cerita,…
Perjalanan ini, awalnya, murni keinginan Ayu. Namun, karena aku masih sangat sibuk dengan pekerjaanku saat itu, aku tidak bisa membantunya mewujudkan impian yang tercipta dari rasa stuck atas hari – hari yang mulai kacau. Dan bersamaan dengan berakhirnya kontrak kerjaku di PROTV, aku menjadi sangat ingin mewujudkan perjalanan ini. Perjalanan yang selama ini aku gambarkan di setiap episode JJS. Bedanya, saat ini aku adalah Executive Producer, Camera Person, Director, Presenter, Unit dan Driver. Ini adalah kenangan yang ingin aku buat untuk kepuasan hatiku, tanpa berfikir durasi, budget dan kelelahan yang akan tercipta..
Dan Yogyakarta menjadi kota tujuan kami. Ada beberapa alasan mengapa kami sangat kuat memilih kota ini. Pertama, kota ini tak jauh dari Semarang sehingga kami akan menempuhnya tanpa merasa sangat lelah. Kedua, aku pernah empat tahun berada di kota ini, yang juga berarti, kami tak akan menjadi turis bodoh selama berlibur. Ketiga, kota Yogyakarta masih memiliki tempat – tempat yang eksotis yang belum pernah kami kunjungi, tepatnya, tempat yang menunjang sifat narsis kami .
Rencana disusun, detail, hari, jam, lokasi sampai akan makan apa kami nantinya. Beberapa aturan konyol juga kami buat, diantaranya adalah perjanjian tidak akan mendatangi tempat dimana credit card berlaku (padahal kami berdua tak punya credit card satupun,.. ), dan swalayan termewah yang akan kami kunjungi untuk saat urgent adalah Indomaret atau sejenisnya yang kami yakin tersebar di sepanjang jalanan di Yogyakarta. Beberapa nama juga sudah kami hubungi untuk kelancaran perjalanan yang indah ini. Inilah perjalanan impian kami. Can’t wait for those moments. I’m a little bit nervous. Flu yang aku rasa beberapa hari sebelumnya tak akan bisa menghentikan langkah kami,…
Perjalanan ini, awalnya, murni keinginan Ayu. Namun, karena aku masih sangat sibuk dengan pekerjaanku saat itu, aku tidak bisa membantunya mewujudkan impian yang tercipta dari rasa stuck atas hari – hari yang mulai kacau. Dan bersamaan dengan berakhirnya kontrak kerjaku di PROTV, aku menjadi sangat ingin mewujudkan perjalanan ini. Perjalanan yang selama ini aku gambarkan di setiap episode JJS. Bedanya, saat ini aku adalah Executive Producer, Camera Person, Director, Presenter, Unit dan Driver. Ini adalah kenangan yang ingin aku buat untuk kepuasan hatiku, tanpa berfikir durasi, budget dan kelelahan yang akan tercipta..
Dan Yogyakarta menjadi kota tujuan kami. Ada beberapa alasan mengapa kami sangat kuat memilih kota ini. Pertama, kota ini tak jauh dari Semarang sehingga kami akan menempuhnya tanpa merasa sangat lelah. Kedua, aku pernah empat tahun berada di kota ini, yang juga berarti, kami tak akan menjadi turis bodoh selama berlibur. Ketiga, kota Yogyakarta masih memiliki tempat – tempat yang eksotis yang belum pernah kami kunjungi, tepatnya, tempat yang menunjang sifat narsis kami .
Rencana disusun, detail, hari, jam, lokasi sampai akan makan apa kami nantinya. Beberapa aturan konyol juga kami buat, diantaranya adalah perjanjian tidak akan mendatangi tempat dimana credit card berlaku (padahal kami berdua tak punya credit card satupun,.. ), dan swalayan termewah yang akan kami kunjungi untuk saat urgent adalah Indomaret atau sejenisnya yang kami yakin tersebar di sepanjang jalanan di Yogyakarta. Beberapa nama juga sudah kami hubungi untuk kelancaran perjalanan yang indah ini. Inilah perjalanan impian kami. Can’t wait for those moments. I’m a little bit nervous. Flu yang aku rasa beberapa hari sebelumnya tak akan bisa menghentikan langkah kami,…
Jumat, 01 Juli 2011
Rapuh
kembali lagi,..
menyapa sepi, menikmati kosong yang tak pernah bisa memberikan kehampaan hakiki
cerita berulang,..
membuai angan, merepih harap yang entah akan berakhir manis
ketika cerita berulang dan kembali,..
aku tahu kau akan datang,....
menyapa sepi, menikmati kosong yang tak pernah bisa memberikan kehampaan hakiki
cerita berulang,..
membuai angan, merepih harap yang entah akan berakhir manis
ketika cerita berulang dan kembali,..
aku tahu kau akan datang,....
Rabu, 01 Juni 2011
My Soulmate Dearest,..
“aku nggak akan pernah bisa memahami perasaanmu karena aku belum pernah mengalami apa yang kamu alami saat ini, tapi bagaimanapun itu, aku tetap ada di sampingmu, siap mendengarkan keluhmu semalam apapun, menemanimu saat sepimu, tanpa pernah aku memberikan solusi terbaik, aku selalu berdo’a buatmu”
SMS itu pernah dikirim seorang sahabat yang berada ribuan kilometer dari kotaku saat aku terpuruk atas sebuah masalah. SMS yang ternyata mampu meredam dendamku atas semua kekesalan yang terjadi saat itu. Aku sangat hapal SMS itu meski tak lagi ada di inbox HP ku. Jujur aku sangat bersyukur membaca SMS itu, sebuah SMS yang sangat jujur untuk menghadapi seorang yang sedang tidak memiliki kepercayaan dalam bentuk apapun. Ditambah janji yang begitu menenangkan.
Meski janji mendengarkan keluh semalam apapun tak pernah aku tagih. Tapi dia benar – benar menemani saat sepiku dengan SMS terindahnya itu. Dan yang pasti, Aku merasa sangat kuat karena yakin ada yang selalu berdo’a buatku. Kejujurannya mengatakan bahwa dia tak pernah bisa memahami perasaanku karena memang dia belum pernah mengalami apa yang aku alami, membuatku semakin tenang karena akhirnya ada yang benar – benar memahami perasaanku.
Seringkali, kita – tepatnya aku – memberikan solusi yang “sok bijak” untuk menghibur seorang teman yang sedang berduka. Tanpa aku paham apa yang sebenarnya dia butuhkan. Aku selalu mengatakan “pasti kamu akan mendapat ganti yang lebih baik” pada temanku yang baru saja putus cinta dan ditambah dengan pendapat kilat tentang mantannya yang kubuat seolah penuh cela. Tanpa aku pernah memahami bahwa cerita sedih itu tidak membutuhkan hiburan akan pengganti yang lebih baik. Aku tidak menyangka jika “penghiburanku” itu membuatnya semakin nelangsa. Dan seterusnya aku tak lagi mendengar kisah sedihnya lagi, ku kira semua telah baik – baik saja, ternyata teman itu merasa aku tak lagi bisa memahaminya.
Semenjak membaca sms itu, aku berjanji akan memberikan perhatian yang nyata dan bukan hanya kata penghiburan. Karena doa tulus jauh lebih membantu meringankan nelangsa,….
Terima kasih buat sahabat tercinta yang tak pernah bosan mendengar ceritaku yang sering tidak runtut, dan tetap sabar mengajariku tentang ketulusan yang hakiki.
Semarang, 31 Mei 2011. 18.09 WIB
SMS itu pernah dikirim seorang sahabat yang berada ribuan kilometer dari kotaku saat aku terpuruk atas sebuah masalah. SMS yang ternyata mampu meredam dendamku atas semua kekesalan yang terjadi saat itu. Aku sangat hapal SMS itu meski tak lagi ada di inbox HP ku. Jujur aku sangat bersyukur membaca SMS itu, sebuah SMS yang sangat jujur untuk menghadapi seorang yang sedang tidak memiliki kepercayaan dalam bentuk apapun. Ditambah janji yang begitu menenangkan.
Meski janji mendengarkan keluh semalam apapun tak pernah aku tagih. Tapi dia benar – benar menemani saat sepiku dengan SMS terindahnya itu. Dan yang pasti, Aku merasa sangat kuat karena yakin ada yang selalu berdo’a buatku. Kejujurannya mengatakan bahwa dia tak pernah bisa memahami perasaanku karena memang dia belum pernah mengalami apa yang aku alami, membuatku semakin tenang karena akhirnya ada yang benar – benar memahami perasaanku.
Seringkali, kita – tepatnya aku – memberikan solusi yang “sok bijak” untuk menghibur seorang teman yang sedang berduka. Tanpa aku paham apa yang sebenarnya dia butuhkan. Aku selalu mengatakan “pasti kamu akan mendapat ganti yang lebih baik” pada temanku yang baru saja putus cinta dan ditambah dengan pendapat kilat tentang mantannya yang kubuat seolah penuh cela. Tanpa aku pernah memahami bahwa cerita sedih itu tidak membutuhkan hiburan akan pengganti yang lebih baik. Aku tidak menyangka jika “penghiburanku” itu membuatnya semakin nelangsa. Dan seterusnya aku tak lagi mendengar kisah sedihnya lagi, ku kira semua telah baik – baik saja, ternyata teman itu merasa aku tak lagi bisa memahaminya.
Semenjak membaca sms itu, aku berjanji akan memberikan perhatian yang nyata dan bukan hanya kata penghiburan. Karena doa tulus jauh lebih membantu meringankan nelangsa,….
Terima kasih buat sahabat tercinta yang tak pernah bosan mendengar ceritaku yang sering tidak runtut, dan tetap sabar mengajariku tentang ketulusan yang hakiki.
Semarang, 31 Mei 2011. 18.09 WIB
Jumat, 27 Mei 2011
untuk apa aku di sini
ketika kehadiran tak lagi menggetarkan
saat pandangan terasa tajam menghujat
dan seumpama kata berarti pisau merajang
atau kehangatan mulai meninggalkan makna
jika satu langkah menjadi jauh meninggalkan
menyerupai alasan yang tak kuat percaya
kenangan berasap menjauh asa
selaksa tak pernah terjadi apa
kalimatku tak pernah lagi tersusun indah
senyumku tak lagi merenda makna
sapaku tak terdengar
tercipta tanya
terburai mimpi
untuk apa aku disini,..
* semarang, 24 mei 2011. 18.22 WIB>
saat pandangan terasa tajam menghujat
dan seumpama kata berarti pisau merajang
atau kehangatan mulai meninggalkan makna
jika satu langkah menjadi jauh meninggalkan
menyerupai alasan yang tak kuat percaya
kenangan berasap menjauh asa
selaksa tak pernah terjadi apa
kalimatku tak pernah lagi tersusun indah
senyumku tak lagi merenda makna
sapaku tak terdengar
tercipta tanya
terburai mimpi
untuk apa aku disini,..
* semarang, 24 mei 2011. 18.22 WIB>
Kamis, 05 Mei 2011
kala kala
hanya ketika mimpi - mimpi terasa menyakitkan
terpuruk menatap serpihan cermin
tak lagi mampu menyerapah
apalagi bertahan
seperti kala kala datang
menoreh perih tanpa asal
membenarkan keluh terucap
dan menyalakkan dendam
seketika bara api meyala merah
lalu peluh mengalir hitam menghitam
berteriak dan gonggongan itu menggema
aku adalah api
aku adalah hitam
aku adalah anjng
aku adalah kala kala
terpuruk menatap serpihan cermin
tak lagi mampu menyerapah
apalagi bertahan
seperti kala kala datang
menoreh perih tanpa asal
membenarkan keluh terucap
dan menyalakkan dendam
seketika bara api meyala merah
lalu peluh mengalir hitam menghitam
berteriak dan gonggongan itu menggema
aku adalah api
aku adalah hitam
aku adalah anjng
aku adalah kala kala
Selasa, 26 April 2011
hitam
ketika malam malam,..
ketika hening,..
ketika asa menyentuh,..
terdiam
entah
mengapa
aku menyentuhmu
tak pernah bisa memilikimu
sekedar memahamimu
sekarang senyap
aku terbaring
sepi
ketika hening,..
ketika asa menyentuh,..
terdiam
entah
mengapa
aku menyentuhmu
tak pernah bisa memilikimu
sekedar memahamimu
sekarang senyap
aku terbaring
sepi
Selasa, 19 April 2011
selamat pagi,..
sejuk embun,..
sinar hangat,..
seulas senyum,..
pagi ini sempurna,.
secangkir kopi
dua tangkup roti
aku mencintaimu hari ini,....
*masih buat Ame,.. love you a lot,..
sinar hangat,..
seulas senyum,..
pagi ini sempurna,.
secangkir kopi
dua tangkup roti
aku mencintaimu hari ini,....
*masih buat Ame,.. love you a lot,..
Minggu, 17 April 2011
senyap,..
dia menciptakan diam
dan hening
tiba - tiba senyap,.
dia melakukan senyum
merintih sunyi
melagukan senyap
dia menciptakan gejolak
tanpa suara
mengarak senyap
dia melakukan semua
mengundang senyap
dia mencintai senyap,....
dan hening
tiba - tiba senyap,.
dia melakukan senyum
merintih sunyi
melagukan senyap
dia menciptakan gejolak
tanpa suara
mengarak senyap
dia melakukan semua
mengundang senyap
dia mencintai senyap,....
Kamis, 14 April 2011
l e l a h
sore, temaram lampu,..
( mengenang sebuah nama, seulas senyum, dan serangkai cerita,.. )
Ada sesak
dan perih
menyusur tiap - tiap sendi
dan merata di dasar tulang,.
aku tak mengizinkan butir airmata
menetes,..
biar saja,..
biar saja sesak menyelimuti dada,.
bukankah sesak ini yang selalu menyertaiku saat mengingatmu?
Meski dalam canda
aku mempertanyakan ungkap yang selalu kau tebar,..
Aku lelah mempercayaimu,
aku enggan mempercayaimu,..
( ketika sore mengantarku mengenang sebuah nama, seulas senyum dan serangkai cerita dalam bingkisan hati yang terdalam,..)
( mengenang sebuah nama, seulas senyum, dan serangkai cerita,.. )
Ada sesak
dan perih
menyusur tiap - tiap sendi
dan merata di dasar tulang,.
aku tak mengizinkan butir airmata
menetes,..
biar saja,..
biar saja sesak menyelimuti dada,.
bukankah sesak ini yang selalu menyertaiku saat mengingatmu?
Meski dalam canda
aku mempertanyakan ungkap yang selalu kau tebar,..
Aku lelah mempercayaimu,
aku enggan mempercayaimu,..
( ketika sore mengantarku mengenang sebuah nama, seulas senyum dan serangkai cerita dalam bingkisan hati yang terdalam,..)
Jumat, 08 April 2011
kangen
di sini,..
di ruang ini,..
aku tahu kau akan datang
tersenyum
memelukku
dan lidahku kembali kelu
hanya untuk mengatakan
kangen,..
di ruang ini,..
aku tahu kau akan datang
tersenyum
memelukku
dan lidahku kembali kelu
hanya untuk mengatakan
kangen,..
Kamis, 07 April 2011
hujan sore ini
Deras, bagai tersiram dari langit dan mengandalkan gelap,.. sejenak aku terdiam menikmati gelegar yang berpadu liukan kilat menyambar,.. sexy,..
Deras,.. dan aku tersentak dengan sejumlah ingatan,..
kamu,.. yang berucap tak akan membaca tulisanku, karena membuatmu cemburu pada imajinasiku, tak akan memasuki ruang magenta karena takut terbawa pada nuansa disana,.
kamu,.. yang selalu mengganti CD lagu romantisku dan mengganti dengan house music yang memekakan telinga,.
kamu,.. yang selalu mengatakan semua akan baik - baik saja saat aku benar - benar terpuruk..
dan,.. kamu,.. yang tiba - tiba merubah ruang magenta menjadi tempat nyaman penuh rangkaian kata dan sama seperti imajinasiku,.. seiring dengan musik penuh romantis yang ku kira tak pernah kau tahu,.. inikah yang kau bilang semua akan baik - baik saja,..
hujan,.. deras,... kamu,...
- ame,.. thanks a lot dear,..
Deras,.. dan aku tersentak dengan sejumlah ingatan,..
kamu,.. yang berucap tak akan membaca tulisanku, karena membuatmu cemburu pada imajinasiku, tak akan memasuki ruang magenta karena takut terbawa pada nuansa disana,.
kamu,.. yang selalu mengganti CD lagu romantisku dan mengganti dengan house music yang memekakan telinga,.
kamu,.. yang selalu mengatakan semua akan baik - baik saja saat aku benar - benar terpuruk..
dan,.. kamu,.. yang tiba - tiba merubah ruang magenta menjadi tempat nyaman penuh rangkaian kata dan sama seperti imajinasiku,.. seiring dengan musik penuh romantis yang ku kira tak pernah kau tahu,.. inikah yang kau bilang semua akan baik - baik saja,..
hujan,.. deras,... kamu,...
- ame,.. thanks a lot dear,..
Senin, 07 Maret 2011
g e d r u k
“Emak,..”
Aku menghentikan kegiatan menjahitku, menatap wajah mungil nan bening. Mengelus rambut kemerahannya yang mulai kasar akibat sering bermain di bawah sinar matahari. Menanti kalimat yang akan keluar dari mulutnya yang mungil, lewat suaranya yang merdu.
“Mengapa namaku Gedruk?”
Aku menatap dalam – dalam sinar mataku lelaki mungilku, ada perasaan nyeri menyusup ke relung hati. Aku mengira – ira arah pertanyaan Gedruk. Aku tahu, nama Gedruk tidak lazim dipakai untuk nama seseorang. Apakah teman – teman Gedruk di sekolahnya mulai memperkarakan nama yang tak lazim ini.
“Mengapa Gedruk, mengapa bukan Anton, Danu, Thomas atau Ahmad?”
Aku tak mampu mengurai perasaanku. Kalimat bocah berusia tujuh tahun, kekasihku ini menggoreskan kenangan terindah namun perih yang terkungkung di dasar hatiku.
“Emak,..” Suara itu kembali mengusik telingaku.
“Ayah yang memberi nama itu padamu, sayang,...”
“Tapi mengapa Gedruk?”
“Ada yang salah dengan nama Gedruk?”
“Salah Emak, Apa Emak tak pernah tahu arti nama yang indah?”
“Ayah ingin memanggilmu dengan nama Gedruk, Emak juga”
Gedruk merengut, bibir kecilnya menyimpul menyatakan tak setuju dengan apa yang aku katakan. Tiba – tiba saja aku ingin ayah Gedruk ada disini untuk menenangkan galau hati Gedruk atas namanya.
“Hanya Gedruk, Mak? Hanya Gedruk, Ged druk”
Aku tersenyum mendengar Gedruk mengeja namanya, memang hanya Gedruk. Aku meneguhkan hati untuk mengenang saat terakhir Ayah berpesan untuk menamai buah cinta kami dengan Gedruk. Memang tidak hanya Gedruk, namun aku tak mampu mengingat dua kata dibelakang nama Gedruk yang Ayah berikan kepadaku, aku sibuk dengan airmataku yang mengalir deras saat itu. Antara merelakan kepergian Ayah dan menginginkannya dipelukanku.
“Teman – teman di sekolah menggunakan nama ayahnya dibelakang namanya”
Aku mendesah pelan, rasanya aku tak pernah mampu menyebut nama Ayah tanpa meneteskan airmata dan duduk bersimpuh merasakan perih di dada. Gedruk menatapku dengan mata beningnya, mencoba mengurai tangis yang aku persembahkan untuknya.
“Gedruk ingin nama Ayah, Emak,..” Gedruk merajuk, aku masih terdiam.
Dan hari ini adalah hari kesekian aku menanti Ayah kembali bersama kami. Membawa cinta yang selalu kami rindukan. Ayah yang akan mencium kening kami menjelang kami terlelap. Ayah yang menjadi curahan cintaku. Ayah yang akan selalu menjadi kebanggaan Gedruk.
“Mulai besok Gedruk mau tambah nama ya Emak”
“Apa?”
“Gedruk Ayah”
“Kok Gedruk Ayah?”
“Gedruk tak tahu nama Ayah, Emak”
Aku tersenyum pilu. Aku tak pernah menghadirkan nama Ayah yang sebenarnya. Gedruk hanya mengenal istilah Ayah. Aku yang selalu mengenalkan Gedruk dengan panggilan Ayah tanpa Gedruk tahu nama sebenarnya sang ayah.
“Lalu apa artinya Gedruk, Emak?”
“Gedruk adalah cinta ayah kepada Emak”
“Cinta?”
Mata bulatnya menatapku, aku tak mampu lagi menyembunyikan sesenti rinduku pada Ayah Gedruk. Lelaki yang telah menitipkan Gedruk kepadaku atas nama cinta. Aku tahu Gedruk tak akan pernah percaya dengan jawabanku.
“Ayah sangat menyayangi Emak, Ayah juga sangat menyayangi Gedruk, meski Ayah belum pernah bertemu denganmu, Gedruk,..”
Suaraku bergetar mengungkapkan kalimat itu. Bayangan seorang lelaki sederhana yang juga biasa kupanggil ayah menari – nari di sudut mataku. Mengingat saat terakhir ayah memelukku dan membisikkan kalimat pengharapan akan kembali demi cinta kami yang terbalut dalam nama Gedruk.
“Lalu mengapa Ayah tak pernah ada di antara kita?”
“Karena Ayah teramat sangat mencintai kita”
Lagi – lagi aku ingin mengatakan hal lain, namun hati nan tulus milik anakku memintaku untuk mengatakan hal lain tentang anaknya. Hati nan bersih itu sama sekali belum pernah melihat sosok Ayah. Sosok tercinta yang menjadi super hero nya.
“Emak bohong, Ayah meninggalkan kita, berarti Ayah tidak mencintai kita” Gedruk mulai histeris
“Ayah sangat mencintai kita”
Aku menjawab histeris Gedruk dengan suara terlembut yang aku miliki, mencoba menenangkan gejolak yang meluap berdarah dalam hatinya. Aku memahami kecemburuan yang Gedruk miliki saat menatap temannya pulang sekolah dijemput sang ayah, atau wajah sedihnya saat harus mencium tanganku tanpa bisa mencium tangan Ayah saat berangkat sekolah.
“Ayah tak pernah meninggalkan kita, Gedruk, cinta ayah masih selalu bersama kita”
Gedruk mulai terisak, duduk selonjor di bawah bale bale kayu yang aku duduki. Aku paham, aku berbicara dengan bocah berusia tujuh tahun yang tak belum pernah mengenal sosok Ayah. Ayah yang selalu dia rindukan, Ayah yang berjanji akan pulang setelah semua selesai, Ayah yang aku yakinkan kepadanya, mencintai kami teramat sangat.
“Ayah mungkin sudah lupa dengan kita Mak”
Aku menggeleng, aku kenal siapa Ayah, aku mengenal hatinya sebaik aku mengenal hatiku. Dan aku yakin, tak pernah terlintas sekilaspun Ayah berniat melupakan kami, aku dan Gedruk.
“Ayah sedang berjuang untuk menemui kita lagi, Nak”
Aku tak peduli apakah Gedruk akan mengerti arti berjuang yang aku katakan. Aku menyimpan kenangan yang tak manis untuk aku bagi kepada anak semata wayangku dan Ayah. Aku masih saja meyakinkan tentang cinta antara aku, Ayah dan Gedruk, meski dia tak akan mengerti di usia ini.
“Ayah selalu ingin bersama kita, namun keadaan yang memaksa Ayah untuk memilih”
“Dan Ayah tak memilih kita” Potong Gedruk dingin.
“Ayah pergi untuk sementara karena Ayah memilih kita”
Gedruk menggelengkan kepalanya, persis kebiasaan Ayah yang masih terekam rapi diotakku. Gedruk memiliki semua dari Ayah, mata, bibirku dan kulitnya yang gelap. Gedruk selalu mengingatkanku pada Ayah.
“Mereka bilang aku anak haram karena aku tak punya ayah”
Aku menggeleng dalam keterkejutanku akan pernyataan Gedruk, Gedruk bukan anak haram, karena Gedruk terlahir karena cinta, cinta yang aku dan ayahnya miliki dengan ketulusan, cinta yang terpaksa terenggut oleh janji orang tua yang lebih dulu terucap dan pantang tak terlaksana. Mereka, mereka sama dengan orang tua Ayah yang tak pernah mengerti cinta sesungguhnya. Mereka hanya bisa berkata, mereka tak pernah bisa merasakan.
“Mereka bilang aku anak Genderuwo”
Aku kembali menggeleng kuat – kuat. Tak perlu kekuatan lain untuk menghadirkan Gedruk diantara kami, cinta itu sendiri sudah cukup kuat, melibatkan kasih yang memancar indah dalam keabadian, melibatkan beda yang menyatu dalam warna serasi yang mempesona, melibatkan keajaiban Tuhan. Gedruk bukan anak Genderuwo, Gedruk adalah anak cinta.
“Ataukah aku lahir,..”
“Kau lahir atas dasar cinta, kelahiranmu alami karena cinta, cinta yang ayahmu berikan pada emak, cinta yang menjadikan kepasrahan menunggu ayah kembali bersama, kau adalah cinta itu sendiri, kau mampu memberikan kami kekuatan untuk saling menunggu saat yang tepat untuk kami bersatu, lalu bahagia selama – lamanya” Potongku dengan suara bergetar.
Tangis Gedruk semakin mengeras, ditingkahi lengkingan yang menyayat hati. Aku tak kuat menambah kerinduan hatinya. Ayah,.. Aku membutuhkan dirimu, cinta kita mulai menuntut hadirmu, persediaan harapan yang kau titipkan padaku mulai menipis, aku tak mampu menghapus airmata yang mengalir deras dipipi dan meninggalkan luka di hati.
“Ceritakan tentang Ayah, Emak,..”
Aku menyusut airmataku, mengumpulkan serpihan – serpihan hati untuk kembali mengingat sosok Ayah. Mengingat senyumnya yang mengirimkan seluruh energi untuk bersabar menghadapi hidup. Memantapkan hati untuk bercerita kepada Gedruk sosok ayah yang sebenarnya.
“Ayah adalah wajah penuh cinta dan sayang yang selama ini ada di khayal Emak”
Gedruk menatapku dengan hati – hati, tangisnya mulai mereda. Kepala mungilnya rebah dipahaku. Aku mengelus rambutnya, berombak, seperti milik Ayah, bahkan Gedruk juga memiliki jenis kulit seperti Ayah. Gedruk menanti ceritaku.
“Ayah datang mengisi relung hati Emak yang merindukan kedamaian”
Aku mulai memiliki kekuatan untuk bercerita kepada Gedruk tentang cinta Ayahnya yang menjadikanku kuat. Tentang kenangan yang tersisa dan sengaja aku patri dalam kalbu. Tentang cinta yang akan Gedruk pahami saat Gedruk menginjak dewasa. Cinta Ayah yang tak pernah bisa diungkap dengan kata – kata.
“Ayah adalah hati yang penuh dengan bahasa kasih yang akan terungkapkan dengan pasti dalam suka dan sedih”
Gedruk mulai tersenyum, mungkin dia mulai merangkai khayal tentang sosok Ayah sesuai dengan yang aku gambarkan. Dan menempatkan hati Ayah dalam tahta tertinggi dalam nyawanya. Meski aku tak yakin Gedruk mengerti kisahku.
“Ayah adalah harapan yang tak pernah mati, buat Emak, buat Gedruk”
Gedruk mulai terlelap. Nafasnya terdengar sangat teratur. Mungkin dia sedang bertemu Ayah dalam tidurnya. Ayahnya yang merupakan harapan kami yang tak pernah mati. Aku menikmati cerita ini di atas bale bale kayu yang mulai rapuh. Menatap wajahnya yang mewarisi wajah Ayah.
“Apakah Ayah seorang tentara, Emak” Aku tergagap, aku menyangka Gedruk sudah terlelap. Mungkin Gedruk bertemu Ayah dalam seragam tentara dalam tidurnya.
“Bukan sayang, Ayah adalah seorang pelukis”
“Apakah Ayah akan melukis wajah Gedruk dan wajah Emak di samping wajah Ayah?”
“Tentu saja Sayang”
“Tapi bagaimana mungkin, Ayah belum pernah melihat wajah Gedruk”
“Ayah sangat mencintaimu Gedruk, Ayah pasti bisa melukis wajahmu dengan sempurna”
“Emak yakin?”
“Emak sangat yakin, Gedruk”
Mata Gedruk kembali terpejam. Mungkin Gedruk mencari sosok pelukis yang ia yakini sebagai Ayahnya dalam mimpi, lalu menemani sang Ayah melukis gambaran sempurna sebuah keluarga dalam khayalnya. Sepertiku yang berusaha melukis harapan untuk mewujudkan gambaran keluarga sempurna. Gedruk adalah kesempurnaan cinta kami.
“Gedruk rindu Ayah, Emak”
“Emak juga”
Airmata mengalir lembut melewati pipinya yang mungil, menanti terhapus oleh kehadiran sosok ayah yang dirindukan. Aku tak kuasa menahan airmataku yang mengalir. Airmata kerinduan akan sebentuk cinta yang aku bagi bersama Ayah.
“Gedruk ingin memeluk Ayah, Emak,..” suara Gedruk melemah, dia menahan kantuk setelah tangis panjangnya.
Aku tergugu, mengingat pelukan Ayah yang tak pernah Gedruk dapatkan. Pelukan yang hanya menjadi mimpi terindahku melewati malam – malam sepi nan dingin.
“Gedruk ingin Ayah, Emak,..”
Aku menahan sesak di dada yang kian menghimpit kalbuku, memeluk tubuh Gedruk yang menjadi satu – satunya wujud cintaku, erat, hingga tubuh Gedruk melebur bersama tubuhku, terkulai merindukan lelaki yang sama, lelaki yang kami panggil, Ayah.
Semarang, 25 April 2008, 23 : 22 WIB
Untuk Gedruk,..
Aku menghentikan kegiatan menjahitku, menatap wajah mungil nan bening. Mengelus rambut kemerahannya yang mulai kasar akibat sering bermain di bawah sinar matahari. Menanti kalimat yang akan keluar dari mulutnya yang mungil, lewat suaranya yang merdu.
“Mengapa namaku Gedruk?”
Aku menatap dalam – dalam sinar mataku lelaki mungilku, ada perasaan nyeri menyusup ke relung hati. Aku mengira – ira arah pertanyaan Gedruk. Aku tahu, nama Gedruk tidak lazim dipakai untuk nama seseorang. Apakah teman – teman Gedruk di sekolahnya mulai memperkarakan nama yang tak lazim ini.
“Mengapa Gedruk, mengapa bukan Anton, Danu, Thomas atau Ahmad?”
Aku tak mampu mengurai perasaanku. Kalimat bocah berusia tujuh tahun, kekasihku ini menggoreskan kenangan terindah namun perih yang terkungkung di dasar hatiku.
“Emak,..” Suara itu kembali mengusik telingaku.
“Ayah yang memberi nama itu padamu, sayang,...”
“Tapi mengapa Gedruk?”
“Ada yang salah dengan nama Gedruk?”
“Salah Emak, Apa Emak tak pernah tahu arti nama yang indah?”
“Ayah ingin memanggilmu dengan nama Gedruk, Emak juga”
Gedruk merengut, bibir kecilnya menyimpul menyatakan tak setuju dengan apa yang aku katakan. Tiba – tiba saja aku ingin ayah Gedruk ada disini untuk menenangkan galau hati Gedruk atas namanya.
“Hanya Gedruk, Mak? Hanya Gedruk, Ged druk”
Aku tersenyum mendengar Gedruk mengeja namanya, memang hanya Gedruk. Aku meneguhkan hati untuk mengenang saat terakhir Ayah berpesan untuk menamai buah cinta kami dengan Gedruk. Memang tidak hanya Gedruk, namun aku tak mampu mengingat dua kata dibelakang nama Gedruk yang Ayah berikan kepadaku, aku sibuk dengan airmataku yang mengalir deras saat itu. Antara merelakan kepergian Ayah dan menginginkannya dipelukanku.
“Teman – teman di sekolah menggunakan nama ayahnya dibelakang namanya”
Aku mendesah pelan, rasanya aku tak pernah mampu menyebut nama Ayah tanpa meneteskan airmata dan duduk bersimpuh merasakan perih di dada. Gedruk menatapku dengan mata beningnya, mencoba mengurai tangis yang aku persembahkan untuknya.
“Gedruk ingin nama Ayah, Emak,..” Gedruk merajuk, aku masih terdiam.
Dan hari ini adalah hari kesekian aku menanti Ayah kembali bersama kami. Membawa cinta yang selalu kami rindukan. Ayah yang akan mencium kening kami menjelang kami terlelap. Ayah yang menjadi curahan cintaku. Ayah yang akan selalu menjadi kebanggaan Gedruk.
“Mulai besok Gedruk mau tambah nama ya Emak”
“Apa?”
“Gedruk Ayah”
“Kok Gedruk Ayah?”
“Gedruk tak tahu nama Ayah, Emak”
Aku tersenyum pilu. Aku tak pernah menghadirkan nama Ayah yang sebenarnya. Gedruk hanya mengenal istilah Ayah. Aku yang selalu mengenalkan Gedruk dengan panggilan Ayah tanpa Gedruk tahu nama sebenarnya sang ayah.
“Lalu apa artinya Gedruk, Emak?”
“Gedruk adalah cinta ayah kepada Emak”
“Cinta?”
Mata bulatnya menatapku, aku tak mampu lagi menyembunyikan sesenti rinduku pada Ayah Gedruk. Lelaki yang telah menitipkan Gedruk kepadaku atas nama cinta. Aku tahu Gedruk tak akan pernah percaya dengan jawabanku.
“Ayah sangat menyayangi Emak, Ayah juga sangat menyayangi Gedruk, meski Ayah belum pernah bertemu denganmu, Gedruk,..”
Suaraku bergetar mengungkapkan kalimat itu. Bayangan seorang lelaki sederhana yang juga biasa kupanggil ayah menari – nari di sudut mataku. Mengingat saat terakhir ayah memelukku dan membisikkan kalimat pengharapan akan kembali demi cinta kami yang terbalut dalam nama Gedruk.
“Lalu mengapa Ayah tak pernah ada di antara kita?”
“Karena Ayah teramat sangat mencintai kita”
Lagi – lagi aku ingin mengatakan hal lain, namun hati nan tulus milik anakku memintaku untuk mengatakan hal lain tentang anaknya. Hati nan bersih itu sama sekali belum pernah melihat sosok Ayah. Sosok tercinta yang menjadi super hero nya.
“Emak bohong, Ayah meninggalkan kita, berarti Ayah tidak mencintai kita” Gedruk mulai histeris
“Ayah sangat mencintai kita”
Aku menjawab histeris Gedruk dengan suara terlembut yang aku miliki, mencoba menenangkan gejolak yang meluap berdarah dalam hatinya. Aku memahami kecemburuan yang Gedruk miliki saat menatap temannya pulang sekolah dijemput sang ayah, atau wajah sedihnya saat harus mencium tanganku tanpa bisa mencium tangan Ayah saat berangkat sekolah.
“Ayah tak pernah meninggalkan kita, Gedruk, cinta ayah masih selalu bersama kita”
Gedruk mulai terisak, duduk selonjor di bawah bale bale kayu yang aku duduki. Aku paham, aku berbicara dengan bocah berusia tujuh tahun yang tak belum pernah mengenal sosok Ayah. Ayah yang selalu dia rindukan, Ayah yang berjanji akan pulang setelah semua selesai, Ayah yang aku yakinkan kepadanya, mencintai kami teramat sangat.
“Ayah mungkin sudah lupa dengan kita Mak”
Aku menggeleng, aku kenal siapa Ayah, aku mengenal hatinya sebaik aku mengenal hatiku. Dan aku yakin, tak pernah terlintas sekilaspun Ayah berniat melupakan kami, aku dan Gedruk.
“Ayah sedang berjuang untuk menemui kita lagi, Nak”
Aku tak peduli apakah Gedruk akan mengerti arti berjuang yang aku katakan. Aku menyimpan kenangan yang tak manis untuk aku bagi kepada anak semata wayangku dan Ayah. Aku masih saja meyakinkan tentang cinta antara aku, Ayah dan Gedruk, meski dia tak akan mengerti di usia ini.
“Ayah selalu ingin bersama kita, namun keadaan yang memaksa Ayah untuk memilih”
“Dan Ayah tak memilih kita” Potong Gedruk dingin.
“Ayah pergi untuk sementara karena Ayah memilih kita”
Gedruk menggelengkan kepalanya, persis kebiasaan Ayah yang masih terekam rapi diotakku. Gedruk memiliki semua dari Ayah, mata, bibirku dan kulitnya yang gelap. Gedruk selalu mengingatkanku pada Ayah.
“Mereka bilang aku anak haram karena aku tak punya ayah”
Aku menggeleng dalam keterkejutanku akan pernyataan Gedruk, Gedruk bukan anak haram, karena Gedruk terlahir karena cinta, cinta yang aku dan ayahnya miliki dengan ketulusan, cinta yang terpaksa terenggut oleh janji orang tua yang lebih dulu terucap dan pantang tak terlaksana. Mereka, mereka sama dengan orang tua Ayah yang tak pernah mengerti cinta sesungguhnya. Mereka hanya bisa berkata, mereka tak pernah bisa merasakan.
“Mereka bilang aku anak Genderuwo”
Aku kembali menggeleng kuat – kuat. Tak perlu kekuatan lain untuk menghadirkan Gedruk diantara kami, cinta itu sendiri sudah cukup kuat, melibatkan kasih yang memancar indah dalam keabadian, melibatkan beda yang menyatu dalam warna serasi yang mempesona, melibatkan keajaiban Tuhan. Gedruk bukan anak Genderuwo, Gedruk adalah anak cinta.
“Ataukah aku lahir,..”
“Kau lahir atas dasar cinta, kelahiranmu alami karena cinta, cinta yang ayahmu berikan pada emak, cinta yang menjadikan kepasrahan menunggu ayah kembali bersama, kau adalah cinta itu sendiri, kau mampu memberikan kami kekuatan untuk saling menunggu saat yang tepat untuk kami bersatu, lalu bahagia selama – lamanya” Potongku dengan suara bergetar.
Tangis Gedruk semakin mengeras, ditingkahi lengkingan yang menyayat hati. Aku tak kuat menambah kerinduan hatinya. Ayah,.. Aku membutuhkan dirimu, cinta kita mulai menuntut hadirmu, persediaan harapan yang kau titipkan padaku mulai menipis, aku tak mampu menghapus airmata yang mengalir deras dipipi dan meninggalkan luka di hati.
“Ceritakan tentang Ayah, Emak,..”
Aku menyusut airmataku, mengumpulkan serpihan – serpihan hati untuk kembali mengingat sosok Ayah. Mengingat senyumnya yang mengirimkan seluruh energi untuk bersabar menghadapi hidup. Memantapkan hati untuk bercerita kepada Gedruk sosok ayah yang sebenarnya.
“Ayah adalah wajah penuh cinta dan sayang yang selama ini ada di khayal Emak”
Gedruk menatapku dengan hati – hati, tangisnya mulai mereda. Kepala mungilnya rebah dipahaku. Aku mengelus rambutnya, berombak, seperti milik Ayah, bahkan Gedruk juga memiliki jenis kulit seperti Ayah. Gedruk menanti ceritaku.
“Ayah datang mengisi relung hati Emak yang merindukan kedamaian”
Aku mulai memiliki kekuatan untuk bercerita kepada Gedruk tentang cinta Ayahnya yang menjadikanku kuat. Tentang kenangan yang tersisa dan sengaja aku patri dalam kalbu. Tentang cinta yang akan Gedruk pahami saat Gedruk menginjak dewasa. Cinta Ayah yang tak pernah bisa diungkap dengan kata – kata.
“Ayah adalah hati yang penuh dengan bahasa kasih yang akan terungkapkan dengan pasti dalam suka dan sedih”
Gedruk mulai tersenyum, mungkin dia mulai merangkai khayal tentang sosok Ayah sesuai dengan yang aku gambarkan. Dan menempatkan hati Ayah dalam tahta tertinggi dalam nyawanya. Meski aku tak yakin Gedruk mengerti kisahku.
“Ayah adalah harapan yang tak pernah mati, buat Emak, buat Gedruk”
Gedruk mulai terlelap. Nafasnya terdengar sangat teratur. Mungkin dia sedang bertemu Ayah dalam tidurnya. Ayahnya yang merupakan harapan kami yang tak pernah mati. Aku menikmati cerita ini di atas bale bale kayu yang mulai rapuh. Menatap wajahnya yang mewarisi wajah Ayah.
“Apakah Ayah seorang tentara, Emak” Aku tergagap, aku menyangka Gedruk sudah terlelap. Mungkin Gedruk bertemu Ayah dalam seragam tentara dalam tidurnya.
“Bukan sayang, Ayah adalah seorang pelukis”
“Apakah Ayah akan melukis wajah Gedruk dan wajah Emak di samping wajah Ayah?”
“Tentu saja Sayang”
“Tapi bagaimana mungkin, Ayah belum pernah melihat wajah Gedruk”
“Ayah sangat mencintaimu Gedruk, Ayah pasti bisa melukis wajahmu dengan sempurna”
“Emak yakin?”
“Emak sangat yakin, Gedruk”
Mata Gedruk kembali terpejam. Mungkin Gedruk mencari sosok pelukis yang ia yakini sebagai Ayahnya dalam mimpi, lalu menemani sang Ayah melukis gambaran sempurna sebuah keluarga dalam khayalnya. Sepertiku yang berusaha melukis harapan untuk mewujudkan gambaran keluarga sempurna. Gedruk adalah kesempurnaan cinta kami.
“Gedruk rindu Ayah, Emak”
“Emak juga”
Airmata mengalir lembut melewati pipinya yang mungil, menanti terhapus oleh kehadiran sosok ayah yang dirindukan. Aku tak kuasa menahan airmataku yang mengalir. Airmata kerinduan akan sebentuk cinta yang aku bagi bersama Ayah.
“Gedruk ingin memeluk Ayah, Emak,..” suara Gedruk melemah, dia menahan kantuk setelah tangis panjangnya.
Aku tergugu, mengingat pelukan Ayah yang tak pernah Gedruk dapatkan. Pelukan yang hanya menjadi mimpi terindahku melewati malam – malam sepi nan dingin.
“Gedruk ingin Ayah, Emak,..”
Aku menahan sesak di dada yang kian menghimpit kalbuku, memeluk tubuh Gedruk yang menjadi satu – satunya wujud cintaku, erat, hingga tubuh Gedruk melebur bersama tubuhku, terkulai merindukan lelaki yang sama, lelaki yang kami panggil, Ayah.
Semarang, 25 April 2008, 23 : 22 WIB
Untuk Gedruk,..
Selasa, 01 Februari 2011
Cerita Kepingan Hati
Suatu saat aku mengirim pesan kepada salah satu sahabatku. Isinya sangat singkat namun penuh harap : ”Aku tak ingin lelaki tampan, punya banyak harta dan kuasa. Aku hanya ingin lelaki itu, tak tampan tanpa tanpa harta dan kuasa. Mengapa sepertinya Tuhan enggan memberikannya padaku, apakah karena aku mengincar hatinya?”
Lalu sang sahabat menjawab : “Lelaki tanpa harta dan tahta tak akan berdaya melihat wanita tangguh, smart, carrier oriented dan bla bla bla sepertimu, apalagi untuk menikahinya”
Aku tertegun, lalu mataku memanas, sekuat tenaga aku menahan butiran airmata ini. kembali aku menulis pesan untuknya : “Lalu, salahku dimana?”
Jawabannya datang sangat cepat : “Kau tidak bersalah”
Aku mulai tak bisa membendung airmataku. Jemariku bergetar menulis pesan singkat untuknya, lagi : ”Apa yang harus aku hilangkan untuk mendapatkannya?, tangguh?, smart? Carrier oriented? Atau bla bla bla nya?”
Aku terisak dalam bathin. Cukup lama untuk menerima jawaban pesan. Sahabatku perlu waktu lumayan lama untuk menjawab pertanyaanku. Mungkin sedikit menyesal menunjukkan kenyataan kepadaku. Setelah setengah jam jawabannya datang : “tidak ada, mungkin memang dia bukan untukmu”
Aku tak lagi membalas pesannya. Aku terisak,..
Lalu aku sangat ingin bertemu Tuhan. Aku ingin mengadukan ketidakadilan ini. Namun aku ragu, apakah Tuhan punya cukup waktu untuk mendengarkan ceritaku ini. mungkin cukup picisan dan cengeng untuk aku yang hidup di era internet ini. namun kenyataannya kisah ini berulang, berulang dan berulang.
Entah apa yang salah denganku. Lelaki sepertinya “kalah set” dihadapanku. Jangan pernah membayangkan aku adalah sosok girl power yang juga dapat diartikan sebagai sosok judes, galak, egois dan sok menang di depan kaum lelaki. Aku sama dengan wanita lain, sangat sama.
Mungkin aku harus merunut kisahku dari zaman SMP. Masa ABG dimana semua memiliki kisah cinta monyet yang lucu dan tak masuk akal. Aku juga, aku sama dengan mereka. Aku juga punya pujaan hati yang hanya bisa kukagumi diam – diam. Namun aku juga berbeda dengan mereka. Aku tak punya keberanian untuk mengekspresikan apa yang aku rasa. Mama bilang akan sangat memalukan jika seorang lelaki mengetahui kita memiliki perasaan kepadanya. Mungkin mama bilang seperti itu karena aku masih SMP, tapi kata – kata mama itu begitu mempengaruhiku. Aku tak pernah mau mengakui aku menyukai teman lelakiku secara khusus, bahkan kepada teman – teman akrabku, bahkan untuk sekedar mengisi cerita SMP.
Tuhan memberiku, talenta yang luar biasa. Kecerdasanku di atas rata – rata (untuk ini aku mengacu pada nilai – nilai di raport dan keberanian mengungkapkan pendapat di depan publik – hanya pendapat tentang hal lain selain cinta). Kukira kecerdasanku akan membuai hati teman lelakiku, nyatanya tidak. Mereka enggan berteman akrab denganku, aku tak tahu pasti alasannya. Menurutku bukan karena fisik, karena nyatanya teman – teman yang tak lebih cantik dariku pun punya pacar. Dan aku sempat mendengar satu pernyataan alasan dari mengapa itu. Simple !! Aku terlalu pandai untuk berteman akrab dengan mereka, mereka minder dengan kecerdasanku. Aku melongo, aku cerdas alami, aku bukan kutu buku yang menghabiskan banyak buku untuk belajar, bahkan aku sangat malas belajar dan sempat “santai” saat nilai – nilaiku jatuh karena aku sama sekali tak memperdulikan pelajaran. Dan hal itu tak membantuku, mereka tetap melihatku sebagai sosok cerdas yang menakutkan. Mungkin yang salah teman – teman lelakiku, mereka takut dilihat kalah cerdas dengan perempuan. Ego laki – laki, aku harus mengakuinya,..
Kecerdasanku tak pernah ditakuti oleh teman – teman perempuanku. Aku masih ingat saat SMP ada satu gank perempuan cantik yang sangat arrogant, mungkin mereka semacam gank popular. Hanya karena aku dekat dengan seorang teman lelaki yang salah satu anggota gank itu sukai, mulailah terror itu menyapaku. Mereka menggunakan keadaan kulitku yang gelap sebagai salah satu materi pemboikotan terhadapku, bahasa politiknya mungkin black campaign. Disini aku mati langkah, aku serba salah. Cerdas salah, tak secantik mereka pun salah. Aku semakin memandang diriku berbeda. Aku semakin jauh dari cerita cinta monyet.
Aku tak pernah tahu jika ada beberapa teman sekolah yang menyukaiku. Mereka tak pernah mengatakan kepadaku. Mereka takut diledek, karena kalah pinter atau malu punya pacar yang kulitnya item sepertiku. Aku menjalani masa sekolahku hanya dengan berteman, berteman dan berteman. Tanpa rasa special yang bisa aku tunjukkan. Bahkan aku pernah mencintai seorang teman lelaki yang menjadi sahabat selama lebih dari separuh hidup kami dan dia tak pernah tahu sampai saat ini. Entah jika dia tahu setelah membaca tulisan ini.
Saat SMA aku merasa “butuh” punya pacar, secara teman – teman masing – masing punya. Bahkan Mita sudah enam kali berganti pacar. Aku mengiyakan seorang lelaki yang menyatakan cintanya padaku. Tanpa aku pernah yakin apakah aku juga menyukainya. Yang penting aku punya teman jalan. Namun hubungan ini juga tak bisa mulus. Usianya yang 4 tahun diatasku membuatnya merasa lebih pintar dariku. Dan aku yang berfikiran kritis tak bisa menerima kenyataan ini. Kata pisah menjadi kata yang sangat aku nantikan. Dengan keberanian yang luar biasa aku mengatakan “kita jalan sendiri – sendiri”, lalu dia menangis dan menanyakan alasanku, kujawab dengan segenap pikiran matang “karena kau ditaktor”, lalu dia memakiku dengan alasan perempuan tak tahu aturan. Aku yang saat itu delapan belas tahun mengerutkan dahi, kau tak mengerti, dia mengatakan aku tak tahu aturan karena aku tak mau mengikuti aturannya yang bagai tali kekang kuda. Meski aku tak menyalahkan keadaanku saat itu tapi aku terlanjur bersahabat dengan dendam, aku tak mau berjalan di belakang seorang laki – laki, aku harus berjalan di sebelahnya, sebagai partner, bukan pembantunya. Dan kalimat itu begitu merasuk dalam kalbuku dan menjadi mantera hariku. Dan aku akan takluk dengan lelaki yang menjadikanku sahabat hidupnya, menggandengku, bukan menyeretku.
Sebagai perempuan yang terus berproses menjadi seorang wanita, aku memiliki criteria kelewat tinggi untuk mengizinkan seseorang menempati tahta dihatiku. Beberapa nama dan cerita mampir dihidupku. Mendengarkan kidung cinta yang menggebu lalu berlalu begitu saja. Tanpa lara hati dan hanya sekedar umpatan.
Dan saatnya tiba, aku jatuh cinta dengan seseorang di usiaku ke dua puluh lima. Terjadi begitu saja, aku jatuh cinta pada sosok dewasa yang sangat bisa menjadikanku sahabat. Setidaknya dia sharing banyak hal kepadaku. Agaknya dia mengagumi kepintaranku. Aku melambung di awang – awang, akhirnya aku mendapatkan lelaki yang tak mempermasalahkan “kelebihan”ku ini. Lelaki ganteng itu meminta seluruh hati dan cintaku. Menjanjikan kehidupan yang apa adanya dan penuh lagu. Aku memberikannya, seluruhnya, sampai aku tak punya untukku sendiri. Aku mengubah beberapa bagian dari sifat dasarku untuk mengimbanginya. Aku tak pernah punya rasa marah saat bersamanya. Bahkan kesabaranku yang luar biasa itu menjadikan keanehanku diantara teman – teman yang mengenalku. Lalu, disuatu malam aku menemukannya dalam kegamangan (dia tak pernah tahu aku ada disana) dia sedang berbicara dengan Mamanya ditelepon, dia berbisik namun aku mendengarnya dengan sangat jelas “Andai dia berkulit putih, aku pasti sudah menikahinya”. Aku terhenyak, dia menginginkan hati, cinta dan otakku, fisik dan wajahku, namun dia tak menginginkan wana kulitku. Aku kembali bertanya – tanya, apakah alasan itu mutlak untuknya meninggalkanku. Dan benar, dia meninggalkanku dengan banyak hal yang tak terselesaikan dan menikah dengan wanita mirip denganku, hanya saja berkulit putih. Aku sedih, aku terluka bahkan nyaris tak mau lagi meneruskan hidup,..
Aku kembali berjalan dengan sisa cinta, percaya dan harapan. Aku tak yakin akan ada cinta indah buatku lagi, aku tak lagi punya percaya kepada lelaki dan aku tak berani berharap apapun dari kisah ini. Lingkungan tampak tak pernah peduli dengan apa yang aku alami. Pasti mereka menuduhku yang bermasalah. Aku bosan, aku lelah, aku muak,..
Aku harus berhasil menjadi seseorang. Agar tak ada lagi yang bisa mencurangiku. Aku memanfaatkan semua talenta yang Tuhan beri untukku berproses lagi. Dan aku berhasil membuktikan pada semua bahwa aku mampu, aku bisa menjadi seseorang yang tidak biasa. Aku yang tidak putih namun memiliki kemampuan luar biasa untuk berkarya. Aku kira inilah saatnya aku menunjukkan siapa diriku. Mungkin dengan semua yang telah terukir, para mantan menyadari kekeliruannya.
Menuju puncak karier, aku jatuh cinta dengan pria sederhana yang mampu menyejukkan rasaku yang sering bergejolak. Seorang pria yang tak pernah mempermasalahkan tubuhku yang semakin gendut, atau gaya pakaianku yang kadang – kadang tak lazim. Seseorang pria yang dapat menerima pribadiku apa adanya. Dan aku sangat bahagia menemukan saat itu. Aku mulai merancang satu kehidupan indah yang akan aku lalui bersamanya. Dia, dengan segenap ketulusan dan kesederhanaannya, menjadikan dia nyaris sempurna sebagai suami, ayah dan sahabat seumur hidupku. Apa yang dia ungkapkan selalu menjadi setetes air dalam bathinku yang bagai berada di padang pasir. Apa lagi yang aku cari. Tanganku tak pernah lepas menggenggam tangannya, merasakan aliran darah yang aku yakini milikku. Namun akhirnya pria itu harus menyerah pada titah ibu yang tak mengizinkan aku menjadi pendamping anaknya. Aku kira cinta kami cukup kuat untuk menerjang semua onak duri, membiarkan diri di ombang ambingkan ombak dan bersabar mendaki gunung. Berdua. Namun ternyata dia memintaku untuk meninggalkannya. Ada “kekhawatiran akan perbedaan status social kami”. Aku kecewa, aku lemas, masih saja ada alasan,..
Dalam kegelisahan dan keputusasaan yang luar biasa. Seorang laki – laki dari tanah seberang menyatakan keinginannya untuk meminangku. Aku mulai gamang, bukan cinta yang aku pikirkan, mungkin sudah saatnya aku berjalan dengan otak lalu hati. Aku memikirkan semua hal yang menjadi lamaran lelaki ini. Tentang konsep hidup berumah tangga dan keberadaanku yang harus mengikutinya ke kotanya. Aku butuh waktu khusus untuk memikirkannya. Dan alasan dia memilihku, karena aku sederhana, smart dan mandiri. Tuhan, lelaki ini yang kuimpikan. Dia yang menggugurkan semua beban ini. Aku menerima lamarannya. Semua baik – baik saja, hingga saat dia datang ke kotaku dan akan melamarku. Namun dia memutuskanku tanpa alasan tepat dihari pertunangan kami. Aku semakin tak mengerti ketika dia menikahi seorang gadis belia yang manja dan tak pernah kulihat ”smart” dalam dirinya. Aku tersia – sia,..
Kadang aku merasa, mungkin menjadi wanita biasa saja, tidak usah pintar, manja, bodoh namun cantik dan berkulit putih akan jauh lebih beruntung dariku,….
cerita tahun lalu,.....
Lalu sang sahabat menjawab : “Lelaki tanpa harta dan tahta tak akan berdaya melihat wanita tangguh, smart, carrier oriented dan bla bla bla sepertimu, apalagi untuk menikahinya”
Aku tertegun, lalu mataku memanas, sekuat tenaga aku menahan butiran airmata ini. kembali aku menulis pesan untuknya : “Lalu, salahku dimana?”
Jawabannya datang sangat cepat : “Kau tidak bersalah”
Aku mulai tak bisa membendung airmataku. Jemariku bergetar menulis pesan singkat untuknya, lagi : ”Apa yang harus aku hilangkan untuk mendapatkannya?, tangguh?, smart? Carrier oriented? Atau bla bla bla nya?”
Aku terisak dalam bathin. Cukup lama untuk menerima jawaban pesan. Sahabatku perlu waktu lumayan lama untuk menjawab pertanyaanku. Mungkin sedikit menyesal menunjukkan kenyataan kepadaku. Setelah setengah jam jawabannya datang : “tidak ada, mungkin memang dia bukan untukmu”
Aku tak lagi membalas pesannya. Aku terisak,..
Lalu aku sangat ingin bertemu Tuhan. Aku ingin mengadukan ketidakadilan ini. Namun aku ragu, apakah Tuhan punya cukup waktu untuk mendengarkan ceritaku ini. mungkin cukup picisan dan cengeng untuk aku yang hidup di era internet ini. namun kenyataannya kisah ini berulang, berulang dan berulang.
Entah apa yang salah denganku. Lelaki sepertinya “kalah set” dihadapanku. Jangan pernah membayangkan aku adalah sosok girl power yang juga dapat diartikan sebagai sosok judes, galak, egois dan sok menang di depan kaum lelaki. Aku sama dengan wanita lain, sangat sama.
Mungkin aku harus merunut kisahku dari zaman SMP. Masa ABG dimana semua memiliki kisah cinta monyet yang lucu dan tak masuk akal. Aku juga, aku sama dengan mereka. Aku juga punya pujaan hati yang hanya bisa kukagumi diam – diam. Namun aku juga berbeda dengan mereka. Aku tak punya keberanian untuk mengekspresikan apa yang aku rasa. Mama bilang akan sangat memalukan jika seorang lelaki mengetahui kita memiliki perasaan kepadanya. Mungkin mama bilang seperti itu karena aku masih SMP, tapi kata – kata mama itu begitu mempengaruhiku. Aku tak pernah mau mengakui aku menyukai teman lelakiku secara khusus, bahkan kepada teman – teman akrabku, bahkan untuk sekedar mengisi cerita SMP.
Tuhan memberiku, talenta yang luar biasa. Kecerdasanku di atas rata – rata (untuk ini aku mengacu pada nilai – nilai di raport dan keberanian mengungkapkan pendapat di depan publik – hanya pendapat tentang hal lain selain cinta). Kukira kecerdasanku akan membuai hati teman lelakiku, nyatanya tidak. Mereka enggan berteman akrab denganku, aku tak tahu pasti alasannya. Menurutku bukan karena fisik, karena nyatanya teman – teman yang tak lebih cantik dariku pun punya pacar. Dan aku sempat mendengar satu pernyataan alasan dari mengapa itu. Simple !! Aku terlalu pandai untuk berteman akrab dengan mereka, mereka minder dengan kecerdasanku. Aku melongo, aku cerdas alami, aku bukan kutu buku yang menghabiskan banyak buku untuk belajar, bahkan aku sangat malas belajar dan sempat “santai” saat nilai – nilaiku jatuh karena aku sama sekali tak memperdulikan pelajaran. Dan hal itu tak membantuku, mereka tetap melihatku sebagai sosok cerdas yang menakutkan. Mungkin yang salah teman – teman lelakiku, mereka takut dilihat kalah cerdas dengan perempuan. Ego laki – laki, aku harus mengakuinya,..
Kecerdasanku tak pernah ditakuti oleh teman – teman perempuanku. Aku masih ingat saat SMP ada satu gank perempuan cantik yang sangat arrogant, mungkin mereka semacam gank popular. Hanya karena aku dekat dengan seorang teman lelaki yang salah satu anggota gank itu sukai, mulailah terror itu menyapaku. Mereka menggunakan keadaan kulitku yang gelap sebagai salah satu materi pemboikotan terhadapku, bahasa politiknya mungkin black campaign. Disini aku mati langkah, aku serba salah. Cerdas salah, tak secantik mereka pun salah. Aku semakin memandang diriku berbeda. Aku semakin jauh dari cerita cinta monyet.
Aku tak pernah tahu jika ada beberapa teman sekolah yang menyukaiku. Mereka tak pernah mengatakan kepadaku. Mereka takut diledek, karena kalah pinter atau malu punya pacar yang kulitnya item sepertiku. Aku menjalani masa sekolahku hanya dengan berteman, berteman dan berteman. Tanpa rasa special yang bisa aku tunjukkan. Bahkan aku pernah mencintai seorang teman lelaki yang menjadi sahabat selama lebih dari separuh hidup kami dan dia tak pernah tahu sampai saat ini. Entah jika dia tahu setelah membaca tulisan ini.
Saat SMA aku merasa “butuh” punya pacar, secara teman – teman masing – masing punya. Bahkan Mita sudah enam kali berganti pacar. Aku mengiyakan seorang lelaki yang menyatakan cintanya padaku. Tanpa aku pernah yakin apakah aku juga menyukainya. Yang penting aku punya teman jalan. Namun hubungan ini juga tak bisa mulus. Usianya yang 4 tahun diatasku membuatnya merasa lebih pintar dariku. Dan aku yang berfikiran kritis tak bisa menerima kenyataan ini. Kata pisah menjadi kata yang sangat aku nantikan. Dengan keberanian yang luar biasa aku mengatakan “kita jalan sendiri – sendiri”, lalu dia menangis dan menanyakan alasanku, kujawab dengan segenap pikiran matang “karena kau ditaktor”, lalu dia memakiku dengan alasan perempuan tak tahu aturan. Aku yang saat itu delapan belas tahun mengerutkan dahi, kau tak mengerti, dia mengatakan aku tak tahu aturan karena aku tak mau mengikuti aturannya yang bagai tali kekang kuda. Meski aku tak menyalahkan keadaanku saat itu tapi aku terlanjur bersahabat dengan dendam, aku tak mau berjalan di belakang seorang laki – laki, aku harus berjalan di sebelahnya, sebagai partner, bukan pembantunya. Dan kalimat itu begitu merasuk dalam kalbuku dan menjadi mantera hariku. Dan aku akan takluk dengan lelaki yang menjadikanku sahabat hidupnya, menggandengku, bukan menyeretku.
Sebagai perempuan yang terus berproses menjadi seorang wanita, aku memiliki criteria kelewat tinggi untuk mengizinkan seseorang menempati tahta dihatiku. Beberapa nama dan cerita mampir dihidupku. Mendengarkan kidung cinta yang menggebu lalu berlalu begitu saja. Tanpa lara hati dan hanya sekedar umpatan.
Dan saatnya tiba, aku jatuh cinta dengan seseorang di usiaku ke dua puluh lima. Terjadi begitu saja, aku jatuh cinta pada sosok dewasa yang sangat bisa menjadikanku sahabat. Setidaknya dia sharing banyak hal kepadaku. Agaknya dia mengagumi kepintaranku. Aku melambung di awang – awang, akhirnya aku mendapatkan lelaki yang tak mempermasalahkan “kelebihan”ku ini. Lelaki ganteng itu meminta seluruh hati dan cintaku. Menjanjikan kehidupan yang apa adanya dan penuh lagu. Aku memberikannya, seluruhnya, sampai aku tak punya untukku sendiri. Aku mengubah beberapa bagian dari sifat dasarku untuk mengimbanginya. Aku tak pernah punya rasa marah saat bersamanya. Bahkan kesabaranku yang luar biasa itu menjadikan keanehanku diantara teman – teman yang mengenalku. Lalu, disuatu malam aku menemukannya dalam kegamangan (dia tak pernah tahu aku ada disana) dia sedang berbicara dengan Mamanya ditelepon, dia berbisik namun aku mendengarnya dengan sangat jelas “Andai dia berkulit putih, aku pasti sudah menikahinya”. Aku terhenyak, dia menginginkan hati, cinta dan otakku, fisik dan wajahku, namun dia tak menginginkan wana kulitku. Aku kembali bertanya – tanya, apakah alasan itu mutlak untuknya meninggalkanku. Dan benar, dia meninggalkanku dengan banyak hal yang tak terselesaikan dan menikah dengan wanita mirip denganku, hanya saja berkulit putih. Aku sedih, aku terluka bahkan nyaris tak mau lagi meneruskan hidup,..
Aku kembali berjalan dengan sisa cinta, percaya dan harapan. Aku tak yakin akan ada cinta indah buatku lagi, aku tak lagi punya percaya kepada lelaki dan aku tak berani berharap apapun dari kisah ini. Lingkungan tampak tak pernah peduli dengan apa yang aku alami. Pasti mereka menuduhku yang bermasalah. Aku bosan, aku lelah, aku muak,..
Aku harus berhasil menjadi seseorang. Agar tak ada lagi yang bisa mencurangiku. Aku memanfaatkan semua talenta yang Tuhan beri untukku berproses lagi. Dan aku berhasil membuktikan pada semua bahwa aku mampu, aku bisa menjadi seseorang yang tidak biasa. Aku yang tidak putih namun memiliki kemampuan luar biasa untuk berkarya. Aku kira inilah saatnya aku menunjukkan siapa diriku. Mungkin dengan semua yang telah terukir, para mantan menyadari kekeliruannya.
Menuju puncak karier, aku jatuh cinta dengan pria sederhana yang mampu menyejukkan rasaku yang sering bergejolak. Seorang pria yang tak pernah mempermasalahkan tubuhku yang semakin gendut, atau gaya pakaianku yang kadang – kadang tak lazim. Seseorang pria yang dapat menerima pribadiku apa adanya. Dan aku sangat bahagia menemukan saat itu. Aku mulai merancang satu kehidupan indah yang akan aku lalui bersamanya. Dia, dengan segenap ketulusan dan kesederhanaannya, menjadikan dia nyaris sempurna sebagai suami, ayah dan sahabat seumur hidupku. Apa yang dia ungkapkan selalu menjadi setetes air dalam bathinku yang bagai berada di padang pasir. Apa lagi yang aku cari. Tanganku tak pernah lepas menggenggam tangannya, merasakan aliran darah yang aku yakini milikku. Namun akhirnya pria itu harus menyerah pada titah ibu yang tak mengizinkan aku menjadi pendamping anaknya. Aku kira cinta kami cukup kuat untuk menerjang semua onak duri, membiarkan diri di ombang ambingkan ombak dan bersabar mendaki gunung. Berdua. Namun ternyata dia memintaku untuk meninggalkannya. Ada “kekhawatiran akan perbedaan status social kami”. Aku kecewa, aku lemas, masih saja ada alasan,..
Dalam kegelisahan dan keputusasaan yang luar biasa. Seorang laki – laki dari tanah seberang menyatakan keinginannya untuk meminangku. Aku mulai gamang, bukan cinta yang aku pikirkan, mungkin sudah saatnya aku berjalan dengan otak lalu hati. Aku memikirkan semua hal yang menjadi lamaran lelaki ini. Tentang konsep hidup berumah tangga dan keberadaanku yang harus mengikutinya ke kotanya. Aku butuh waktu khusus untuk memikirkannya. Dan alasan dia memilihku, karena aku sederhana, smart dan mandiri. Tuhan, lelaki ini yang kuimpikan. Dia yang menggugurkan semua beban ini. Aku menerima lamarannya. Semua baik – baik saja, hingga saat dia datang ke kotaku dan akan melamarku. Namun dia memutuskanku tanpa alasan tepat dihari pertunangan kami. Aku semakin tak mengerti ketika dia menikahi seorang gadis belia yang manja dan tak pernah kulihat ”smart” dalam dirinya. Aku tersia – sia,..
Kadang aku merasa, mungkin menjadi wanita biasa saja, tidak usah pintar, manja, bodoh namun cantik dan berkulit putih akan jauh lebih beruntung dariku,….
cerita tahun lalu,.....
Jumat, 28 Januari 2011
selamat datang cinta
Kau datang membawa segala rasa dan kata yang kau pikir itu cinta
Kau juga membawa segala janji dan mimpi yang kau kira itu cinta
Kisah indah kita bagai dewa dewi tak perlu alasan tuk saling cinta
Tawa canda
Sakit hati
Hati rindu
Airmata
Semuanya tak pada kita ketika cinta ada
Makianku
Cemburumu
Ocehanku
Amarahmu
Nikmati dan katakan selamat datang cinta
selamat datang cinta - Aryo Wahab - Sita (untuk lagu Manten - Sujiwo Tedjo)
Kau juga membawa segala janji dan mimpi yang kau kira itu cinta
Kisah indah kita bagai dewa dewi tak perlu alasan tuk saling cinta
Tawa canda
Sakit hati
Hati rindu
Airmata
Semuanya tak pada kita ketika cinta ada
Makianku
Cemburumu
Ocehanku
Amarahmu
Nikmati dan katakan selamat datang cinta
selamat datang cinta - Aryo Wahab - Sita (untuk lagu Manten - Sujiwo Tedjo)
Rabu, 26 Januari 2011
ungu
selalu saja terjadi,..
seperti ini,.
rasa yang sama,.
lagu yang tak jauh berbeda,..
aku enggan bertanya,.
serak, sakit dan berdarah,.
salahku,.
semua salahku,..
meski aku tak pernah tahu,..
seperti ini,.
rasa yang sama,.
lagu yang tak jauh berbeda,..
aku enggan bertanya,.
serak, sakit dan berdarah,.
salahku,.
semua salahku,..
meski aku tak pernah tahu,..
Langganan:
Postingan (Atom)