Minggu, 10 Maret 2013

Cita – Citaku Jadi Bintang Film

Berbicara tentang cita – cita, sampai sekarang aku tak bisa memahami diriku sendiri saat masih kecil. Saat anak TK mulai diberi pertanyaan standar tentang cita – cita, aku dengan mantap menyebutkan cita – citaku menjadi bintang film. Alasannya sederhana saja, aku ingin bertemu Rano Karno, bintang film yang filmnya banyak ku tonton dengan sembunyi – sembunyi, alasan lainnya adalah aku ingin bisa ke luar negeri karena banyak film saat itu dikisahkan tokohnya sekolah di luar negeri dan pulang menjadi orang yang sukses. Cita – cita sederhanaku itu tak ayal membuat mamaku terhenyak, dengan kesabaran yang diluar logika manusia, mamaku menyarankan cita – cita lainnya. Mama memberi alternatif cita – cita yang “umum”, seperti menjadi polwan, dokter, insinyur atau pegawai negeri. Saat itu aku memilih menjadi polwan saja, meski hati kecilku tetap ingin menuliskan “bintang film” sebagai cita – citaku.

Apa yang salah dengan cita – cita menjadi bintang film? Aku kecil mulai memikirkan hal itu, bukankah cita – cita adalah keinginan menjadi sesuatu saat aku dewasa nanti. Toh apapun cita – citanya, syarat utama adalah belajar yang rajin, itu yang aku ingat dari kesimpulan pelajaran cita – cita yang diberikan Bu Wahyu, guru TK ku. Lagipula ada beberapa temanku yang menyebutkan cita – cita anehnya, menjadi pengantin. Meski menjadi pengantin terdengar lebih masuk akal daripada menjadi bintang film, saat itu tak ada pilihan lain selain mengakui POLWAN sebagai cita – citaku. Walau demikian dari lubuk hatiku yang terdalam, aku memiliki cadangan cita – cita, seandainya saja bintang film tidak termasuk cita – cita, aku ingin sekali menjadi,.. Pembaca puisi.

Beranjak lebih besar, masuk SD, cita – citaku mulai lebih realistis, meski tak juga mengambil salah satu cita – cita “umum” yang beredar. Aku pernah bercita – cita menjadi penari tradisional Indonesia, hal ini dikarenakan banyak majalah yang kubaca mengupas kisah sukses seniman yang melanglang buana dengan tariannya. Tarian indah ini membuat kagum orang luar Indonesia. Bayangkan saja, aku dikagumi oleh orang yang bahasanya saja tak ku mengerti. Bisa keliling dunia, dan siapa tahu, bisa bertemu dengan Rano Karno disana,...

Sadar penari juga bukan cita – cita yang membuat mamaku senang, aku mulai mencari cita – cita baru. Aku sempat bercita – cita jadi guru, tapi segera ku urungkan niat mulia itu. Aku tak mampu menghafal rumus yang memusingkan. Lalu aku juga bercita – cita menjadi arsitek. Sadar akan kemampuan menggambar yang nol besar aku mengubah cita – citaku menjadi Ahli Bahasa, tanpa aku tahu apa sebenarnya profesi itu. Alasannya sederhana saja, aku suka membaca buku dan merasa nyaman dengan pelajaran Bahasa Indonesia, karena ada kegiatan mengarang dan membaca puisi. Itu saja.

Akhirnya aku memiliki cita – cita yang menenangkan mamaku. Mungkin mama masih bingung juga, Ahli Bahasa kerjanya dimana? Atau mungkin juga mama berharap aku bisa menjadi penerjemah untuk diplomat? Sementara itu sajalah,.... 

Selama SMP aku mulai memantapkan diri untuk menjadi ahli bahasa. Aku bertekad untuk menguasai tidak hanya Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Aku mulai belajar mencintai Bahasa Inggris dan bertekad menaklukan Bahasa Melayu. Dengan sahabatku yang bercita – cita menjadi ahli nuklir, aku berkhayal bisa keliling dunia dengannya. Dia yang membuat nuklir dan aku yang menjadi penerjemahnya. Mimpi yang indah. Sampai sekarang aku tak bisa membayangkan jika sahabatku itu sukses menjadi ahli nuklir, pasti hidupnya tak akan setenang sekarang hahahahahaha.

Beranjak SMA cita – cita awalku muncul lagi. Namun bukan menjadi bintang film lagi tapi berkarya di bidang perfilman. Aku sangat ingin menjadi salah satu crew pembuatan sebuah film, penasaran dengan kegiatan produksi yang konon memakan waktu lebih dari seminggu penuh di lokasi shooting. Aku berasumsi, hal ini karena kesukaanku menonton film memang di luar batas remaja saat itu. Dan aku selalu penasaran dengan setiap adegan yang ada. Bagaimana cara membuat sebuah mobil meledak, apakah menggunakan mobil sungguhan, bagaimana jika ketika meledak ledakannya sampai kemana – mana?. Atau mengapa tokoh ini harus begini cara ngomongnya? Harusnya begini saja. Dan kegilaanku adalah, aku selalu berkhayal namaku ada di credit tittle sebuah produksi film, meski aku tahu, saat namaku mulai muncul di layar, penonton sudah beranjak dari tempat duduknya.

Lagi – lagi cita – citaku ini tak mendapat sambutan meriah dari mama papaku. Oke,... aku berganti cita – cita yang lebih membumi. Menjadi psikolog. Sudah, final aku ingin menjadi psikolog. Aku sabar kok mendengarkan keluh kesah seseorang yang mungkin saja kisahnya akan menginspirasiku menulis naskah film. Semoga saat itu terjadi orangtuaku sudah merasa bangga denganku. Tapi cita – citaku itu ku paksa kandas dengan suka cita, demi melihat anak buah papaku yang tak juga lulus dari kuliah psikologinya yang katanya susah banget. Yess,.. seperti menemukan air di padang pasir. Aku menemukan cita – cita lain. Menjadi advertisment maker. Mungkin bukan cita – cita, tapi keputusan dimana aku harus meneruskan kuliah setelah lulus SMA. Berbekal sedikit pengetahuanku dibidang periklanan yang aku dapat dari papaku, aku memilih AKINDO, sebuah akademi komunikasi yang memiliki jurusan Advertising. Disinilah aku merasa menemukan rumah yang selama ini aku cari.

Berada dilingkungan kampus yang juga memiliki jurusan broadcast ini membuatku terus memupuk impian masa kecil. Aku tak juga memiliki gambaran seperti apa, namun aku yakin bisa menjadi bintang film, meski bukan dalam arti yang sebenarnya.

Ketika cita – cita tak lagi hanya ungkapan keinginan, semoga aku telah membuktikan kepada orang tuaku bahwa keyakinanku tak sia – sia, dan menjadikan mereka bangga. Hampir sepuluh tahun aku berada di dunia yang lebih hebat dari cita – citaku yang hanya menjadi bintang film. Aku berkesempatan mempelajari bagaimana menjadikan seseorang bintang film, tak hanya itu, aku berkesempatan mewujudkan semua mimpi masa kecilku di dunia kerja. Aku pernah terlibat dalam pembuatan iklan TV, program TV, Mini Film, bertemu dengan komunitas pencinta puisi, berbincang dengan penulis buku yang ku kira hanya ada di dunia khayal dan menuliskan kisah khayalku yang kemudian menjadi inspirasi orang lain. Bonusnya, aku beberapa kali bertemu dengan artis yang wajahnya akrab di televisi atau bioskop. Meski aku belum juga bertemu dengan Rano Karno namun aku telah mewujudkan mimpiku. Aku telah menggapai cita – citaku. Dan mempercayai Tuhan mengabulkan setiap keinginanku tanpa terkecuali, dengan ragam dan waktu yang sangat pas. Aku menyadari hal itu,....

Ternyata, mimpi dan cita – citaku tak berhenti sampai disini. Aku menyadari, hidupku kini bukan berputar pada mimpi dan membanggakan orang tua. Aku telah memiliki suami yang berhak penuh atas konsekwensi pilihanku. Aku telah menemukan passion yang ku yakini sebagai kesimpulan dari seluruh cita - cita masa kecilku yang tidak umum. Dan aku sangat bersyukur pada Tuhan yang telah mengizinkan suamiku memahami mimpi dan cita – citaku. Semoga cita – citaku kali ini tak lagi tergabung dalam mimpi tak lazim. Aku seorang penulis.