Sunset at Parangtritis Beach
Jam setengah lima aku melewati kampus ISI, sempat berhenti sebentar untuk beli FG Trouches (aduh nyebut merk yaa,.. nggak pa pa ya, tenggorokan ga enak banget nih ), lalu semi ngebut menuju Parangtritis. Sore yang indah sebenarnya, tidak banyak motor atau mobil di jalan. Hanya saja jalannya yang termasuk kategori sempit dan belum terlalu familiar denganku jadi aku nggak bisa ngebut abis hehehe. Dalam hati berdo’a semoga kami tak tertinggal sunset (aku rasa, Ayu yang sangat ingin menikmati sunset di pantai saat itu hehehe ngaku aja Yu’ heehehe). Obrolan berkembang ditingkahi dengan tawa. Bahkan aku tak ingat Ayu adalah teman baru di antara aku, Dhanny dan Wawan.
Kami sampai di Pantai kurang lebih jam enam. Pantai sudah agak gelap. Tapi kami – Ayu dan aku – masih berkesempatan untuk menikmati warna jingga yang sangat indah, suatu keadaan yang aku sebut “Senja Secantik Jingga” (salah satu judul cerpenku, baca yaa), tapi tenyata keindahan itu biasa disebut Aurora (Ade lho yang kasih tahu ). Maturnuwun ya Allah. Hanya dalam hitungan detik kemudian langit menjadi gelap. Kami terdiam dengan perasaan kami. Menikmati semilir angin. Menikmati alunan ombak yang mengucapkan selamat datang pada kami. Air belum pasang. Masih tampak jauh dari tempat kami berdiri. Aku dan Ayu’ mencoba menghampiri air dan seperti ingin menyambut kami, ombak bergulung mendekati kami, kami berlari menghindari ombak dan basah karena kami ingat semua baju telah kami turunkan di kamar hotel. Kami tertawa lepas.
Pembicaraan beralih dengan rencana makan malam kami. Aku menginginkan makan penyet – penyetan. Wawan dan Dhanny tak merespon (aku yakin mereka pasti bosan dengan menu ini, karena warung ini ada disetiap jengkal Yogya). Aku bersikeras ingin makan telor penyet. Ayu’ nurut aja kayaknya. Dhanny mengacak – acak rambutku. Wawan berfikir keras mencari alternatif tempat makan yang nggak kalah asyiknya.
“Kalian udah pernah makan nasi bakar?” Suara Wawan terdengar samar diantara ombak.
Aku diam. Ayu bilang sudah. Dhanny no comment (pasti dia bingung nasi bakar yang kayak gimana hihihi).
“Enak, kayak penyet – penyetan gitu tapi nasinya dibungkus daun pisang, trus dibakar, atasnya dikasih daun kemangi” Wawan masih semangat berpromosi masi bakar.
“Di mana” tanyaku kurang bersemangat.
“Wirobrajan”
“Wirobrajan?” Aku mencoba mengingat – ingat “kemungkinan” daerah yang Wawan sebutkan.
“Iya deket Dongkelan kok”
Kalo Dongkelan sih aku apal, khatam..
“Ayo”
Dan kami meluncur meninggalkan pantai. Meninggalkan senja secantik jingga, merasakan pasir yang terbawa menempel pada kaki – kaki telanjang kami. Menyimpan harapan yang sempat terlintas di benak kami dan menitipkan keluh untuk terhanyut bersama ombak.
Ps. Untukku, Parangtritis adalah magnet tepat untuk mengobarkan cinta di hatiku untuk seseorang yang Ayu’ pasti tahu. Dan untuk Ayu’, Parangtritis mungkin tempat untuk menitipkan sebuah harapan yang akan terbit seperti matahari esok pagi. Hyaaaaa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar