Meeting setengah jam lagi, namun aku masih saja berada di coffee shop bandara, menunggu driver kantor yang tak juga datang. Aku menghela nafas panjang. Ini pertama kalinya aku datang lagi ke kota ini setelah kejadian sepuluh tahun yang lalu. Kota ini menyimpan kenangan akan sosok yang sama sekali tak bisa aku lupakan, bahkan sepuluh tahun terakhir. Aku mengingat sepuluh tahun yang lalu. Aku melewati bandara ini untuk bertemu dengannya, melihatnya keluar dari coffee shop yang sama untuk menemuiku. Aku masih mengingat senyum manisnya mengembang, dan bau parfum khas nya yang ikut menyambut kedatanganku. Sosok yang benar – benar tak bisa tergantikan.
Seorang anak lelaki menatapku, dia duduk di sofa seberang, sendirian, menikmati es krim tanpa mengalihkan pandangannya, aku mencoba tersenyum, dia balas senyumanku. Aku seperti sangat mengenal senyumannya. Namun tak ada orang yang aku kenal di kota itu kecuali Senja, mantan kekasih yang tak pernah aku tahu kabarnya. Namun anak itu juga tak memiliki senyum Senja.
Senja,.. aku kembali mengingat sosok itu, lembut dan menyebar sejuk. Aku mengenalnya di sebuah galeri lukisan di Bali dan dia adalah salah satu pelukis yang karyanya ada di sana. Lalu kami bertukar nomor telepon dan melanjutkan asmara terbentang jarak. Namun benar aku tak pernah merasa Senja jauh dari kotaku. Setiap pagi Senja menyapaku lewat SMS, singkat saja, namun mengisyaratkan bahwa cintanya masih milikku, dan aku membawanya sebagai semangat hingga sore tiba dan dia bercerita tentang lukisannya yang mulai bercerita tentangku, hingga menjelang larut.
Lelaki kecil itu masih menatapku, sinar matanya menyorotkan kerinduan yang tak bertuan. Aku mengurungkan niatku untuk merokok, setidaknya aku tak mau menjadi contoh buruk bagi pemilik mata teduh itu. Hey,.. Aku mengingat mata teduh itu, sama seperti milik Senja, hanya saja mata teduh itu masih sangat bening, sedang milik Senja sering tertutup kacamata minusnya.
Kisah asmaraku dan Senja bagai kisah asmara di novel sastra. Penuh ungkapan cinta dan kerinduan. Yang terucap runtut dan bermakna. Ini kesan menyenangkan mengingat darah Senja kental warna seni. Tak sering bertemu, namun intens berkirim kabar dan berbicara seolah kami ada ditempat yang sama. Senja mengajariku untuk bersabar menjalani kerinduan hingga tiba waktu yang tepat. Aku belajar tentang cinta yang tidak biasa. Satu lukisan, Senja kirimkan kepadaku, lukisan seorang wanita yang seolah menunggu sesuatu di pantai, ketika aku tanya siapa inspirasi lukisan itu, Senja bilang, wanita itu adalah dirinya dan laut adalah harapannya. Selalu penuh simbol dan seni, aku mengingat Senja.
Perlahan si lelaki kecil turun dari tempat duduknya, berjalan ke arahku. Benar,. Dia berjalan ke arahku. Masih tersenyum dan mendekatiku.
”Boleh saya duduk di sini?”
Aku mengangguk, memperhatikan lelaki kecil itu meletakkan es krim nya dengan sopan di mejaku dan duduk tepat di depanku.
“Nama saya Akar, umur saya sembilan tahun,. Lebih..”
Aku kembali mengangguk, dia memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangannya. Bahkan dia telah asyik menikmati es krim cokelatnya. Aku mulai merasakan getaran aneh akan diri Akar. Ku harap dia anak biasa, bukan anak indigo yang akan meramal nasib burukku. Namanya yang tidak biasa seperti menyimpan suatu misteri yang sangat ingin aku ketahui.
”Saya hanya punya Mama, saya nggak pernah punya Ayah, kata Mama, Ayah saya tinggal di Pulau Biru, Om tahu dimana Pulau Biru?”
Lagi – lagi aku mengangguk. Akar menyebutkan kotaku sebagai kota Ayahnya. Dia tampak senang dengan arti anggukanku. Mungkin dibenaknya muncul tentang sosok ayahnya, dan aku sebagai orang yang tahu dimana pasti dimana kota itu berada.
”Kata Mama, Ayah nggak bisa bersama kami, karena Ayah telah memilih jalan lain untuk hidupnya”
Aku mengangguk – angguk. Bocah usia sepuluh tahun dipaksa untuk mengerti mengapa orang tuanya tak bisa bersatu. Aku ingin tahu, orang tua macam apa yang tega membuat mata teduh ini muram. Dadaku sesak, seolah merasakan duka yang harus ditanggung lelaki kecil yang belum juga melawati sepuluh tahun pertamanya.
”Suatu saat saya akan ke Pulau Biru Om,. Saya ingin ketemu Ayah”
Tiba – tiba saja dadaku bergetar hebat. Inilah sorot kerinduan yang dari tadi aku rasakan. Akar rindu bertemu ayahnya.
“Saya hanya ingin bilang sama Ayah. Mama dan saya Sangat mencintai Ayah”
Aku tertegun, lidahku kelu, aku tak mampu berfikir. Hanya kerinduan yang membara yang aku rasa, kerinduan yang tak pasti kapan dapat terobati. Aku ingin membantu Akar untuk bertemu dengan ayahnya. Andai saja Akar tahu alamat sang ayah,..
“Akar tahu nama Ayah Akar?” Inilah kalimat pertamaku untuk Akar.
Akar terdiam, tertunduk, menjauhkan cup es krim dari tangannya, lalu kedua tangan mungil menutup wajahnya. Akar mulai terisak. Aku tertegun. Kerinduan ini membuatnya terisak.
”Akar, nama Ayahnya Akar”
Aku tersentak, suara lembut itu tiba – tiba terdengar. Seperti suara yang pernah sangat dekat dan kugilai. Aku menengadahkan wajahku, mencari asal suara. Aku tertegun, wajah itu tertutup sebagian rambut, namun aku masih sangat mengenali. Wanita itu membungkuk dan tangannya membelai Akar dengan lembut lalu membisikkan sesuatu ditelinga lelaki kecil yang baru aku kenal. Lelaki kecil itu membuka tangannya dan membiarkan air mata yang mengalir tampak di wajahnya. Tanpa ada kata lagi, dia turun dari tempat duduknya, mendekatiku dan meraih tanganku, mencium tangan kananku dan berbisik
”Akar dan Mama mencintai Ayah”
Aku masih tertegun ketika tubuh mungil itu berbalik dan menggandeng tangan wanita cantik itu lalu pergi menjauhiku.
”Senja,..” Aku memanggil dengan suara serakku.
Ibu dan anak itu terus melangkah, seolah tak pernah terjadi apapun sebelumya, sama seperti yang kulakukan sepuluh tahun lalu pada Senja. Samar aku melihat Akar menoleh ke arahku, dia tersenyum, aku tersadar senyum itu sama dengan senyumku.
Semarang, 16 Mei 2010, 01.00 WIB
berbagi,... mungkin sekedar berbagi hening, namun mampu memberi arti, sekedar berterima kasih pada kehidupan,.. sangat bersyukur saat sebuah kegelisahan & luapan ide gila yang entah kemana bermuara dan rangkaian kata menemukan rumahnya,...
Jumat, 10 Desember 2010
Selasa, 30 November 2010
Nanas Strawberry # 2
Pelangi baru saja pergi, ada nuansa berbeda di dada
Aku menenggelamkan tubuhku di sofa super empuk di ruang tengah rumah Keenan. Aku hanya terdiam di sini, dan Keenan membuat roti bakar di dapur. Aku bilang pada Keenan, aku enggan di dapur, lalu kata Keenan, aku berbaring disini sajalah, dan aku dengan senang hati menikmati kemanjaan yang Keenan buat, bersama sofa coklat yang hangat. TV 29” menyala, tapi tidak bersuara. Keenan meletakkan piring kecil berisi roti bakar dipangkuanku. Rasa Nanas.
”Hujan, deras, lalu reda, langit bersih, kadang ada pelangi”
Keenan mengulang kalimatku tentang hujan. Tunggu,. Sepertinya aku tak pernah mengatakan ”langit bersih” dalam teori hujanku.
”Ada filosofi yang indah kurasa”
”Ya,..”
”Ya?”
Keenan mematikan TV, lalu tubuhnya menyamaiku, tenggelam dalam sofa super empuknya, bedanya aku miring ke kiri dan dia menempati sisi sebelah kanan. Aku menerawang, membayangkan hujan, aku tergila – gila pada hujan.
”Kau tahu sebelum hujan pasti langit mendung, lalu gerimis”
Aku hanya bisa mendengar suara Keenan. Aku tak bersuara.
”Gerimis, lalu hujan, makin deras, deras sampai seperti air seember jatuh begitu saja tanpa pipa, seperti kesedihan,..”
”Haaa, kesedihan?”
Aku menegakkan tubuhku, namun posisi Keenan masih sama, menguasai sisi kanan dan tak melihatku.
”Aku tak pernah mengatakan langit bersih setelah hujan”
Keenan bergerak, meminum kopinya yang tak lagi panas, namun masih hangat kurasa, aku melirik, ada roti bakar di sampingnya, pasti rasa strawberry.
”Dee,..”
”Yaa,..”
Aku kembali pada posisi malas yang menyenangkan. Tanpa menatap ke arahnya, karena Keenan juga memandang ke arah lain.
”Mengapa ritual hujan itu sama dengan kesedihan?”
”Kau yang mengatakannya, Filsuf,..”
Keenan terkekeh, tapi cuma sebentar, lalu hening,...
”kurasa urutan kesedihanmu sama dengan urutan kedatangan hujan yang kau puja itu”
” Seperti gerimis sebelum hujan?”
Aku menegakkan tubuhku. Menjadi sikap sempurna untuk mendapat wejangan tingkat tinggi dari seorang Keenan.
” Apakah kau tak menyadari setelah hujan turun dengan deras pasti langit menjadi sangat bersih?”
” Gerimis? ”
” Apa? ”
” Gerimis ”
” Hm,.. ”
” Kenaaaaaaan,....”
Tawa Keenan bergema, aku mulai menikmati teka teki ini,..
” Tunggu !” Kataku tiba – tiba
Keenan terdiam. Aku memakan potongan roti bakar yang Keenan buat buatku. Rasa nanas. Sedetik kemudian,...
” Hm,... enak sekali,....” aku memonyongkan bibirku tanda kelezatan yang baru aku rasa.
Keenan tergelak. Sesaat aku tak percaya, baru saja ruangan ini diselimuti keheningan.
” Gerimis itu,..”
Aku menikmati selai nanas disela roti bakar yang masih terasa hangat. Tentang gerimis ini,.. Menanti Keenan meneruskan filosofi hujannya,....
Aku menenggelamkan tubuhku di sofa super empuk di ruang tengah rumah Keenan. Aku hanya terdiam di sini, dan Keenan membuat roti bakar di dapur. Aku bilang pada Keenan, aku enggan di dapur, lalu kata Keenan, aku berbaring disini sajalah, dan aku dengan senang hati menikmati kemanjaan yang Keenan buat, bersama sofa coklat yang hangat. TV 29” menyala, tapi tidak bersuara. Keenan meletakkan piring kecil berisi roti bakar dipangkuanku. Rasa Nanas.
”Hujan, deras, lalu reda, langit bersih, kadang ada pelangi”
Keenan mengulang kalimatku tentang hujan. Tunggu,. Sepertinya aku tak pernah mengatakan ”langit bersih” dalam teori hujanku.
”Ada filosofi yang indah kurasa”
”Ya,..”
”Ya?”
Keenan mematikan TV, lalu tubuhnya menyamaiku, tenggelam dalam sofa super empuknya, bedanya aku miring ke kiri dan dia menempati sisi sebelah kanan. Aku menerawang, membayangkan hujan, aku tergila – gila pada hujan.
”Kau tahu sebelum hujan pasti langit mendung, lalu gerimis”
Aku hanya bisa mendengar suara Keenan. Aku tak bersuara.
”Gerimis, lalu hujan, makin deras, deras sampai seperti air seember jatuh begitu saja tanpa pipa, seperti kesedihan,..”
”Haaa, kesedihan?”
Aku menegakkan tubuhku, namun posisi Keenan masih sama, menguasai sisi kanan dan tak melihatku.
”Aku tak pernah mengatakan langit bersih setelah hujan”
Keenan bergerak, meminum kopinya yang tak lagi panas, namun masih hangat kurasa, aku melirik, ada roti bakar di sampingnya, pasti rasa strawberry.
”Dee,..”
”Yaa,..”
Aku kembali pada posisi malas yang menyenangkan. Tanpa menatap ke arahnya, karena Keenan juga memandang ke arah lain.
”Mengapa ritual hujan itu sama dengan kesedihan?”
”Kau yang mengatakannya, Filsuf,..”
Keenan terkekeh, tapi cuma sebentar, lalu hening,...
”kurasa urutan kesedihanmu sama dengan urutan kedatangan hujan yang kau puja itu”
” Seperti gerimis sebelum hujan?”
Aku menegakkan tubuhku. Menjadi sikap sempurna untuk mendapat wejangan tingkat tinggi dari seorang Keenan.
” Apakah kau tak menyadari setelah hujan turun dengan deras pasti langit menjadi sangat bersih?”
” Gerimis? ”
” Apa? ”
” Gerimis ”
” Hm,.. ”
” Kenaaaaaaan,....”
Tawa Keenan bergema, aku mulai menikmati teka teki ini,..
” Tunggu !” Kataku tiba – tiba
Keenan terdiam. Aku memakan potongan roti bakar yang Keenan buat buatku. Rasa nanas. Sedetik kemudian,...
” Hm,... enak sekali,....” aku memonyongkan bibirku tanda kelezatan yang baru aku rasa.
Keenan tergelak. Sesaat aku tak percaya, baru saja ruangan ini diselimuti keheningan.
” Gerimis itu,..”
Aku menikmati selai nanas disela roti bakar yang masih terasa hangat. Tentang gerimis ini,.. Menanti Keenan meneruskan filosofi hujannya,....
Nanas Strawberry
# 1
catatan untuk pemilik hati yang tulus
Sore, hujan baru saja pergi, sekarang pelangi mulai menari.
”Kenapa lagi Dee?”
”Nggak apa – apa Key”
Aku duduk di kursi taman halaman rumah Keenan. Agak basah, namun dari tempat ini aku bisa melihat pelangi dengan jelas. Warna pelangi berpadu indah dalam media langit bersih. Jelas aku memuja keadaan ini. Aku melepas kacamataku, dunia ini terasa sangat jelas tanpa kacamata. Aku menikmati kesejukan yang tercipta. Setelah hujan deras yang membuat semua basah tanpa kecuali, langit akan cerah seperti mobil selesai dicuci, lalu pelangi akan muncul dengan indahnya. Aku mengira – ira, dari sungai mana para bidadari selesai mandi, atau lebih tepatnya selesai berhujan – hujan.
Keenan duduk di sebelahku, tangan kanannya menyorongkan mug berisi cokelat hangat untukku, dan dia membawa mug berisi kopi panas di tangan kirinya.
“Menikmati pelangi lagi?”
Aku menyeruput cokelat hangat tanpa pemanis. Segar,. Sesegar halaman rumah Keenan. Ini kali ketiga aku melakukan ritual ini. Terdiam di bangku taman rumah Keenan selepas hujan deras dan menantikan pelangi. Namun baru kali ini Keenan ikut menemaniku. Aku tak menjawab pertanyaan Keenan.
”Kau tahu. Setiap hujan datang, deras, lalu berhenti, kadang muncul pelangi” Aku menggumamkan kalimat yang selalu ingin kusampaikan pada hujan. Aku berharap ada yang bisa menjawab misteri tentang hujan.
Gantian Keenan meminum kopi panasnya setelah meniupnya. Lalu aku mendengar suara Keenan yang teduh.
”Kau tahu, mengapa langit begitu bersih setelah hujan deras?”
Aku menggeleng, mataku terus menatap pelangi, aku tahu, kehadiran pelangi tak akan lama, dan aku tak ingin kehilangan moment ini.
”Lalu muncul pelangi?”
Tanganku membuat isyarat pada Keenan untuk diam sejenak. Pelangi itu mulai memudar. Warnanya lembut dan menenangkan, sepertinya tujuh warna itu berkolaborasi sempurna dan menghasilkan harmoni yang indah. Dadaku bergetar.
”Pelangi sudah pergi” Bisik Keenan tepat ditelingaku. Aku mengangguk.
catatan untuk pemilik hati yang tulus
Sore, hujan baru saja pergi, sekarang pelangi mulai menari.
”Kenapa lagi Dee?”
”Nggak apa – apa Key”
Aku duduk di kursi taman halaman rumah Keenan. Agak basah, namun dari tempat ini aku bisa melihat pelangi dengan jelas. Warna pelangi berpadu indah dalam media langit bersih. Jelas aku memuja keadaan ini. Aku melepas kacamataku, dunia ini terasa sangat jelas tanpa kacamata. Aku menikmati kesejukan yang tercipta. Setelah hujan deras yang membuat semua basah tanpa kecuali, langit akan cerah seperti mobil selesai dicuci, lalu pelangi akan muncul dengan indahnya. Aku mengira – ira, dari sungai mana para bidadari selesai mandi, atau lebih tepatnya selesai berhujan – hujan.
Keenan duduk di sebelahku, tangan kanannya menyorongkan mug berisi cokelat hangat untukku, dan dia membawa mug berisi kopi panas di tangan kirinya.
“Menikmati pelangi lagi?”
Aku menyeruput cokelat hangat tanpa pemanis. Segar,. Sesegar halaman rumah Keenan. Ini kali ketiga aku melakukan ritual ini. Terdiam di bangku taman rumah Keenan selepas hujan deras dan menantikan pelangi. Namun baru kali ini Keenan ikut menemaniku. Aku tak menjawab pertanyaan Keenan.
”Kau tahu. Setiap hujan datang, deras, lalu berhenti, kadang muncul pelangi” Aku menggumamkan kalimat yang selalu ingin kusampaikan pada hujan. Aku berharap ada yang bisa menjawab misteri tentang hujan.
Gantian Keenan meminum kopi panasnya setelah meniupnya. Lalu aku mendengar suara Keenan yang teduh.
”Kau tahu, mengapa langit begitu bersih setelah hujan deras?”
Aku menggeleng, mataku terus menatap pelangi, aku tahu, kehadiran pelangi tak akan lama, dan aku tak ingin kehilangan moment ini.
”Lalu muncul pelangi?”
Tanganku membuat isyarat pada Keenan untuk diam sejenak. Pelangi itu mulai memudar. Warnanya lembut dan menenangkan, sepertinya tujuh warna itu berkolaborasi sempurna dan menghasilkan harmoni yang indah. Dadaku bergetar.
”Pelangi sudah pergi” Bisik Keenan tepat ditelingaku. Aku mengangguk.
Sabtu, 13 November 2010
kisah baru,..
dia datang,..
aku merasakan nafasku tertahan
seperti ini rupanya ketika dia menjelma,..
dia masih hanya menyapa,.
dia belum berbicara,.
dia belum melakukan apa - apa,..
aku tahu, dia telah datang
hanya dengan sederhana,.
tanpa penantian panjang,.
nafasku belum juga menjadi normal
aku melupakan segala tradisi untuk menyambutnya
sekedar senyum dan bahagia
tertegunku menjadi luar biasa
aku yakin dia telah datang
karena aku telah ada dalam peluknya,..
semarang, 13 november 2010
dear ame,.. selamat datang,...
aku merasakan nafasku tertahan
seperti ini rupanya ketika dia menjelma,..
dia masih hanya menyapa,.
dia belum berbicara,.
dia belum melakukan apa - apa,..
aku tahu, dia telah datang
hanya dengan sederhana,.
tanpa penantian panjang,.
nafasku belum juga menjadi normal
aku melupakan segala tradisi untuk menyambutnya
sekedar senyum dan bahagia
tertegunku menjadi luar biasa
aku yakin dia telah datang
karena aku telah ada dalam peluknya,..
semarang, 13 november 2010
dear ame,.. selamat datang,...
Selasa, 02 November 2010
cinta buat kekasihku,..
Kekasihku,..
Apa kau pernah membayangkan cinta yang datang tanpa pernah kau prediksi sebelumnya? Cinta yang datang bersama desir angin yang sangat sejuk di tengah panas yang pongah menggarang? Cinta yang datang lewat gemuruh hati yang tak menentu dan membuncah dalam ketidakpercayaan? Cinta yang mengalir deras menyusup aliran darah dan menjadikan kekuatan baru dalam diri yang melemah? Cinta yang tak pernah terlintas dan menjadi sekedar mimpi semu? Cinta yang mungkin menjadi tak mungkin di tengah dera kesakitan yang mengoyak bathin? Dan cinta itu yang ingin aku sampaikan, kepadamu kekasihku, lewat tatapan mata yang selalu aku rindukan, lewat suara yang selalu menguatkanku, lewat airmata yang mengalir ketika menyadari cintamu untukku, lewat semua laku yang menahan egoku untuk memelukmu.
Aku hanya ingin cinta yang sederhana, Kekasihku,.. Cinta yang dimiliki orang tua kita. Cinta yang mengajarkan kita pada arti berbagi dengan tulus. Cinta yang ingin aku dapatkan darimu. Cinta yang mungkin sangat mustahil masih ada di dunia ini. Cinta yang benar – benar karena cinta. Terlalu luas jika aku menginginkan cinta yang sempurna, terlalu naif jika aku menginginkan cinta yang hanya berbalut tawa dan tanpa jiwa, aku ingin kita menyatu di dalam kasih yang suci, aku hanya ingin melewati proses cinta itu bersamamu, sepanjang hidupku...
to ame,.. thanks for your support,...
semarang, awal november 2010
Apa kau pernah membayangkan cinta yang datang tanpa pernah kau prediksi sebelumnya? Cinta yang datang bersama desir angin yang sangat sejuk di tengah panas yang pongah menggarang? Cinta yang datang lewat gemuruh hati yang tak menentu dan membuncah dalam ketidakpercayaan? Cinta yang mengalir deras menyusup aliran darah dan menjadikan kekuatan baru dalam diri yang melemah? Cinta yang tak pernah terlintas dan menjadi sekedar mimpi semu? Cinta yang mungkin menjadi tak mungkin di tengah dera kesakitan yang mengoyak bathin? Dan cinta itu yang ingin aku sampaikan, kepadamu kekasihku, lewat tatapan mata yang selalu aku rindukan, lewat suara yang selalu menguatkanku, lewat airmata yang mengalir ketika menyadari cintamu untukku, lewat semua laku yang menahan egoku untuk memelukmu.
Aku hanya ingin cinta yang sederhana, Kekasihku,.. Cinta yang dimiliki orang tua kita. Cinta yang mengajarkan kita pada arti berbagi dengan tulus. Cinta yang ingin aku dapatkan darimu. Cinta yang mungkin sangat mustahil masih ada di dunia ini. Cinta yang benar – benar karena cinta. Terlalu luas jika aku menginginkan cinta yang sempurna, terlalu naif jika aku menginginkan cinta yang hanya berbalut tawa dan tanpa jiwa, aku ingin kita menyatu di dalam kasih yang suci, aku hanya ingin melewati proses cinta itu bersamamu, sepanjang hidupku...
to ame,.. thanks for your support,...
semarang, awal november 2010
Senin, 25 Oktober 2010
Oktober (sumpah yang ini beda,....)
pada akhirnya aku harus menyerahkan segenap kesombongan dan kegelisahan kepada Oktober,. sungguh aku tak bermaksud membuat bulan ke sepuluh ini terluka dengan tindakan anarkis dan teori palsuku.
Oktober yang ku gadang - gadang sebagai pembuat onar kehidupanku mulai muncul sebagai sosok malaikat baik yang membuka paksa mataku tentang kehebatan Tuhan.
dan Oktober menjadi berwarna pink dan ungu,. Oktober muncul bagai rumah barbie,. mewangi, penuh bunga,.. Oktober menjadi sangat sejuk,..
terima kasih Oktober,. apa jadinya jika kau membalas kemarahanku,...
semarang, 25 Oktober 2010, 21.22 WIB
a gift for so my lovely's birthday,..
ga apa ya kadonya telat hehehehe
Oktober yang ku gadang - gadang sebagai pembuat onar kehidupanku mulai muncul sebagai sosok malaikat baik yang membuka paksa mataku tentang kehebatan Tuhan.
dan Oktober menjadi berwarna pink dan ungu,. Oktober muncul bagai rumah barbie,. mewangi, penuh bunga,.. Oktober menjadi sangat sejuk,..
terima kasih Oktober,. apa jadinya jika kau membalas kemarahanku,...
semarang, 25 Oktober 2010, 21.22 WIB
a gift for so my lovely's birthday,..
ga apa ya kadonya telat hehehehe
Jumat, 22 Oktober 2010
hitam, putih, bukan abu - abu
bilang hitam kalau hitam
bilang putih kalau putih
aku tak suka kau bilang abu - abu
seolah kau ingin bermanja zona aman
seolah warna yang kau pilih bukan milikmu
hanya hitam
hanya putih
atau silahkan meninggalkan ruang ini,..
semarang, 21 Oktober 2010
bilang putih kalau putih
aku tak suka kau bilang abu - abu
seolah kau ingin bermanja zona aman
seolah warna yang kau pilih bukan milikmu
hanya hitam
hanya putih
atau silahkan meninggalkan ruang ini,..
semarang, 21 Oktober 2010
Jumat, 15 Oktober 2010
7 Hati
Matahari bersiap pergi ketika dua gadis kecil itu sibuk berceloteh tentang mimpi,..
"Aku ingin memiliki tujuh hati,.."
Namira, gadis berambut jagung itu terperangah, mata indahnya mengerjap, akalnya tak mampu mencerna impian sahabatnya,..
"tu juh" Namira menyorongkan jari - jarinya yang terhitung tujuh pada Neyna. Gadis manis yang bercita - cita menjadi penyair itu tak mempedulikan jari - jari Namira yang lincah begoyang - goyang,..
Mata Neyna menerawang melintasi sungai keruh di depannya. Tentang tujuh hati yang diinginkannya.
"Neyn,... Tujuh hati,.." suara Namira bercekat.
Neyna mengangguk - angguk. Benak Namira menggambarkan tujuh hati yang akan dimiliki Neyna dan di pajangnya dalam kotak kaca di kamar rahasianya.
"Tapi,.. Tujuh,..." Namira mencoba berbisik,..
Neyna masih mengangguk - angguk,...
semarang, 15 Oktober 2010. 17.22 WIB
"Aku ingin memiliki tujuh hati,.."
Namira, gadis berambut jagung itu terperangah, mata indahnya mengerjap, akalnya tak mampu mencerna impian sahabatnya,..
"tu juh" Namira menyorongkan jari - jarinya yang terhitung tujuh pada Neyna. Gadis manis yang bercita - cita menjadi penyair itu tak mempedulikan jari - jari Namira yang lincah begoyang - goyang,..
Mata Neyna menerawang melintasi sungai keruh di depannya. Tentang tujuh hati yang diinginkannya.
"Neyn,... Tujuh hati,.." suara Namira bercekat.
Neyna mengangguk - angguk. Benak Namira menggambarkan tujuh hati yang akan dimiliki Neyna dan di pajangnya dalam kotak kaca di kamar rahasianya.
"Tapi,.. Tujuh,..." Namira mencoba berbisik,..
Neyna masih mengangguk - angguk,...
semarang, 15 Oktober 2010. 17.22 WIB
Rabu, 13 Oktober 2010
Akhirnya Oktober,..
Akhirnya,...
Aku melewati 12 Oktober ini,.
mengenang pilu,..
membuang ratap,..
Aku melewati 12 Oktober ini,..
Akhirnya,....
Semarang, 13 Oktober 2010, 17:45 WIB
Aku melewati 12 Oktober ini,.
mengenang pilu,..
membuang ratap,..
Aku melewati 12 Oktober ini,..
Akhirnya,....
Semarang, 13 Oktober 2010, 17:45 WIB
Rabu, 06 Oktober 2010
Oktober Lagi,...
membatu,...
membeku,...
membiru,..
hitam,..
legam,..
kelam,..
dendam tersimpan rapi
pedih setia temani
marah bertahta bergeming
tangis,..
jerit,..
sesal,..
aku tak akan lagi membencimu Oktober
aku janji,....
membeku,...
membiru,..
hitam,..
legam,..
kelam,..
dendam tersimpan rapi
pedih setia temani
marah bertahta bergeming
tangis,..
jerit,..
sesal,..
aku tak akan lagi membencimu Oktober
aku janji,....
Oktober 2
sekarang,...
detik ini,..
aku menjadi penakut, tanpa alasan, seperti takut pada naga yang sama sekali tak pernah ada
aku menjadi bodoh, seolah otakku kompak berhenti berfikir dan memutuskan untuk tenggelam di lautan lepas yang entah seberapa dalam
aku menjadi dingin, seolah Oktober di Indonesia bersalju dan membeku,...
sekarang hatiku mengeras, bagai gunung batu yang angguh dan terjal,..
sungguh, aku menjadi sosok yang tidak aku kenal, hati yang tak pernah ku miliki,.
sekarang,..
detik ini,..
aku ingin melewati Oktober,..
aaah,... aku memenangkan cerita itu,...
sekali lagi maafkan aku Oktober,...
Semarang, 6 Oktober 2010
detik ini,..
aku menjadi penakut, tanpa alasan, seperti takut pada naga yang sama sekali tak pernah ada
aku menjadi bodoh, seolah otakku kompak berhenti berfikir dan memutuskan untuk tenggelam di lautan lepas yang entah seberapa dalam
aku menjadi dingin, seolah Oktober di Indonesia bersalju dan membeku,...
sekarang hatiku mengeras, bagai gunung batu yang angguh dan terjal,..
sungguh, aku menjadi sosok yang tidak aku kenal, hati yang tak pernah ku miliki,.
sekarang,..
detik ini,..
aku ingin melewati Oktober,..
aaah,... aku memenangkan cerita itu,...
sekali lagi maafkan aku Oktober,...
Semarang, 6 Oktober 2010
Oktober
waduh,... Kok sekarang bulan Oktober????
Sebagai makhluk yang kata psikolog tergolong dalam manusia melankolis, aku merasa beku jika menyebut kata "OKTOBER". Banyak bulan dalam setahun, tapi entah mengapa, semua peristiwa buruk berlomba - lomba menghias Oktober ku.
sebenarnya tidak ada yang salah dengan Oktober, karena aku masih membutuhkan Oktober di bulan September untuk bertemu dengan bulan November. Tapi peristiwa - peristiwa konyol yang mengganggu dan sialnya membekas itu hadir di bulan Oktober,..
uff,.. maafkan aku Oktober,...
Edyt's room, 5 Oktober 2010, 15:39
Sebagai makhluk yang kata psikolog tergolong dalam manusia melankolis, aku merasa beku jika menyebut kata "OKTOBER". Banyak bulan dalam setahun, tapi entah mengapa, semua peristiwa buruk berlomba - lomba menghias Oktober ku.
sebenarnya tidak ada yang salah dengan Oktober, karena aku masih membutuhkan Oktober di bulan September untuk bertemu dengan bulan November. Tapi peristiwa - peristiwa konyol yang mengganggu dan sialnya membekas itu hadir di bulan Oktober,..
uff,.. maafkan aku Oktober,...
Edyt's room, 5 Oktober 2010, 15:39
Senin, 04 Oktober 2010
SMS di Tengah Meeting Penting
Tiba – tiba sebuah pesan singkat masuk, di tengah meeting yang membutuhkan konsentrasi puncak, masuk begitu saja. Aku terdiam, termenung, tercengang,.
Secepat kilat aku membalas pesan singkatnya “ Sebentar, aku lagi meeting” dan terkirim,. Semudah itu.
Jeda meeting menggodaku untuk membuka lagi SMS darinya, singkat saja “Aku ada dikotamu bersama keluargaku, orang tuaku akan melamarmu,.” Dan aku memilih opsi delete untuk menjawab godanya.
Datar, tak ada riuh di dada, biasa saja,… Setelah tanpa kata selama tiga tahun, kurasa SMS nya tak lagi berarti,…
Sore, tengah meeting di Wedding Gallery, 4 Oktober 2010
Secepat kilat aku membalas pesan singkatnya “ Sebentar, aku lagi meeting” dan terkirim,. Semudah itu.
Jeda meeting menggodaku untuk membuka lagi SMS darinya, singkat saja “Aku ada dikotamu bersama keluargaku, orang tuaku akan melamarmu,.” Dan aku memilih opsi delete untuk menjawab godanya.
Datar, tak ada riuh di dada, biasa saja,… Setelah tanpa kata selama tiga tahun, kurasa SMS nya tak lagi berarti,…
Sore, tengah meeting di Wedding Gallery, 4 Oktober 2010
Kamis, 16 September 2010
Lembayung Ungu
Sore yang tak begitu indah, namun tetap harus tetap kunikmati,..
Bukan aku tak berterima kasih pada Tuhan atas sore ini, namun sore tiba – tiba menjadi tak begitu indah saat aku menatap matanya. Sorot angkuh yang berharap aku mengakui realita yang terjadi. Dia datang dalam kelam sore yang berarak memecah mendung. Dia datang ketika aku tak yakin apakah aku ingin melihat senyumnya. Dan dia datang, tanpa pernah aku persiapkan. Datang,.. begitu saja,.. tidak ada yang special,..
Aku terdiam lagi. Ungu masih menanti jawabku. Lagi – lagi aku terdiam. Hanya diam yang bisa ku lakukan setahun ini, seterusnya aku tak punya keberanian lagi untuk berharap sesuatu yang sederhana untuk hidupku. Bahkan aku tak sanggup untuk berharap matahari akan bersinar dari timur esok pagi. Namun Ungu masih saja mematung di hadapanku dan berlutut untuk menyempurnakan sandiwara yang pernah dia skenariokan.
Diamku mulai menyebar arahnya, awalnya aku tak tahu apa yang harus aku katakan, namun sekarang diamku telah menemukan kuncinya. Aku harus mengatakan pada Ungu isi hatiku. Rasa membuncah yang selalu ada saat mengeja namanya. Tentang malam – malam panjang yang menemaniku berkhayal tentangnya, atau tentang airmata yang mengalir saat mengingat cerita cinta bersamanya, atau tentang kenyataan yang takut ku yakini, atau tentang kerapuhanku hidup tanpa dirinya. Diamku ini benar – benar menyebar arahnya.
Oke, aku akan mengatakan sesuatu yang romantic, seperti,…
“ Ungu, Kekasih hatiku, aku …” kalimat ini menggantung dan aku menggigit lidahku. Kelu, harus aku teruskan,..
Dan Ungu menatapku tajam, sedikit senyum di bibir tipisnya. Tuhan,. Ini sangat tidak romantic, namun mungkin ini hal teromantis antara kami. Dan aku tak juga punya keberanian untuk berharap ini nyata.
“ mencintaimu,..” Done ! aku menyelesaikan apa yang harus aku ucapkan.
Ungu menunduk. Seolah seribu pisau tajam menghujam tubuhnya yang kurus dan kini rapuh. Aku menikmati getar tak biasa yang kini aku rasa. Menikmati kegelisahan Ungu atas sikapku yang mungkin berbeda dengan pikirnya. Bathinku bergejolak, aku sangat menikmati kegalauan yang terpancar jelas dari sikap Ungu.
Ungu bukan sosok asing buatku, sosok yang teramat akrab untukku setahun lalu. Sebelum semua berubah dan memaksaku untuk melupakan wajah dan hatinya. Aku menikmati semua ketidaknyamanan yang terjadi dengannya. Ungu yang dulu garang berubah menjadi kelinci aneh yang menggelikan.
“Lembayung, aku minta maaf atas kepengecutanku, seharusnya kukatakan padamu alasan itu, sepahit apapun”
Aku mendesah lirih, memang seharusnya setahun yang lalu kau mengatakan alasan itu Ungu kekasihku tercinta, sepahit apapun, dengan begitu aku tak perlu membunuh bayi mungilmu, nyawa suci yang membuatku tak pernah mengenakan baju pengantin itu bersamamu. Dan sore ini berubah menjadi semakin kelam,..
Semarang, 2 September 2010, di sebuah sore yang galau
To PL – at least thanks for the MP3
Bukan aku tak berterima kasih pada Tuhan atas sore ini, namun sore tiba – tiba menjadi tak begitu indah saat aku menatap matanya. Sorot angkuh yang berharap aku mengakui realita yang terjadi. Dia datang dalam kelam sore yang berarak memecah mendung. Dia datang ketika aku tak yakin apakah aku ingin melihat senyumnya. Dan dia datang, tanpa pernah aku persiapkan. Datang,.. begitu saja,.. tidak ada yang special,..
Aku terdiam lagi. Ungu masih menanti jawabku. Lagi – lagi aku terdiam. Hanya diam yang bisa ku lakukan setahun ini, seterusnya aku tak punya keberanian lagi untuk berharap sesuatu yang sederhana untuk hidupku. Bahkan aku tak sanggup untuk berharap matahari akan bersinar dari timur esok pagi. Namun Ungu masih saja mematung di hadapanku dan berlutut untuk menyempurnakan sandiwara yang pernah dia skenariokan.
Diamku mulai menyebar arahnya, awalnya aku tak tahu apa yang harus aku katakan, namun sekarang diamku telah menemukan kuncinya. Aku harus mengatakan pada Ungu isi hatiku. Rasa membuncah yang selalu ada saat mengeja namanya. Tentang malam – malam panjang yang menemaniku berkhayal tentangnya, atau tentang airmata yang mengalir saat mengingat cerita cinta bersamanya, atau tentang kenyataan yang takut ku yakini, atau tentang kerapuhanku hidup tanpa dirinya. Diamku ini benar – benar menyebar arahnya.
Oke, aku akan mengatakan sesuatu yang romantic, seperti,…
“ Ungu, Kekasih hatiku, aku …” kalimat ini menggantung dan aku menggigit lidahku. Kelu, harus aku teruskan,..
Dan Ungu menatapku tajam, sedikit senyum di bibir tipisnya. Tuhan,. Ini sangat tidak romantic, namun mungkin ini hal teromantis antara kami. Dan aku tak juga punya keberanian untuk berharap ini nyata.
“ mencintaimu,..” Done ! aku menyelesaikan apa yang harus aku ucapkan.
Ungu menunduk. Seolah seribu pisau tajam menghujam tubuhnya yang kurus dan kini rapuh. Aku menikmati getar tak biasa yang kini aku rasa. Menikmati kegelisahan Ungu atas sikapku yang mungkin berbeda dengan pikirnya. Bathinku bergejolak, aku sangat menikmati kegalauan yang terpancar jelas dari sikap Ungu.
Ungu bukan sosok asing buatku, sosok yang teramat akrab untukku setahun lalu. Sebelum semua berubah dan memaksaku untuk melupakan wajah dan hatinya. Aku menikmati semua ketidaknyamanan yang terjadi dengannya. Ungu yang dulu garang berubah menjadi kelinci aneh yang menggelikan.
“Lembayung, aku minta maaf atas kepengecutanku, seharusnya kukatakan padamu alasan itu, sepahit apapun”
Aku mendesah lirih, memang seharusnya setahun yang lalu kau mengatakan alasan itu Ungu kekasihku tercinta, sepahit apapun, dengan begitu aku tak perlu membunuh bayi mungilmu, nyawa suci yang membuatku tak pernah mengenakan baju pengantin itu bersamamu. Dan sore ini berubah menjadi semakin kelam,..
Semarang, 2 September 2010, di sebuah sore yang galau
To PL – at least thanks for the MP3
Rabu, 08 September 2010
Berharap Impas
Aku tak lagi memintamu untuk mengerti, karena sampai kapanpun kau tak akan pernah mengerti.
Jangan paksa aku untuk memahami, karena sampai kapanpun aku tak pernah bisa memahami.
Kau tak akan pernah memahami dan aku tak pernah mengerti.
Luka itu tak bisa ku jelaskan lewat kata, nada ataupun lukisan. Luka itu hanya menjadi rasa yang aku tahu, bukan kamu,..
Biar, seperti ini saja,.
Aku tak mampu memaksamu untuk berpura - pura merasakan, tapi izinkan aku menikmati luka ini,...
semarang, 8 September 2010 - hari ini ulang tahun siapa ya,...-
Jangan paksa aku untuk memahami, karena sampai kapanpun aku tak pernah bisa memahami.
Kau tak akan pernah memahami dan aku tak pernah mengerti.
Luka itu tak bisa ku jelaskan lewat kata, nada ataupun lukisan. Luka itu hanya menjadi rasa yang aku tahu, bukan kamu,..
Biar, seperti ini saja,.
Aku tak mampu memaksamu untuk berpura - pura merasakan, tapi izinkan aku menikmati luka ini,...
semarang, 8 September 2010 - hari ini ulang tahun siapa ya,...-
Selasa, 07 September 2010
Jika,.
jika saja,..
mampu aku dendangkan lagu terindah untukmu,..
mampu aku yakinkanmu atas ketulusanku,..
mampu aku pelukmu lepaskan egoku,..
mampu aku katakan betapa aku mencintaimu,..
jika saja,..
jika saja,..
jika saja,..
mampu aku dendangkan lagu terindah untukmu,..
mampu aku yakinkanmu atas ketulusanku,..
mampu aku pelukmu lepaskan egoku,..
mampu aku katakan betapa aku mencintaimu,..
jika saja,..
jika saja,..
jika saja,..
Senin, 06 September 2010
Lelaki Kado Dari Surga
Lelaki melangkah, berjingkat
Meninggalkan kehangatan
Menyambut dingin
Menerjang kabut
Lelaki Membasuh wajah
Terpejam, terdiam,.
Hening,..
Ada satu yang dipikirkan
Lelaki mencoba tersenyum
Kelu,.
Hambar,.
Namun manis, menyimpan harap
Lelaki berjalan pelan
Meyeruak semak
Menerjang duri, onak,.
Entah apa lagi
Lelaki menatap malam
Hanya ada bintang
Sedang bulan enggan bertemu
Mendera kecewa
Lelaki termenung di atas batu
Menjalani hari tanpa ragu
Pada malam dia berkesah,.
Tentang hidup yang kadang tak ramah
Lelaki tanpa nama
Lelaki tanpa cerita
Hadir dalam benakku
Yang aku tahu,..
Aku jatuh cinta padanya,..
Meninggalkan kehangatan
Menyambut dingin
Menerjang kabut
Lelaki Membasuh wajah
Terpejam, terdiam,.
Hening,..
Ada satu yang dipikirkan
Lelaki mencoba tersenyum
Kelu,.
Hambar,.
Namun manis, menyimpan harap
Lelaki berjalan pelan
Meyeruak semak
Menerjang duri, onak,.
Entah apa lagi
Lelaki menatap malam
Hanya ada bintang
Sedang bulan enggan bertemu
Mendera kecewa
Lelaki termenung di atas batu
Menjalani hari tanpa ragu
Pada malam dia berkesah,.
Tentang hidup yang kadang tak ramah
Lelaki tanpa nama
Lelaki tanpa cerita
Hadir dalam benakku
Yang aku tahu,..
Aku jatuh cinta padanya,..
Dan Ketika
Dan ketika kau kembali
Kau terlalu lelah untuk menyapa
Memohon ampun atas angkuhmu
Campakkanku,..
ruang hijau yang menghempaskanku,.. 07 September 2010
Kau terlalu lelah untuk menyapa
Memohon ampun atas angkuhmu
Campakkanku,..
ruang hijau yang menghempaskanku,.. 07 September 2010
dialog sore
Tergopoh - gopoh aku memenuhi undangannya, sore pukul lima tepat di pinggir pantai, saat matahari terbenam dia akan menghilang.
"Aku sudah datang,.."
Angin berhembus, sama sekali tak semilir. Rasaku gundah,...
"Lihat !! Aku sudah datang, tepat pukul lima"
Lelaki terdiam, menunduk, lesu,..
"Pukul lima lebih tiga belas menit, ayolah, sudah telalu banyak waktu kau siakan, empat puluh menit lagi matahari tenggelam dan kau akan mengikutinya"
Serentetan kalimatku tak membuatnya berubah. Aku hilang kesabaran. Ikut serta menyia - nyiakan waktu. Rasanya sangat tak nyaman,..
sepuluh menit, lima belas, tiga puluh dua, tiga puluh sembilan,..
"Cukup menjadi orang bodoh ditepi pantai ini,.." Aku bersiap meninggalkannya.
"Tunggu !!"
Ada yang aneh dengan suara itu. Samar dia mengangkat wajah, sembab,..
"Aku tahu ini akan terjadi, dan harus terjadi,.."
Aku bersabar menunggu,..
"Aku akan hentikan semua ini !!"
Aku hanya membiarkan Lelaki menghampiri ombak dan meleburkan diri. Lalu Dia menghilang bersama matahari. Tertegun, nyaris tak percaya...
Pukul lima empat puluh tiga menit, Lelaki mengikuti benaman matahari. aku menemani empat puluh tiga menit itu, mengenang Lelaki yang ku kenal dua belas tahun ini, Lelaki yang baru saja ku lihat wajahnya, semoga aku tak salah merekam wajah terakhirnya. Lelaki memakai lipstickku,... Dia sangat cantik, rasaku mulai gundah...
semarang, 6 September 2010
kado ulang tahun buat Yustin
"Aku sudah datang,.."
Angin berhembus, sama sekali tak semilir. Rasaku gundah,...
"Lihat !! Aku sudah datang, tepat pukul lima"
Lelaki terdiam, menunduk, lesu,..
"Pukul lima lebih tiga belas menit, ayolah, sudah telalu banyak waktu kau siakan, empat puluh menit lagi matahari tenggelam dan kau akan mengikutinya"
Serentetan kalimatku tak membuatnya berubah. Aku hilang kesabaran. Ikut serta menyia - nyiakan waktu. Rasanya sangat tak nyaman,..
sepuluh menit, lima belas, tiga puluh dua, tiga puluh sembilan,..
"Cukup menjadi orang bodoh ditepi pantai ini,.." Aku bersiap meninggalkannya.
"Tunggu !!"
Ada yang aneh dengan suara itu. Samar dia mengangkat wajah, sembab,..
"Aku tahu ini akan terjadi, dan harus terjadi,.."
Aku bersabar menunggu,..
"Aku akan hentikan semua ini !!"
Aku hanya membiarkan Lelaki menghampiri ombak dan meleburkan diri. Lalu Dia menghilang bersama matahari. Tertegun, nyaris tak percaya...
Pukul lima empat puluh tiga menit, Lelaki mengikuti benaman matahari. aku menemani empat puluh tiga menit itu, mengenang Lelaki yang ku kenal dua belas tahun ini, Lelaki yang baru saja ku lihat wajahnya, semoga aku tak salah merekam wajah terakhirnya. Lelaki memakai lipstickku,... Dia sangat cantik, rasaku mulai gundah...
semarang, 6 September 2010
kado ulang tahun buat Yustin
Rabu, 01 September 2010
Selamat ulang tahun Charlene,..
Aku terbangun sangat pagi
Aku terbangun saat matahari belum sempurna menyapa bumi
Aku terbangun saat sang ayam jago masih bersiap – siap memulai ritual kokoknya
Aku terbangun saat jarum pendek jam mejaku menunjukkan angka tiga
Aku terbangun dengan peluh di keningku dan gemuruh di dadaku
Aku terbangun setelah aku menemuimu, di mimpiku
Semua tahu bahkan semua telah menyadari kemudian memaklumi
Kelukaan yang mendalam atas kenanganmu telah menjadikanku tubuh tanpa asa
Rasa kehilanganmu telah melumpuhkan segenap cita yang pernah ada
Sesal yang berpadu tanya mendadak menjadi teman setia yang tak pernah jelas tujuannya
Semua tahu, bahkan telah melupakannya
Bahwa aku menantimu tanpa batas akhir
Di sini
Di sudut kota
Di taman yang dulu hijau dan menjadi taman bermain anak – anak kecil sepanjang sore
Di bangku ini
Menantimu
Sambil membaca buku
Aku mulai lupa seperti apa wajahmu yang sebenarnya
Namun aku masih ingat dengan pasti
Caramu menatapku
Caramu menyebut namaku
Caramu menyayangiku
Caramu mencumbuiku
Sampai caramu menyayat hatiku lalu menuangkan air cuka setelahnya
Kamu, iblis berwajah manis itu
Terasa samar, karena aku benar – benar lupa bagaimana wajahmu
Masih sama seperti hari – hari kemarin
Aku masih menantimu disini
Sabar
Dan pantang menyerah
Dalam senyap yang kadang terasa bagai kepedihan
Semilir angin dan kicau burung telah bosan menyuarakan harapan
Daun – daunpun enggan menemaniku
Aku masih duduk di taman ini
Tepat di bangku yang sama seperti terakhir kau menemaniku di sini
Aku mulai lupa seperti apa rumput hijau yang menghampar bagai permadani
Keindahan yang selalu menyihirmu dan merayuku untuk menemanimu
Sekedar untuk tertawa, menertawakan hal yang aku tak pernah bisa mengerti
Entah apa yang telah meracuni otakku untuk terus menantimu
Dan mempercayai janji untuk kembali
Setidaknya aku ingin engkau menemukanku di taman ini ketika kau kembali ke kota ini
Setidaknya kau tahu ucapanku di stasiun itu adalah janji yang pantang ingkar
Atau janji yang masih sempat kau ikrar lewat surat yang burung merpati bawa
Taman ini sudah banyak berubah.
Permadani hijau itu telah berubah warna menjadi coklat kehitaman
Bukan karena banyak kaki yang menginjakkan sepatunya disana
Tapi karena hujan yang enggan bercumbu dengan sang rumput dan membiarkan panas garang memperkosa rumput tanpa ampun
Pohon rindang yang biasa meneduhkan
Kini lunglai tinggal ranting yang terjulur eksotis nan memprihatinkan.
Lalu ayunan itu, telah berkarat dan rapuh pada tempat duduknya
Kau mau tahu bagaimana nasib perosotan semen yang menjadi favorit anak – anak TK seberang?
Berlumut
Tak terurus
Dan lobang dibawahnya yang dulu sering kau gunakan untuk mengambil jalan pintas,.
Telah beralih fungsi menjadi tempat tinggal anak jalanan yang kumpul kebo.
Mungkin hanya bangku ini yang tersisa
Karena hanya aku yang masih mendudukinya
Taman ini tinggal nama
Tapi aku masih setia di taman ini
Tak pernah berubah
Menantimu
Aku masih membaca buku 445 halaman sambil menantimu
Buku ke tiga ratus lima belas yang aku baca untuk menemaniku menantimu.
Seorang perempuan cantik mendekatiku
Dia membisikkan gosip murahan tentangmu
“Headline hari ini” ucapnya berbisik
Mata lentiknya melirik ke kanan dan ke kiri
Seolah headline hari ini itu masih sangat rahasia dan akan mengganggu keamanan Negara jika di dengar oleh banyak telinga.
Aku tersenyum miring
Aku tak punya waktu untuk menanti berita yang perempuan itu bilang sebagai headline hari ini lewat media manapun
Aku terlalu sibuk untuk menantimu
Di taman ini
Dihari lain
Seekor burung hinggap di bahuku
Suaranya yang kecil bercerita tentangmu
Kabarmu dari kota lain
Lalu menyuruhku untuk berhenti menantimu
Katanya kau mengkhianatiku
Aku menghempaskan burung kecil itu
Dia terjatuh dan berusaha memberikan cerita itu lagi
Aku melempar burung kecil itu dengan bukuku lalu menutup telingaku
Rapat – rapat
Kapan itu lebih gila
Aku lupa harinya
Angin seperti tak punya banyak kerjaan
Mengatakan engkau tak lebih dari seekor ular yang tak punya hati
Aku memejamkan mata
Terlalu naïf jika aku mempercayai ucapan angin
Tapi bukankah angin juga berkunjung ke kotamu
Mungkin saja angin benar
Tapi,..
Aku tak akan pernah percaya.
Dengan manusia,.
Dengan burung,.
Dengan angin..
Terserahlah..
Yang pasti aku menunggumu disini…
Tiga hari lalu
Lima orang polisi datang dan memintaku untuk meninggalkan taman ini
Mereka bingung ketika akan membuat surat teguran
Toh bukan aku pemilik taman ini
Aku ingin pergi,.
Tapi janji itu seakan memasung aku disini.
Lima orang polisi datang dan memintaku untuk meninggalkan taman ini.
Taman ini akan segera dibangun apartemen mewah lengkap dengan kolam renang dan restaurant.
Aku mematung,.
Hanya taman ini yang akan mengantarku bertemu denganmu.
Engkau tak akan pernah bisa menemuiku jika apartemen tinggi telah menggantikan tamannya.
Aku takut kau tak bisa menemuiku lagi.
Lima polisi itu akhirnya menyerah dan meninggalkanku.
Memberi tenggat waktu
tiga hari...
Hari ini.
Aku memakai terusan putih dengan renda di ujung lenganku.
Aku mengenakan mahkota yang sengaja kusiapkan bertahun lalu.
Aku juga mengenakan kaus tangan putih transparan yang mengingatkanku pada pengantin barat tahun enam puluhan.
Lengkap dengan sepatu putih berhak tinggi dan rangkaian bunga menghiasi satu – satunya bangku yang tersisa.
Dan akupun telah menyiapkan sesuatu untukmu.
Aku adalah sang pengantin hari ini.
Aku tak akan pernah terpengaruh cerita perempuan cantik itu,.
Atau kicau sang burung,.
Atau bisik sang angin.
Aku hanya percaya kepadamu.
Percaya kepada harapan yang engkau tiupkan di kalbuku.
Aku yakin engkau akan datang,.
Meski tak pernah kau berkirim kabar.
Aku tahu engkau pasti datang,.
Meski aku tak lagi bisa mengingat wajahmu
Namun aku masih bisa mengingat kisah bersamamu.
Lima polisi itu datang lagi.
Aku menikmati wajahmu.
Setidaknya aku telah memenuhi janjiku untuk menunggumu di taman ini.
Dua polisi memegangiku.
Dua lainnya mengamatimu.
Dan satu polisi memasukkan sesuatu ke kantong plastik.
Barang bukti.
Pisau dapurku berlumuran darah.
Tangan dan gaunku berlumuran darah.
Aku tersenyum,.
Mencoba mengingat sesaat sebelum engkau terkulai.
Sepertinya engkau berbisik
“Selamat ulang tahun Charlene,..”
Semarang, 8 November 2008, 02:32 WIB
Untuk hidup & kehidupan, terima kasih
Aku terbangun saat matahari belum sempurna menyapa bumi
Aku terbangun saat sang ayam jago masih bersiap – siap memulai ritual kokoknya
Aku terbangun saat jarum pendek jam mejaku menunjukkan angka tiga
Aku terbangun dengan peluh di keningku dan gemuruh di dadaku
Aku terbangun setelah aku menemuimu, di mimpiku
Semua tahu bahkan semua telah menyadari kemudian memaklumi
Kelukaan yang mendalam atas kenanganmu telah menjadikanku tubuh tanpa asa
Rasa kehilanganmu telah melumpuhkan segenap cita yang pernah ada
Sesal yang berpadu tanya mendadak menjadi teman setia yang tak pernah jelas tujuannya
Semua tahu, bahkan telah melupakannya
Bahwa aku menantimu tanpa batas akhir
Di sini
Di sudut kota
Di taman yang dulu hijau dan menjadi taman bermain anak – anak kecil sepanjang sore
Di bangku ini
Menantimu
Sambil membaca buku
Aku mulai lupa seperti apa wajahmu yang sebenarnya
Namun aku masih ingat dengan pasti
Caramu menatapku
Caramu menyebut namaku
Caramu menyayangiku
Caramu mencumbuiku
Sampai caramu menyayat hatiku lalu menuangkan air cuka setelahnya
Kamu, iblis berwajah manis itu
Terasa samar, karena aku benar – benar lupa bagaimana wajahmu
Masih sama seperti hari – hari kemarin
Aku masih menantimu disini
Sabar
Dan pantang menyerah
Dalam senyap yang kadang terasa bagai kepedihan
Semilir angin dan kicau burung telah bosan menyuarakan harapan
Daun – daunpun enggan menemaniku
Aku masih duduk di taman ini
Tepat di bangku yang sama seperti terakhir kau menemaniku di sini
Aku mulai lupa seperti apa rumput hijau yang menghampar bagai permadani
Keindahan yang selalu menyihirmu dan merayuku untuk menemanimu
Sekedar untuk tertawa, menertawakan hal yang aku tak pernah bisa mengerti
Entah apa yang telah meracuni otakku untuk terus menantimu
Dan mempercayai janji untuk kembali
Setidaknya aku ingin engkau menemukanku di taman ini ketika kau kembali ke kota ini
Setidaknya kau tahu ucapanku di stasiun itu adalah janji yang pantang ingkar
Atau janji yang masih sempat kau ikrar lewat surat yang burung merpati bawa
Taman ini sudah banyak berubah.
Permadani hijau itu telah berubah warna menjadi coklat kehitaman
Bukan karena banyak kaki yang menginjakkan sepatunya disana
Tapi karena hujan yang enggan bercumbu dengan sang rumput dan membiarkan panas garang memperkosa rumput tanpa ampun
Pohon rindang yang biasa meneduhkan
Kini lunglai tinggal ranting yang terjulur eksotis nan memprihatinkan.
Lalu ayunan itu, telah berkarat dan rapuh pada tempat duduknya
Kau mau tahu bagaimana nasib perosotan semen yang menjadi favorit anak – anak TK seberang?
Berlumut
Tak terurus
Dan lobang dibawahnya yang dulu sering kau gunakan untuk mengambil jalan pintas,.
Telah beralih fungsi menjadi tempat tinggal anak jalanan yang kumpul kebo.
Mungkin hanya bangku ini yang tersisa
Karena hanya aku yang masih mendudukinya
Taman ini tinggal nama
Tapi aku masih setia di taman ini
Tak pernah berubah
Menantimu
Aku masih membaca buku 445 halaman sambil menantimu
Buku ke tiga ratus lima belas yang aku baca untuk menemaniku menantimu.
Seorang perempuan cantik mendekatiku
Dia membisikkan gosip murahan tentangmu
“Headline hari ini” ucapnya berbisik
Mata lentiknya melirik ke kanan dan ke kiri
Seolah headline hari ini itu masih sangat rahasia dan akan mengganggu keamanan Negara jika di dengar oleh banyak telinga.
Aku tersenyum miring
Aku tak punya waktu untuk menanti berita yang perempuan itu bilang sebagai headline hari ini lewat media manapun
Aku terlalu sibuk untuk menantimu
Di taman ini
Dihari lain
Seekor burung hinggap di bahuku
Suaranya yang kecil bercerita tentangmu
Kabarmu dari kota lain
Lalu menyuruhku untuk berhenti menantimu
Katanya kau mengkhianatiku
Aku menghempaskan burung kecil itu
Dia terjatuh dan berusaha memberikan cerita itu lagi
Aku melempar burung kecil itu dengan bukuku lalu menutup telingaku
Rapat – rapat
Kapan itu lebih gila
Aku lupa harinya
Angin seperti tak punya banyak kerjaan
Mengatakan engkau tak lebih dari seekor ular yang tak punya hati
Aku memejamkan mata
Terlalu naïf jika aku mempercayai ucapan angin
Tapi bukankah angin juga berkunjung ke kotamu
Mungkin saja angin benar
Tapi,..
Aku tak akan pernah percaya.
Dengan manusia,.
Dengan burung,.
Dengan angin..
Terserahlah..
Yang pasti aku menunggumu disini…
Tiga hari lalu
Lima orang polisi datang dan memintaku untuk meninggalkan taman ini
Mereka bingung ketika akan membuat surat teguran
Toh bukan aku pemilik taman ini
Aku ingin pergi,.
Tapi janji itu seakan memasung aku disini.
Lima orang polisi datang dan memintaku untuk meninggalkan taman ini.
Taman ini akan segera dibangun apartemen mewah lengkap dengan kolam renang dan restaurant.
Aku mematung,.
Hanya taman ini yang akan mengantarku bertemu denganmu.
Engkau tak akan pernah bisa menemuiku jika apartemen tinggi telah menggantikan tamannya.
Aku takut kau tak bisa menemuiku lagi.
Lima polisi itu akhirnya menyerah dan meninggalkanku.
Memberi tenggat waktu
tiga hari...
Hari ini.
Aku memakai terusan putih dengan renda di ujung lenganku.
Aku mengenakan mahkota yang sengaja kusiapkan bertahun lalu.
Aku juga mengenakan kaus tangan putih transparan yang mengingatkanku pada pengantin barat tahun enam puluhan.
Lengkap dengan sepatu putih berhak tinggi dan rangkaian bunga menghiasi satu – satunya bangku yang tersisa.
Dan akupun telah menyiapkan sesuatu untukmu.
Aku adalah sang pengantin hari ini.
Aku tak akan pernah terpengaruh cerita perempuan cantik itu,.
Atau kicau sang burung,.
Atau bisik sang angin.
Aku hanya percaya kepadamu.
Percaya kepada harapan yang engkau tiupkan di kalbuku.
Aku yakin engkau akan datang,.
Meski tak pernah kau berkirim kabar.
Aku tahu engkau pasti datang,.
Meski aku tak lagi bisa mengingat wajahmu
Namun aku masih bisa mengingat kisah bersamamu.
Lima polisi itu datang lagi.
Aku menikmati wajahmu.
Setidaknya aku telah memenuhi janjiku untuk menunggumu di taman ini.
Dua polisi memegangiku.
Dua lainnya mengamatimu.
Dan satu polisi memasukkan sesuatu ke kantong plastik.
Barang bukti.
Pisau dapurku berlumuran darah.
Tangan dan gaunku berlumuran darah.
Aku tersenyum,.
Mencoba mengingat sesaat sebelum engkau terkulai.
Sepertinya engkau berbisik
“Selamat ulang tahun Charlene,..”
Semarang, 8 November 2008, 02:32 WIB
Untuk hidup & kehidupan, terima kasih
Rabu, 25 Agustus 2010
s e n j a
Selalu saja aku bisa menemukannya disini. Terdiam, duduk dalam hamparan pasir. Aku menemukannya dengan posisi duduk yang tak juga berubah. Aku memilih duduk disampingnya tanpa kata. Dia tahu keberadaanku, namun tak juga menyampaikan salamnya. Aku merebahkan kepalaku dipundak kanannya, menikmati kebisuan yang tercipta, hening, aku tak ingin kembali ke kotaku. Senyap,..
Aku menyusupkan kepalaku kedadanya kali ini. Dia bergerak, tangannya merengkuhku ke dalam pelukannya, aku terisak dalam pelukan, dia mempererat pelukannya. Tanpa kata, aku bercerita dengan airmata yang mengalir deras tanpa bisa kutahan. Dia menghiburku dalam kebisuan.
Dia masih saja disini. Ditempat yang sama ketika aku meninggalkannya atas pintanya. Masih dengan tatapan penuh cinta dan pengertiannya yang luar biasa, namun juga masih dengan kesenyapan yang menjadi nama tengahnya.
Kata – kata ini benar – benar kehilangan makna. Aku menggunakan segenap rasaku untuk memahami keheningan ini. Bibir yang terkatup rapat dan hati yang terluka. Aku merasakan debaran dadanya berbicara padaku. Entah cerita apa yang ingin ku dengar, aku hanya menikmati semua ini.
Dalam sunyi, dia mencoba mengajariku. Tentang semua yang terjadi dan tak sesuai dengan inginku. Tentang kenyataan yang nyata bukan mauku. Tentang kesabaran yang lamban kumiliki. Tentang pilihan yang tak pernah bisa aku pilih. Tentang luka yang tak perlu kuungkap dengan kata – kata atau lukisan.
Ombak bergulung, kami pasrah jika memang harus tergulung didalamnya, kemudian memecah, percikan airnya membasahiku, dia, kami. Tetap dalam keheningan kami berpelukan. Tak ada yang berubah, meski semua telah berubah.
Yogyakarta, 28 Desember 2009, 16.05 WIB
Aku menyusupkan kepalaku kedadanya kali ini. Dia bergerak, tangannya merengkuhku ke dalam pelukannya, aku terisak dalam pelukan, dia mempererat pelukannya. Tanpa kata, aku bercerita dengan airmata yang mengalir deras tanpa bisa kutahan. Dia menghiburku dalam kebisuan.
Dia masih saja disini. Ditempat yang sama ketika aku meninggalkannya atas pintanya. Masih dengan tatapan penuh cinta dan pengertiannya yang luar biasa, namun juga masih dengan kesenyapan yang menjadi nama tengahnya.
Kata – kata ini benar – benar kehilangan makna. Aku menggunakan segenap rasaku untuk memahami keheningan ini. Bibir yang terkatup rapat dan hati yang terluka. Aku merasakan debaran dadanya berbicara padaku. Entah cerita apa yang ingin ku dengar, aku hanya menikmati semua ini.
Dalam sunyi, dia mencoba mengajariku. Tentang semua yang terjadi dan tak sesuai dengan inginku. Tentang kenyataan yang nyata bukan mauku. Tentang kesabaran yang lamban kumiliki. Tentang pilihan yang tak pernah bisa aku pilih. Tentang luka yang tak perlu kuungkap dengan kata – kata atau lukisan.
Ombak bergulung, kami pasrah jika memang harus tergulung didalamnya, kemudian memecah, percikan airnya membasahiku, dia, kami. Tetap dalam keheningan kami berpelukan. Tak ada yang berubah, meski semua telah berubah.
Yogyakarta, 28 Desember 2009, 16.05 WIB
Selasa, 24 Agustus 2010
Ma’af Ya,…
===================================================================
" lho kok kamu,.. ngapain kamu disini,.."
" lho kok kamu,.. ngapain kamu disini,.."
dia hanya mematung memandangku, tanpa senyum
===================================================================
"maaf ya tapi semua itu sudah masa lalu dan aku berhak dong hidup bahagia tanpa bayang - bayangmu,.."
"maaf ya tapi semua itu sudah masa lalu dan aku berhak dong hidup bahagia tanpa bayang - bayangmu,.."
dia terdiam dihadapanku, masih tanpa senyum
===================================================================
"memang aku pernah mencintaimu, pernah lho ya,.. artinya itu dulu, dan sekarang aku tidak mencintaimu lagi,.."
"memang aku pernah mencintaimu, pernah lho ya,.. artinya itu dulu, dan sekarang aku tidak mencintaimu lagi,.."
dia membeku menatapku, tanpa senyum,.
===================================================================
"sudah ya,.. aku ingin meneruskan hidupku tanpamu, aku telah menemukan hati lain penggantimu,.."
"sudah ya,.. aku ingin meneruskan hidupku tanpamu, aku telah menemukan hati lain penggantimu,.."
dia menerawang, benar - benar tanpa senyum,..
===================================================================
"ma'afin aku ya,...."
"ma'afin aku ya,...."
dia menatapku hangat, tersenyum
(semarang, 18 Desember 2007, terima kasih telah mampir di mimpiku,..)
Langganan:
Postingan (Atom)