Senin, 07 Maret 2011

g e d r u k

“Emak,..”

Aku menghentikan kegiatan menjahitku, menatap wajah mungil nan bening. Mengelus rambut kemerahannya yang mulai kasar akibat sering bermain di bawah sinar matahari. Menanti kalimat yang akan keluar dari mulutnya yang mungil, lewat suaranya yang merdu.

“Mengapa namaku Gedruk?”

Aku menatap dalam – dalam sinar mataku lelaki mungilku, ada perasaan nyeri menyusup ke relung hati. Aku mengira – ira arah pertanyaan Gedruk. Aku tahu, nama Gedruk tidak lazim dipakai untuk nama seseorang. Apakah teman – teman Gedruk di sekolahnya mulai memperkarakan nama yang tak lazim ini.

“Mengapa Gedruk, mengapa bukan Anton, Danu, Thomas atau Ahmad?”

Aku tak mampu mengurai perasaanku. Kalimat bocah berusia tujuh tahun, kekasihku ini menggoreskan kenangan terindah namun perih yang terkungkung di dasar hatiku.

“Emak,..” Suara itu kembali mengusik telingaku.
“Ayah yang memberi nama itu padamu, sayang,...”
“Tapi mengapa Gedruk?”
“Ada yang salah dengan nama Gedruk?”
“Salah Emak, Apa Emak tak pernah tahu arti nama yang indah?”
“Ayah ingin memanggilmu dengan nama Gedruk, Emak juga”

Gedruk merengut, bibir kecilnya menyimpul menyatakan tak setuju dengan apa yang aku katakan. Tiba – tiba saja aku ingin ayah Gedruk ada disini untuk menenangkan galau hati Gedruk atas namanya.

“Hanya Gedruk, Mak? Hanya Gedruk, Ged druk”

Aku tersenyum mendengar Gedruk mengeja namanya, memang hanya Gedruk. Aku meneguhkan hati untuk mengenang saat terakhir Ayah berpesan untuk menamai buah cinta kami dengan Gedruk. Memang tidak hanya Gedruk, namun aku tak mampu mengingat dua kata dibelakang nama Gedruk yang Ayah berikan kepadaku, aku sibuk dengan airmataku yang mengalir deras saat itu. Antara merelakan kepergian Ayah dan menginginkannya dipelukanku.

“Teman – teman di sekolah menggunakan nama ayahnya dibelakang namanya”

Aku mendesah pelan, rasanya aku tak pernah mampu menyebut nama Ayah tanpa meneteskan airmata dan duduk bersimpuh merasakan perih di dada. Gedruk menatapku dengan mata beningnya, mencoba mengurai tangis yang aku persembahkan untuknya.

“Gedruk ingin nama Ayah, Emak,..” Gedruk merajuk, aku masih terdiam.

Dan hari ini adalah hari kesekian aku menanti Ayah kembali bersama kami. Membawa cinta yang selalu kami rindukan. Ayah yang akan mencium kening kami menjelang kami terlelap. Ayah yang menjadi curahan cintaku. Ayah yang akan selalu menjadi kebanggaan Gedruk.

“Mulai besok Gedruk mau tambah nama ya Emak”
“Apa?”
“Gedruk Ayah”
“Kok Gedruk Ayah?”
“Gedruk tak tahu nama Ayah, Emak”

Aku tersenyum pilu. Aku tak pernah menghadirkan nama Ayah yang sebenarnya. Gedruk hanya mengenal istilah Ayah. Aku yang selalu mengenalkan Gedruk dengan panggilan Ayah tanpa Gedruk tahu nama sebenarnya sang ayah.

“Lalu apa artinya Gedruk, Emak?”
“Gedruk adalah cinta ayah kepada Emak”
“Cinta?”

Mata bulatnya menatapku, aku tak mampu lagi menyembunyikan sesenti rinduku pada Ayah Gedruk. Lelaki yang telah menitipkan Gedruk kepadaku atas nama cinta. Aku tahu Gedruk tak akan pernah percaya dengan jawabanku.

“Ayah sangat menyayangi Emak, Ayah juga sangat menyayangi Gedruk, meski Ayah belum pernah bertemu denganmu, Gedruk,..”

Suaraku bergetar mengungkapkan kalimat itu. Bayangan seorang lelaki sederhana yang juga biasa kupanggil ayah menari – nari di sudut mataku. Mengingat saat terakhir ayah memelukku dan membisikkan kalimat pengharapan akan kembali demi cinta kami yang terbalut dalam nama Gedruk.

“Lalu mengapa Ayah tak pernah ada di antara kita?”
“Karena Ayah teramat sangat mencintai kita”

Lagi – lagi aku ingin mengatakan hal lain, namun hati nan tulus milik anakku memintaku untuk mengatakan hal lain tentang anaknya. Hati nan bersih itu sama sekali belum pernah melihat sosok Ayah. Sosok tercinta yang menjadi super hero nya.

“Emak bohong, Ayah meninggalkan kita, berarti Ayah tidak mencintai kita” Gedruk mulai histeris

“Ayah sangat mencintai kita”

Aku menjawab histeris Gedruk dengan suara terlembut yang aku miliki, mencoba menenangkan gejolak yang meluap berdarah dalam hatinya. Aku memahami kecemburuan yang Gedruk miliki saat menatap temannya pulang sekolah dijemput sang ayah, atau wajah sedihnya saat harus mencium tanganku tanpa bisa mencium tangan Ayah saat berangkat sekolah.

“Ayah tak pernah meninggalkan kita, Gedruk, cinta ayah masih selalu bersama kita”

Gedruk mulai terisak, duduk selonjor di bawah bale bale kayu yang aku duduki. Aku paham, aku berbicara dengan bocah berusia tujuh tahun yang tak belum pernah mengenal sosok Ayah. Ayah yang selalu dia rindukan, Ayah yang berjanji akan pulang setelah semua selesai, Ayah yang aku yakinkan kepadanya, mencintai kami teramat sangat.

“Ayah mungkin sudah lupa dengan kita Mak”

Aku menggeleng, aku kenal siapa Ayah, aku mengenal hatinya sebaik aku mengenal hatiku. Dan aku yakin, tak pernah terlintas sekilaspun Ayah berniat melupakan kami, aku dan Gedruk.

“Ayah sedang berjuang untuk menemui kita lagi, Nak”

Aku tak peduli apakah Gedruk akan mengerti arti berjuang yang aku katakan. Aku menyimpan kenangan yang tak manis untuk aku bagi kepada anak semata wayangku dan Ayah. Aku masih saja meyakinkan tentang cinta antara aku, Ayah dan Gedruk, meski dia tak akan mengerti di usia ini.

“Ayah selalu ingin bersama kita, namun keadaan yang memaksa Ayah untuk memilih”
“Dan Ayah tak memilih kita” Potong Gedruk dingin.
“Ayah pergi untuk sementara karena Ayah memilih kita”

Gedruk menggelengkan kepalanya, persis kebiasaan Ayah yang masih terekam rapi diotakku. Gedruk memiliki semua dari Ayah, mata, bibirku dan kulitnya yang gelap. Gedruk selalu mengingatkanku pada Ayah.

“Mereka bilang aku anak haram karena aku tak punya ayah”

Aku menggeleng dalam keterkejutanku akan pernyataan Gedruk, Gedruk bukan anak haram, karena Gedruk terlahir karena cinta, cinta yang aku dan ayahnya miliki dengan ketulusan, cinta yang terpaksa terenggut oleh janji orang tua yang lebih dulu terucap dan pantang tak terlaksana. Mereka, mereka sama dengan orang tua Ayah yang tak pernah mengerti cinta sesungguhnya. Mereka hanya bisa berkata, mereka tak pernah bisa merasakan.

“Mereka bilang aku anak Genderuwo”

Aku kembali menggeleng kuat – kuat. Tak perlu kekuatan lain untuk menghadirkan Gedruk diantara kami, cinta itu sendiri sudah cukup kuat, melibatkan kasih yang memancar indah dalam keabadian, melibatkan beda yang menyatu dalam warna serasi yang mempesona, melibatkan keajaiban Tuhan. Gedruk bukan anak Genderuwo, Gedruk adalah anak cinta.

“Ataukah aku lahir,..”
“Kau lahir atas dasar cinta, kelahiranmu alami karena cinta, cinta yang ayahmu berikan pada emak, cinta yang menjadikan kepasrahan menunggu ayah kembali bersama, kau adalah cinta itu sendiri, kau mampu memberikan kami kekuatan untuk saling menunggu saat yang tepat untuk kami bersatu, lalu bahagia selama – lamanya” Potongku dengan suara bergetar.

Tangis Gedruk semakin mengeras, ditingkahi lengkingan yang menyayat hati. Aku tak kuat menambah kerinduan hatinya. Ayah,.. Aku membutuhkan dirimu, cinta kita mulai menuntut hadirmu, persediaan harapan yang kau titipkan padaku mulai menipis, aku tak mampu menghapus airmata yang mengalir deras dipipi dan meninggalkan luka di hati.

“Ceritakan tentang Ayah, Emak,..”

Aku menyusut airmataku, mengumpulkan serpihan – serpihan hati untuk kembali mengingat sosok Ayah. Mengingat senyumnya yang mengirimkan seluruh energi untuk bersabar menghadapi hidup. Memantapkan hati untuk bercerita kepada Gedruk sosok ayah yang sebenarnya.

“Ayah adalah wajah penuh cinta dan sayang yang selama ini ada di khayal Emak”

Gedruk menatapku dengan hati – hati, tangisnya mulai mereda. Kepala mungilnya rebah dipahaku. Aku mengelus rambutnya, berombak, seperti milik Ayah, bahkan Gedruk juga memiliki jenis kulit seperti Ayah. Gedruk menanti ceritaku.

“Ayah datang mengisi relung hati Emak yang merindukan kedamaian”

Aku mulai memiliki kekuatan untuk bercerita kepada Gedruk tentang cinta Ayahnya yang menjadikanku kuat. Tentang kenangan yang tersisa dan sengaja aku patri dalam kalbu. Tentang cinta yang akan Gedruk pahami saat Gedruk menginjak dewasa. Cinta Ayah yang tak pernah bisa diungkap dengan kata – kata.

“Ayah adalah hati yang penuh dengan bahasa kasih yang akan terungkapkan dengan pasti dalam suka dan sedih”

Gedruk mulai tersenyum, mungkin dia mulai merangkai khayal tentang sosok Ayah sesuai dengan yang aku gambarkan. Dan menempatkan hati Ayah dalam tahta tertinggi dalam nyawanya. Meski aku tak yakin Gedruk mengerti kisahku.

“Ayah adalah harapan yang tak pernah mati, buat Emak, buat Gedruk”

Gedruk mulai terlelap. Nafasnya terdengar sangat teratur. Mungkin dia sedang bertemu Ayah dalam tidurnya. Ayahnya yang merupakan harapan kami yang tak pernah mati. Aku menikmati cerita ini di atas bale bale kayu yang mulai rapuh. Menatap wajahnya yang mewarisi wajah Ayah.

“Apakah Ayah seorang tentara, Emak” Aku tergagap, aku menyangka Gedruk sudah terlelap. Mungkin Gedruk bertemu Ayah dalam seragam tentara dalam tidurnya.

“Bukan sayang, Ayah adalah seorang pelukis”
“Apakah Ayah akan melukis wajah Gedruk dan wajah Emak di samping wajah Ayah?”
“Tentu saja Sayang”
“Tapi bagaimana mungkin, Ayah belum pernah melihat wajah Gedruk”
“Ayah sangat mencintaimu Gedruk, Ayah pasti bisa melukis wajahmu dengan sempurna”
“Emak yakin?”
“Emak sangat yakin, Gedruk”

Mata Gedruk kembali terpejam. Mungkin Gedruk mencari sosok pelukis yang ia yakini sebagai Ayahnya dalam mimpi, lalu menemani sang Ayah melukis gambaran sempurna sebuah keluarga dalam khayalnya. Sepertiku yang berusaha melukis harapan untuk mewujudkan gambaran keluarga sempurna. Gedruk adalah kesempurnaan cinta kami.

“Gedruk rindu Ayah, Emak”
“Emak juga”

Airmata mengalir lembut melewati pipinya yang mungil, menanti terhapus oleh kehadiran sosok ayah yang dirindukan. Aku tak kuasa menahan airmataku yang mengalir. Airmata kerinduan akan sebentuk cinta yang aku bagi bersama Ayah.

“Gedruk ingin memeluk Ayah, Emak,..” suara Gedruk melemah, dia menahan kantuk setelah tangis panjangnya.

Aku tergugu, mengingat pelukan Ayah yang tak pernah Gedruk dapatkan. Pelukan yang hanya menjadi mimpi terindahku melewati malam – malam sepi nan dingin.

“Gedruk ingin Ayah, Emak,..”

Aku menahan sesak di dada yang kian menghimpit kalbuku, memeluk tubuh Gedruk yang menjadi satu – satunya wujud cintaku, erat, hingga tubuh Gedruk melebur bersama tubuhku, terkulai merindukan lelaki yang sama, lelaki yang kami panggil, Ayah.


Semarang, 25 April 2008, 23 : 22 WIB
Untuk Gedruk,..